Bab 96
"Sudah, Paman Cheky. Aku nggak
apa-apa. Paman nggak perlu mengkhawatirkan aku."
Adriel tidak ingin Cheky jadi
terjebak di antara dua pilihan sulit dan membuatnya merasa serba salah.
"Adriel, kamu jangan sok jagoan.
Kamu bisa mati, tahu. Sudah, ayo ikut Paman. Coba saja
kalau dia mau menghalangi kita."
Cheky dengan berani menantang, tidak
memedulikan pengaruh Sri di rumah itu. Apa pun yang terjadi, dia tetap memilih
untuk melindungi Adriel.
Bagi Adriel, tindakan ini sudah lebih
dari cukup. Dia benar-benar merasa terharu dilindungi sampai seperti itu.
Untuk seorang suami yang takut istri,
berani melakukan hal seperti ini saja sudah sangat luar biasa dan butuh nyali
yang besar.
Akan tetapi, belum sempat mereka
pergi, Arkan sudah sampai terlebih dahulu.
"Syukurlah, Pak Arkan datang
tepat waktu. Cepat tangkap bocah kurang ajar ini."
Sri langsung mendesak untuk
bertindak.
"Kukira Bu Sri benar-benar mau
membuatkan makanan kesukaanku.
Ternyata semua ini cuma untuk
memancingku ke rumah ini supaya bisa menangkap dan menyerahkan aku pada
keluarga Santoso."
Meskipun Adriel memang sudah menduga
rencana jahat Sri, tetap saja hatinya terasa perih.
"Hah? Membuatkan makanan
kesukaanmu? Kamu pikir kamu siapa? Lebih baik kulemparkan untuk makanan anjing
daripada memberikannya padamu."
Sri menanggapi dengan ketus, nada
suaranya sarat akan penghinaan.
Adriel hanya bisa menggeleng
mendengar jawaban itu. Dadanya terasa sesak karena kecewa.
"Pak Arkan, cepat tangkap orang
ini," desak Sri.
"Nggak bisa!"
Cheky dengan sigap melindungi Adriel
di belakangnya dan berkata dengan tegas kepada Arkan, "Pak Arkan, ini
urusan keluarga kami, jadi mohon jangan ikut campur. Silakan bapak pulang
saja."
Melihat perpecahan pendapat antara
Cheky dan istrinya, Arkan juga tidak bisa bertindak sembarangan.
"Cheky, kamu sudah gila? Jangan
lupa, kalau bukan karena bantuan keluarga Santoso, kita nggak mungkin bisa
bekerja sama dengan Grup Jahaya. Kita nggak boleh sampai membuat keluarga
Santoso marah."
Sri memaki suaminya sendiri dengan
kasar.
"Huh, kamu pikir pengaruh
keluarga Santoso sebesar itu? Kamu pikir mereka yang membantu kalian bekerja
sama dengan Grup Jahaya?"
Adriel menyela sambil tersenyum
mengejek.
"Siapa lagi kalau bukan keluarga
Santoso? Kamu?"
Sri tidak gentar dan membalas ejekan
itu.
Adriel malas berdebat. Dia tahu tidak
akan ada yang percaya meskipun dia menjelaskan panjang lebar.
"Pak Arkan, cepat seret dia.
Nggak usah hiraukan Cheky. Aku yang pegang kuasa di rumah ini."
Sri mendesak.
Arkan juga tahu Sri-lah yang
sebenarnya berkuasa atas keluarga Lein, jadi dia tidak ragu-ragu lagi dan
langsung memutuskan untuk menyerang Adriel.
Cheky sudah bersiap untuk berusaha
menghalangi semampunya, tetapi Adriel malah keluar dari belakangnya dan
menghadapi serangan Arkan secara langsung.
"Mana bisa kamu menangkapku
dengan kemampuan seperti itu."
"Heh, bocah sombong, nyalimu
besar juga, ya. Aku adalah ahli tingkat lima. Satu tangan saja sudah cukup untuk
menghajarmu sampai sekarat."
Setelah kalimat itu terlontar, Arkan
benar - benar hanya menggunakan satu tangan saat melancarkan teknik
pengendalian untuk mencengkeram bahu Adriel.
Namun, Adriel lebih cepat. Dengan
gesit, dia terlebih dahulu mencengkeram pergelangan tangan Arkan dengan teknik
pengendalian Setelah memutarnya ke belakang, dia tanpa ampun mematahkan empat
jari Arkan.
Arkan mengerang hebat. Akan tetapi,
sebelum Arkan sempat bereaksi, Adriel sudah membuatnya terpental keluar pintu
hanya dengan satu serangan telapak tangan.
Di hadapan seorang Adriel Lavali,
bahkan seorang ahli tingkat lima tidak bisa berkutik sama sekali.
Pertarungan berat sebelah ini selesai
hanya dalam waktu kurang dari satu menit. Bukan hanya Arkan yang terguncang,
tetapi seluruh keluarga Lein juga tercengang tidak percaya.
Sri dan Fanny yang paling terkejut.
Mulut mereka sampai ternganga melihat kemampuan Adriel.
"Padahal cuma ahli tingkat lima,
apa yang kamu banggakan?" kata Adriel dengan wajah datar.
Cheky juga tidak kalah tercengang.
"Adriel, kamu... bagaimana kamu bisa sekuat itu?"
"Paman Cheky lihat sendiri aku
kuat, 'kan? Jadi Paman nggak usah mengkhawatirkan aku."
Adriel menjawab sambil tersenyum
lebar.
Setelah menyaksikan semua itu, Sri
hanya bisa bergumam, "Anak ini... belajar dari mana dia bisa sekuat itu?
Bahkan Pak Arkan kalah hanya dalam sekali serang?"
"Nggak, ini pasti karena Pak
Arkan lengah, jadi dia bisa menyerang tiba-tiba."
Fanny menimpali gumaman ibunya.
Adriel seketika berbalik dan menatap
tajam ke arah Sri dan Fanny. Perlahan, dia berjalan mendekat, selangkah demi
selangkah.
Tatapan itu membuat rasa ngeri
menjalari tengkuk Sri dan Fanny, dan mereka melangkah mundur secara bersamaan.
No comments: