Bab 91
Setelah terdiam beberapa saat, Yunna
akhirnya angkat bicara. "Harus kuakui kalau aku lumayan suka. Masalahnya,
Wina menyukai Pak Adriel. Aku adalah kakaknya, jadi bagaimana mungkin aku
bersaing dengan adikku sendiri?"
Jawabannya justru membuat Simon
tertawa.
"Pak Adriel mungkin nggak akan
tertarik dengan karakter Wina. Kamu coba saja manfaatkan kesempatan ini."
Simon menepuk bahu Yunna pelan, lalu
melenggang pergi.
Sementara itu, Wina mengantar Adriel
ke kamar tamu. Kamar tamunya merupakan sebuah rumah dengan halaman kecil yang
memiliki dua lantai.
"Pak Adriel, kamu bisa gunakan
kamar ini. Kamarku tepat di sebelah."
"Baiklah. Kamu juga sebaiknya
istirahat."
Adriel menanggapi dengan ramah.
"Pak Adriel, apa kamu bersedia
mengajariku? Aku juga suka berlatih bela diri," tanya Wina dengan sorot
mata memohon.
"Kamu murid Jayson Jobs, 'kan?
Dia jauh lebih hebat daripada aku. Nggak ada gunanya kalau aku yang
mengajarimu."
Adriel menolak dengan halus.
Wina sedikit cemberut dan berusaha
membujuk lagi, "Mahaguru Jayson cuma guru dalam nama saja. Aku bahkan cuma
pernah bertemu dengan beliau beberapa kali. Dia punya banyak sekali murid dan
nggak ada waktu untuk mengajari kami yang bukan murid intinya secara
langsung."
"Kalau begitu, kita latihan
bertarung sebentar. Nanti akan kuberi masukan setelah melihat
kemampuanmu."
Mau tidak mau, Adriel akhirnya
menyetujui permintaannya.
Di salah satu bangsal Rumah Sakit
Utama, Doni dengan percaya diri berkata kepada Pedro bahwa jika rencananya
berjalan lancar, keluarga Millano akan hancur dilanda malapetaka malam ini
juga. Setelah itu terjadi, keluarga Wijaya-lah yang akan menjadi satu-satunya
keluarga yang berkuasa di Kota Silas.
"Ayah, si Iblis Perak itu
terlalu kejan dan brutal. Apa dia akan membunuh Yunna?"
Pedro bertanya penasaran.
"Tentu saja. Kamu juga jangan
terus- menerus memikirkan Yunna. Pria bernilai tinggi harus memiliki pandangan
yang jauh ke depan dan harus bisa melihat hal yang lebih besar. Seorang wanita
bukanlah apa- apa dibandingkan itu semua."
Doni menasihati putranya.
Pedro menggertakkan giginya kuat-kuat
dan menggumam, "Wanita ini membuat kedua tanganku lumpuh. Aku nggak akan
pernah puas sebelum membunuhnya dengan tanganku sendiri."
Tepat pada saat itu, sekretaris Doni
mengetuk pintu dan masuk.
Doni langsung bertanya pada intinya,
"Apa Dua Iblis Lembayung Perak sudah menyerang keluarga Millano?"
"Pak Doni, Iblis Perak sudah
terbunuh dan keberadaan Iblis Ungu tidak diketahui untuk saat ini," jawab
sekretaris itu takut-takut.
Saat itu, Doni sedang memegang pisau
buah dan mengupas apel. Begitu mendengar laporan sekretarisnya, gerakannya
tiba-tiba terhenti.
"Radit, kamu nggak salah dengar?
Seharusnya Adriel yang sudah tewas, 'kan?"
Pedro bertanya lagi untuk memastikan.
Namun, jawaban Radit sungguh di luar
dugaan. "Nggak salah lagi. Iblis Perak sudah tewas dan mayatnya sudah
dibawa oleh pihak Departemen Keamanan Kota."
Doni meletakkan kembali buah yang
sedang dikupasnya dengan kasar dan mencengkeram gagang pisau buah. Air mukanya
seketika berubah muram hingga membuat Radit gemetar ketakutan.
"Bagaimana dengan keluarga
Millano? Ada kabar soal mereka?" tanya Doni dengan suara tertahan.
"Semuanya masih seperti biasa.
Tidak terjadi apa pun."
Urat-urat di wajah Doni seketika
menonjol keluar, memperlihatkan amarahnya yang bergejolak.
"Padahal Dua Iblis Lembayung
Perak sampai turun tangan, tapi yang satu malah tewas dan yang satu lagi
menghilang tanpa jejak. Siapa yang melakukan semua ini? Apa keluarga Millano
mengutus seorang mahaguru tingkat lima?"
Doni berusaha keras menahan
amarahnya.
"Situasi lebih jelasnya belum
diketahui, Pak,
"jawab Radit.
"Kalau begitu cepat pergi dan
cari tahu!"
Doni berteriak geram.
Radit buru-buru keluar dari bangsal
saat Doni menendang meja hingga terbalik untuk meluapkan kekesalannya.
Doni membuat rencana matang untuk
melancarkan pembunuhan di tengah- tengah perjalanan bernegosiasi. Dia bahkan
tidak segan-segan mengeluarkan biaya besar untuk menyewa Dua Iblis Lembayung
Perak untuk menghancurkan keluarga Millano sepenuhnya.
Tak disangka, rencananya justru gagal
total!
"Ayah, sekarang kita harus
bagaimana?" tanya Pedro.
Doni segera menekan amarahnya, duduk
kembali dan melanjutkan mengupas buah.
"Sepertinya Ayah terlalu
meremehkan keluarga Millano, tapi ini baru permulaan. Kita lihat saja akhirnya
nanti."
Doni memang sedang mengupas buah,
tetapi dia melakukannya sambil meluapkan kemarahan sehingga buah di tangannya
hanya tersisa bijinya.
No comments: