Bab 407
Brando berkata sekali
lagi, "Sudah ngerti 'kan sekarang?"
Ia tetap yakin bahwa
dirinya mampu menundukkan Nindi.
Nindi tertawa
terbahak-bahak, tatapan matanya yang dingin tampak begitu acuh.
Tatapan Brando bertemu
dengan senyum wanita itu, membuatnya merasa sedikit canggung. "Ada yang
lucu?"
"Kamu segitu
pedulinya sama adikmu ini, ya?"
Nindi yang terduduk di
kursinya tampak tersenyum tipis. "Kalau bukan itu, kenapa kamu terus maksa
aku pulang ke rumah? Bukannya dengan adanya Sania sudah cukup, ya?"
Brando menatap tajam ke
arahnya. "Nindi, aku nggak suka tatapanmu itu."
"Bagus, aku juga
nggak suka tuh sama tatapanmu. Kita impas dong."
Nindi memutar kursinya.
"Aku masih ingat, dulu waktu kecil, setiap kali kamu diperlakukan buruk di
luar rumah, pasti pulangnya melampiaskan padaku. Sekarang, siapa lagi yang
bikin kamu kesal?"
"Nindi, mending
pikir dulu deh kalau mau ngomong. Nggak ada untungnya buat kamu kalau sampai
aku marah. Coba pikirin teman-teman sama tim kamu itu."
"Menang jadi arang,
kalah jadi abu!"
Nindi sontak bangkit
dari duduknya, segera ia mencengkeram kerah baju Brando. "Cuma pengecut
yang kena masalah di luar, pulangnya malah melampiaskan ke keluarganya! Sudah
selama ini loh, nggak berubah apa?"
Brando tahu bagaimana
menangani Nindi.
Namun, ia juga sadar apa
yang paling berharga bagi Kakak laki-lakinya itu.
Sesuai dugaan, Brando
sangat marah. Tangannya terangkat ke atas dan hendak memukul, tetapi ia
mengurungkan niatnya.
Tatapan Nindi penuh
dengan aura dingin. "Lanjutin saja, kenapa malah berhenti? Atau, kamu
takut kalah, ya?"
Sudut mata Brando
dipenuhi urat marah, hatinya terasa sesak.
Nindi mengatakan yang
sebenarnya, saat ini Brando tidak mampu mengalahkan adiknya.
Brando tertawa sinis.
"Nindi, aku nggak perlu bertindak kasar buat ngelawan kamu. Aku punya
banyak cara buat bikin kamu menderita. Tim kamu nggak akan bisa latihan dengan
tenang, jadi pastikan kamu nggak akan pernah menyerah."
Setelah selesai
berbicara, Brando berbalik dan meninggalkan ruangan kantor.
Nindi terdiam di
tempatnya, menatap punggung pria itu yang semakin menjauh. Dengan kesal ia
memukul meja di depannya dengan keras.
Galuh bergegas masuk ke
dalam ruangan. " Tanganmu luka! Brando ngancam kamu, ya?"
Nindi melirik sekilas
tangannya dan berkata, "Sejak kecil, begitu orang tua kami meninggal,
situasi rumah jadi kacau. Aku tumbuh bersama kakak-kakakku, belajar membaca
suasana hati mereka, dan berusaha untuk menyenangkan mereka."
Sorot mata Galuh
terlihat marah. "Tapi 'kan, kamu itu adik kandung mereka! Kok mereka
bisa-bisanya setega itu sama kamu?"
Dengan pandangan
tertunduk, Nindi menjawab, " Aku tahu mereka menyalahkanku atas kematian
orang tua kami. Makanya, aku selalu menahan diri. Mereka sudah terbiasa dengan
kehidupan lama kami, dan sekarang mereka berusaha buat mengubahku seperti
dulu."
Di kehidupan sebelumnya,
ia sudah pernah mati sekali.
Ia tidak akan kembali ke
keluarga Lesmana dan mengulang kehidupan lamanya lagi. 4
Nindi hanya menatap
Galuh, dan berkata, "Mungkin aku harus keluar dari tim pusat."
Brando adalah orang yang
nekat, ia bahkan melakukan apa pun demi mencapai tujuannya.
Semua orang telah
berlatih keras demi kompetisi ini, mereka tidak boleh kehilangan kesempatan
hanya karena dirinya.
Air mata Galuh menetes
karena begitu sedih mendengar cerita Nindi. "Nggak, kami nggak akan
menunda latihan cuma karena masalah ini!"
Kakak senior pun
melangkah masuk ke dalam ruangan, dan menyahut, "Iya, kita bisa kok atur
ulang jadwal latihannya. Aku nggak yakin dia bakalan terus mengulur waktu
begini."
Nindi tampak berlinang
air mata. "Maafin aku."
"Nggak usah minta
maaf, kami mengerti semua yang sudah kamu alami. Kamu juga tahu kalau
keluargamu itu pilih kasih. Kita ini satu tim, jadi harus kompak."
Sambil menyeka air
matanya, Nindi bertekad untuk membuat Brando berhenti mengancamnya.
Di kehidupan kali ini,
ia hanya ingin pergi sejauh mungkin dari keluarga Lesmana dan menjalani
kehidupan dengan tenang.
Namun, keberadaan mereka
bagaikan bayangan yang terus menghantuinya, sampai kapan pun tidak akan
membiarkannya hidup dengan tenang.
Nindi turun ke lantai
bawah, sementara itu syuting masih mengalami kendala.
Nindi berulang kali
menyerang karakter game Sania hingga tumbang. Setelahnya, ia merasa lebih
tenang.
Sebaliknya, Sania merasa
semakin tertekan.
Brando yang menyadari
bahwa kru tampak kesal, akhirnya angkat bicara. "Kita sudahi dulu untuk
hari ini. Malam ini aku yang traktir makan malam!"
Setelah kru pergi,
Brando segera mengalihkan tatapannya kepada Nindi. "Kayaknya kamu sama
sekali nggak peduli latihan tim tertunda, ya."
""Toh, syuting
'kan memang butuh waktu, yang harusnya panik 'kan bukan aku."
Nindi menatap dalam ke
arah Brando, seakan menantangnya dalam pertarungan kesabaran.
Brando menahan
amarahnya, dan berpura-pura berkata dengan nada lembut, "Ayo makan, aku
sengaja pilih restoran favoritmu."
Nindi menyunggingkan
senyum dingin. "Kamu salah, yang suka restoran itu 'kan Sania, bukan
aku."
PROMO!!! Semua Novel Setengah Harga
Cek https://lynk.id/novelterjemahan
Bab Lengkap
No comments: