Bab 300
Jangan sampai bocah sialan itu
membuat ulah lagi.
"Aku belum sempat pamit sama
Kakak Ipar, aku' kan cuma mau ninggalin kesan baik, hiks hiks hiks!"
Cakra menendangnya, dan berkata,
"Pergi!"
"Ey ... nggak kena, nggak kena!
Kakakku ngamuk, nih!"
Dengan tangan menutupi pantatnya,
Mario berjalan menjauh sambil meringis kesakitan.
Cakra hanya menghela napas pasrah.
Zovan menepuk bahu Cakra. "Bocah
itu kok pulang lagi? Oh iya, babak final bakal digelar di stadion kota minggu
ini."
Wajar aja bocah sialan itu kembali.
Tak berselang lama, Nindi keluar dari
kamar mandi.
Ia menatap dua orang pria yang berada
di luar. " Mario ke mana?"
Mendengar nama Mario disebut, kelopak
mata Cakra sedikit bergetar. "Dia ada janji makan sama temannya."
"Oh, gitu. Kamu kenal orang
sehebat itu, kenapa nggak bilang waktu dia login ke akunmu sih?"
Dihadapkan dengan pertanyaan Nindi,
Cakra merasa dirinya tengah berada di ujung jurang.
Ia berpura-pura tenang, dan menjawab,
"Dia sehebat itu? Menurutku sih nggak."
Nada bicara pria itu terdengar cukup
angkuh.
Mario merupakan salah satu kandidat
terkuat untuk masuk tim nasional. Mengingat bakatnya yang luar biasa, latar
belakang keluarga yang mendukung, dan bebas dari tekanan serta perilaku tidak
adil.
Nindi lantas menatap Cakra dengan
dalam. "Ya, kamu juga lumayan hebat kok main game-nya."
Zovan segera angkat bicara untuk
mengalihkan topik. "Oh iya, Lemon, besok sore ada seminar soal kecerdasan
buatan. Perusahaan Patera Akasia dapat undangan. Kamu ikut ya, aku barusan
banget dapat infonya."
"Oke, aku pasti ikut."
"Aku anterin kamu pulang,"
ucap Cakra.
"Nggak usah, tadi aku sudah
pesan taksi, harusnya sudah datang. Sampai jumpa besok!"
Cakra berdiri diam di tempat,
mengantar Nindi masuk ke dalam taksi dan pergi dari sana.
Zovan bergumam, "Si Lemon nggak
mungkin curiga, 'kan?"
Cakra menatap kepergian taksi,
separuh wajahnya terhalang oleh bayangan lampu, sehingga ekspresi wajahnya
sulit untuk dibaca.
Setibanya di asrama, Nindi merebahkan
tubuhnya di atas ranjang dan mulai merenungkan masalah akun milik Mario,
Isi kepalanya benar-benar kacau.
Namun, mengingat banyaknya pengguna
dengan nama yang sama dalam game, kemungkinan besar akun itu bukan miliknya.
Hanya saja, ia kebetulan mengaitkan dengan namanya.
Ia akhirnya terjaga sepanjang malam.
Keesokan harinya, ia membawa laptop
menuju lokasi yang telah dikatakan oleh Zovan. Mengingat dirinya juga kepala
teknis di bidang kecerdasan buatan.
Nindi datang lebih awal, dan ruang
rapat besar itu masih kosong.
Setelah menemukan tempat duduk, ia
menyalakan laptop dan berusaha menyelesaikan materi. Namun, karena kendala
teknis pada akunnya, proses pengerjaannya jadi tertunda.
"Nindi, kok kamu sendirian? Mana
orang dari Perusahaan Patera Akasia?"
Nindi mengangkat kepalanya dan
menatap Sania, ekspresinya tetap sama. "Belum datang, tapi kamu bawa
barang yang kuminta, 'kan?"
Sania merendahkan suaranya.
"Masih aku usahakan. Hari ini aku datang buat ikut proyek ini, biar bisa
dapat yang kamu mau."
"Kamu harus lebih berusaha lagi.
Kalau data itu belum sampai tanganku sebelum lelang, aku cuma bisa mengirim
video yang ada padaku."
Ekspresi wajah Sania berubah menjadi
muram tepat saat Leo mendekat ke arahnya.
Dengan sedikit canggung, ia segera
mengalihkan topik pembicaraan. "Oh iya, babak final minggu ini di stadion,
kamu nonton nggak, Nindi? Kak Leo punya banyak tiket deh kayaknya!"
Saat melihat kedatangan Leo, Nindi
juga membantu Sania untuk mengalihkan topik.
"Datang dong, aku sudah punya
tiketnya. Kapten Tim E-Sport sudah menyisakan tempat VIP untukku.”
"Kamu serius mau gabung sama Tim
E-Sport?"
Mendengar Tim E-Sport musuh bebuyutannya,
ekspresi wajah Leo tampak suram.
"Bukan urusanmu!"
Ketika melihat kedatangan perwakilan
dari Perusahaan Patera Akasia, Nindi segera berdiri dan meninggalkan ruang
rapat.
Leo menggertakkan gigi, dan
mengejarnya. "Nindi, kita pergi bicara!"
Saat hendak beranjak pergi, Sania
mendapati bahwa Nindi meninggalkan laptopnya dalam keadaan menyala di atas
meja.
Langkahnya terhenti, matanya terpaku
pada laptop milik Nindi.
Tanpa ragu sedikit pun, ia segera
duduk di kursi Nindi.
la mengeluarkan ponsel dan memotret
dokumen Nindi.
"Kamu ngapain?"
Sania menoleh dan mendapati Leo di
sana, wajahnya memucat karena ketakutan…
No comments: