Bab 45 Elisa Memutuskan
Untuk Bertindak Sendiri
Itu suara Elisa. Dia
menggenggam undangan itu lalu menatap Melvern dengan dingin. "Kasih tahu
Bu Fenny kalau Klinik Cita Hati akan datang tepat waktu sesuai janji, tapi
keluarga Gerots harus bertahan dan jangan sampai mengalami masalah."
"Kamu pikir
keluarga Gerots itu apaan? Apa mereka akan mengalami masalah?" Melvern
seolah-olah mendengar lelucon yang lucu dan berkata dengan sombong,
"Dengar! Nggak ada yang berani mengusik keluarga Gerots di seluruh Kota
Sulga! Keluarga Gerots adalah hukum Kota Sulga sendiri! Lebih baik kamu mengingat
itu, Bocah!"
"Aku ingat,
kok." Elisa memakan permen dan tatapannya sangat tajam. "Keluarga
Gerots."
Melvern hanya
menganggapnya tidak tahu diri. Dia pergi dengan angkuhnya sambil mengibaskan
lengan bajunya.
Elisa melihat
punggungnya dan mengedipkan mata dengan lembut.
Awalnya Melvern tidak
menganggap serius lengannya yang terkilir, tetapi setelah dia keluar dari gang
dan naik ke mobil, ekspresinya tiba-tiba berubah.
Kenapa tangannya terasa
mati rasa?
Melvern ingin
menggerakkan tangannya, tetapi dia menyadari kalau sendi-sendi di tubuhnya
terasa seperti terputus!
"Cepat! Pulang!
Cari bibiku!"
Melvern berteriak sambil
berkeringat dingin.
Dia tidak akan menjadi
cacat, 'kan?
"Nggak akan."
Melvern berbicara sendiri dengan wajah pucat, "Pasti bisa sembuh dengan
bantuan bibiku!"
Sopir tidak tahu apa
yang terjadi. Dia menoleh dan menatapnya. "Tuan?"
"Cepat! Tambah
kecepatannya!" Melvern berteriak dengan cemas.
Dari kejauhan, di pintu
masuk gang, Elisa menarik pandangannya kembali, tetapi kebencian masih
terpancar di matanya.
Orang-orang yang
menonton masih melihat mereka.
Nyonya Yaputra jelas
sudah tidak dalam keadaan stabil.
Elisa mengambil
keranjang sayur di tanah dan tersenyum. "Nenek, ayo kita pulang.
Teman-temanku masih menunggu udang buatan Nenek, loh.
Setelah mendengar itu,
Nyonya Yaputra baru tersadar kembali. "Ayo pulang, kepala Nenek pusing.
Kerumunan masih belum
bubar. Elisa menopang Nyonya Yaputra dan menyapa mereka seperti biasanya,
"Bu Sally juga beli labu?"
"Ah, ya." Bu
Sally agak malu. "Elisa, cepat antar nenekmu pulang, dia terlihat nggak
sehat."
Elisa menjawab sambil
tersenyum, "Ya."
Melihat Elisa yang
seperti itu, orang-orang yang tadinya sedang membicarakannya tidak bisa berkata
apa-apa lagi. Bagaimanapun juga, mereka adalah tetangga.
Bahkan Bibi Dina
membantu Elisa memungut sayuran. "Elisa, jangan terlalu dipikirin. Bu
Sally dan yang lainnya nggak punya niat buruk, kok."
"Aku tahu."
Suara Elisa terdengar lembut. "Ada konsekuensi yang harus ditanggung dari
setiap perbuatan."
Dia tahu siapa yang
harus menanggungnya.
Bibi Dina merasa lega
melihatnya. Sebenarnya, dia masih agak takut karena orang lain masih
mengerumuni toko obat.
Nyonya Yaputra sudah
lama tinggal bersama mereka, tetapi ini pertama kalinya mereka mendengar kalau
dia pernah membunuh pasiennya.
Mana mungkin berita ini
tidak menakutkan? Toko obat pun menjadi sepi karenanya.
Dokter Roel yang datang
bersama juga terlihat bingung. Saat Elisa membawa neneknya masuk ke dalam, dia
langsung bertanya, "Dokter Ajaib, apa nenekmu bernama Yaputra
Yuridis?"
Elisa menutup pintu
dengan dingin. "Kenapa? Kamu pernah mendengarnya?"
"Aku..."
Dokter Roel merasa tertekan oleh aura kuat Elisa sehingga suaranya menjadi
gemetar. " Orang tuaku pernah memberitahuku beberapa rumor."
Namun, Elisa malah
tersenyum dengan dingin, tatapannya juga sangat dingin. "Rumor apa? Aku
belum pernah mendengarnya, coba ceritakan."
Dokter Roel ketakutan.
"Rumor itu, lebih baik jangan mendengarnya. Itu nggak bisa dipercaya
!"
"Gimana kalau aku
tetap ingin mendengarnya?" Elisa mengetuk-ngetukkan jari di atas tongkat
kayunya dengan santai.
Dokter Roel langsung
tegang. "Ceritanya gini. Awalnya, keluarga medis di Kota Sulga nggak cuma
empat, tapi lima, dan yang paling menonjol di antaranya adalah nenekmu, Yaputra
Yuridis."
No comments: