Bab 91
Nindi dibawa keluar dari
zona reruntuhan.
Kemudian, Nindi
dibaringkan di sofa.
Cakra menunduk
menatapnya, lalu berkata, "Lain kali, dengarkan kalau aku bilang jangan
bergerak! Kalau otak nggak jalan, jangan asal lari!"
Nindi pun dimarahi.
Dia menunduk seraya
berkata, "Aku juga nggak menyangka akan kena vas bunga!"
Wajah Nindi terasa makin
panas. Beruntung, situasi terkini masih mati lampu. Kalau tidak, pasti sangat
memalukan.
Dia yakin kalau wajahnya
sudah merona.
'Kenapa begini, ya?
Cakra adalah guru sekaligus temanku.'
Tidak seharusnya dia
memikirkan hal-hal aneh.
Cakra mengeluarkan
ponsel dan menelepon dengan nada dingin. "Cari tahu alasan listriknya
mati," titahnya.
Nindi mengamati
sekeliling yang tampak gelap, lalu tatapannya kembali tertuju pada Cakra. Hanya
dia yang memegang ponsel, satu-satunya sumber cahaya kecil di ruangan itu.
Dia bertanya,
"Zovan mana? Nggak pulang bersamamu?"
"Dia ke bar. Malam
ini nggak akan pulang," jawab Cakra.
"Kenapa kamu nggak
ikut?"
Nindi tahu, orang dewasa
biasa pergi ke bar, terutama para anak orang-orang kata. Pergi ke bar untuk
bersantai itu hal biasa.
Dulu, kakak-kakaknya di
keluarga Lesmana juga sering pergi ke bar meskipun urusan pekerjaan yang
mendominasi.
Cakra terdengar tenang
saat menjawab, "Terlalu berisik."
Mendengar jawaban itu,
Nindi malah tidak aneh.
Biasanya, Cakra memang
lebih menyukai suasana tenang.
Penasaran, Nindi
memberanikan diri untuk bertanya, "Aku ingin tahu, bagaimana bisa kamu si
super pendiam bersahabat sama Zovan? Dia cerewet banget, orangnya juga supel
banget!"
Sifat Cakra sungguh
berkebalikan dengan Zovan.
Secara logika, dua orang
yang bertolak belakang ini begitu kecil kemungkinannya untuk berteman dekat.
Cakra berpikir sejenak
sebelum menjawab, " Nenekku bilang, aku pendiam sekali. Jadi, dia
menyuruhku cari teman yang cerewet biar nggak bisu."
Nindi merasa, Nenek
Cakra adalah orang yang cukup unik.
Tidak kuasa menahan
keingintahuannya, Nindi bertanya, "Artinya, kamu sama Zovan sudah kenal
dari kecil, ya?"
Cakra sadar bicaranya
agak keceplosan sebelum terdiam sejenak. "Kenapa tanya begitu?"
"Aku cuma iri. Kamu
punya teman dekat selengket itu."
Nada bicaranya terdengar
agak sendu.
Ruangan yang gelap
membuat Cakra tidak bisa melihat ekspresi wajah Nindi. Namun, dia tetap
bertanya, "Kamu nggak punya teman waktu kecil, ya?"
"Awalnya, aku
punya. Tapi, setelah orang tuaku wafat karena kecelakaan mobil, aku sakit
beberapa waktu dan melupakan semua kejadian itu. Selama itu, emosiku nggak
stabil hingga teman-teman lama menjauh."
"Nggak lama setelah
itu, Sania dibawa ke rumah kami."
"Kamu pasti tahu
cerita selanjutnya. Sania menyebabkan aku selalu diasingkan di sekolah dan
nggak pernah punya teman."
Mendengar Nindi menyebut
kecelakaan itu, bibir Cakra langsung membentuk garis lurus, menunjukkan
ekspresi dingin.
Dia menelan ludah
sebelum suara rendahnya terdengar bertanya, "Selama ini, kamu nggak pernah
ingat apa pun soal kecelakaan itu?"
"Nggak, aku juga
nggak mau mengingat hal menyakitkan seperti itu," jawab Nindi dengan nada
sedih.
Nindi agak terharu
hingga berbicara, "Kalau bukan kecelakaan, orang tuaku nggak akan berakhir
meninggal waktu itu. Sania nggak akan hadir di hidupku, bahkan hubungan aku
sama kakak-kakakku mungkin nggak akan begini juga."
Sayangnya, tidak ada
yang bisa diubah.
Cakra menatap ke arah
Nindi, menyimpan sorot yang sulit dibaca.
"Lalu, kamu pernah
benci si penyebab kecelakaan itu, nggak?"
Suara Cakra bergetar,
penuh emosi yang sulit dijelaskan.
Di tengah kegelapan,
mereka tidak bisa saling melihat raut wajah.
"Benci!"
Suara Nindi terdengar
dengan nada dingin,, penuh kemantapan.
Cakra menelan ludah,
lalu perlahan bertanya, 11 Kalau begitu, kamu pernah punya pikiran untuk cari
orang itu?"
"Orang itu lari
sampai cari orang lain buat disalahkan. Keluarga Lesmana sudah cari
bertahun-tahun, tapi nggak ada petunjuk sama sekali."
Nindi pun ingin menemui
orang yang menyebabkan orang tuanya wafat lebih dulu.
Suara Cakra terdengar
pelan. "Kalau kamu ketemu orang itu..."
"Aku akan buat
orang itu bayar atas apa yang udah dia lakukan!"
Tatapan Nindi dipenuhi
keteguhan, dia bertekad menemui pelaku kecelakaan itu seumur hidupnya.
Cakra duduk diam di
sofa, tidak bergerak sama sekali
Dia merasa napasnya begitu berat.
Setelah beberapa saat,
Nindi tidak tahan seraya bertanya, "Kapan lagi listriknya kembali,
ya?"
PROMO!!! Semua Novel Setengah Harga
Cek https://lynk.id/novelterjemahan
Novel Membakar Langit Menaklukkan Dunia Bab 2100 - 2205 sudah tersedia di lynk id, yang masih sabar, tunggu di sabtu ya
No comments: