Bab 95
Arkan Wijaya adalah tamu kehormatan
keluarga Lein yang merupakan seorang ahli tingkat lima yang cukup tersohor di
Kota Silas.
Adriel duduk dengan tenang dan
menunggu di ruang tamu saat Sri dan Fanny berjalan turun dari lantai atas.
"Adriel, tunggu di sini
sebentar, ya. Bu Sri sudah menyuruh orang untuk mengambil uang."
Sri mulai membujuk, berusaha menahan
Adriel di sana.
"Bu Sri, aku nggak butuh itu.
Aku nggak kekurangan uang."
Adriel lagi-lagi berusaha
menjelaskan.
"Ibuku sendiri yang mau
memberikannya, kamu terima saja. Untuk apa sungkan begitu? Bukannya semua uang
yang kamu punya itu hasil dari menjadi simpanan wanita itu?"
Berbeda dengan keramahan Sri, Fanny
masih memperlihatkan sikap tidak bersahabat kepada Adriel seperti biasa.
"Kamu lapar, 'kan? Bu Sri
buatkan makanan, ya. Dulu kamu paling suka makan mi goreng dan daging asam
manis buatan Bu Sri."
Saat itu, perlakuan Sri pada Adriel
benar- benar mirip seperti calon ibu mertua yang sangat mengharapkan Adriel
menjadi bagian keluarganya. Dia sangat baik dan ramah.
"Sudah bertahun-tahun aku nggak
makan mi goreng dan daging asam manis buatan Bu Sri. Aduh, aku jadi
lapar."
Adriel menanggapi sambil tersenyum.
Sri pun melenggang ke dapur untuk
memasak. Berhubung dia khawatir Fanny akan kelepasan bicara, jadi dia memanggil
putrinya itu ke dapur untuk membantu.
Adriel diam-diam merasa senang karena
sejak awal dia memang tidak ingin hubungannya dengan keluarga Lein memburuk.
Oleh karena itu, dia berencana untuk
mengungkapkan identitas aslinya saat makan nanti sebagai kejutan untuk Sri dan
Fanny.
Saat aroma lezat masakan Bu Sri mulai
tercium dari dapur, Cheky sampai di rumah.
"Adriel? Apa yang kamu lakukan
di sini?"
Cheky terkejut dan langsung bertanya
tanpa basa-basi.
"Tadi aku berpapasan dengan Bu
Sri lalu diajak makan malam di sini. Bu Sri juga bilang mau menyiapkan uang
supaya aku bisa kabur dari kota ini."
Adriel menjelaskan sambil berdiri
untuk menyambut kedatangan Cheky.
"Benarkah?"
Cheky tampak berpikir keras. Pagi
ini, Sri masih memakinya dan memaksanya mencari Adriel dengan cara apa pun
supaya bisa diserahkan kepada keluarga Santoso. Bagaimana mungkin istrinya
tiba-tiba berubah hanya dalam waktu setengah hari?
"Bu Sri sedang memasak mi. Dia
juga membuat daging asam manis kesukaanku," kata Adriel.
"Nggak usah makan di sini,
Adriel. Sini, ikut dengan Paman. Paman sudah menyiapkan uangnya di mobil.
Cepat, kamu ambil uangnya dan pergi dari sini."
Cheky malah menyuruhnya pergi sambil
menarik-narik tangan Adriel.
"Paman Cheky, sudah lama aku
nggak makan masakan Bu Sri. Aku mau makan masakannya. Lagi pula, aku nggak
perlu kabur. Aku punya kejutan untuk kalian semua. Akan kuberi tahu saat kita
makan bersama nanti."
Adriel langsung menolak.
"Dengarkan Paman Cheky, Adriel.
Cepat pergi dari sini. Jangan berlama-lama di rumah ini."
Cheky terus memaksanya pergi dan
menarik tangannya ke arah luar.
Adriel merasa ada yang aneh. Kenapa
Cheky dan Sri seolah bertukar peran?
Tepat pada saat itu, Sri keluar dari
dapur membawa semangkuk mi dan dengan dingin bertanya, "Cheky, sedang apa
kamu?"
"Aku ada urusan dengan Adriel
dan perlu membahas hal penting dengan dia. Kami harus pergi sekarang, nggak
sempat makan."
Cheky sangat mengenal istrinya. Tentu
saja, dia bisa menebak semua yang sudah direncanakan oleh Sri.
"Berhenti di situ! Jangan ke
mana-mana!"
Sri berteriak sambil memasang
ekspresi nyalang.
"Cheky, kalau kamu berani
membawa Adriel keluar selangkah saja dari rumah ini, jangan salahkan aku kalau
aku melawanmu."
Adriel juga menyadari ada sesuatu
yang tidak beres, jadi dia berusaha menengahi." Paman Cheky, Bu Sri sudah
repot-repot masak untukku. Sebaiknya kita makan dulu sebelum pergi."
Melihat situasinya, Adriel sudah bisa
menebak alasan perubahan sikap Sri yang begitu mendadak ini, tetapi dia juga
tidak ingin membuat Cheky terimpit dalam situasi sulit. Lagi pula, dia tidak
takut dengan keluarga Santoso.
"Kamu nggak usah makan. Ayo, ikut
saja."
Cheky yang biasanya takut pada
istrinya, kali ini tetap bersikeras dan teguh dengan pendiriannya.
"Cheky! Kamu pikir aku cuma
mengancam?"
Sri marah besar. Tiba-tiba, dia
melemparkan cangkir di atas meja ke lantai hingga hancur berkeping-keping dengan
tatapan nyalang.
"Aku... aku tahu apa yang kamu
rencanakan. Aku nggak bisa membiarkanmu menyakiti Adriel. Bagaimana aku bisa
bertanggung jawab dan bertemu dengan Kak Michael di akhirat kalau sampai
membiarkan anaknya terluka?"
Cheky tetap bersikeras meskipun
perasaan takut itu mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Siapa yang mau menyakiti siapa,
hah? Dia yang sudah menyakiti keluarga kita! Cheky, sebaiknya kamu diam dan
turuti aku seperti biasa. Kalau nggak sanggup, kamu pergi saja ke kantor."
Sri membentak suaminya, dia tidak mau
mengalah sedikit pun.
No comments: