Bab 471
Nindi tahu betul alasan
Brando begitu terburu-buru menjalin kerja sama dengannya. Sudah pasti karena
enggan kehilangan segalanya dalam perusahaan.
Bagi Brando, melihat
perusahaannya jatuh ke tangan Sania rasanya lebih menyakitkan daripada
kematian.
Ketika bumerang itu
berbalik menghantam dirinya sendiri, barulah dia tahu rasanya dikhianati.
Brando akhirnya
bersuara, "Apa syaratmu?"
"Syaratku sangat
sederhana. Serahkan seluruh saham perusahaan atas namamu kepadaku."
"Nindi, kamu
gila!"
Brando merasa tidak
percaya begitu mendengar syarat itu, "Kalau aku serahkan semua saham
padamu, bukankah semua usahaku selama ini sia-sia?"
"Kamu sendiri yang
bilang mau menebus kesalahanmu padaku. Selama aku nggak menuntutmu, kamu akan
menyetujui syarat apa pun, 'kan?"
Nindi menatap dengan
penuh ejekan.
Brando langsung
tersedak, lalu berkata, "Tapi aku yang sudah bangun perusahaan ini dengan
susah payah sampai seperti sekarang."
"Aku tahu, tapi
kamu kan bisa ambil saham atas nama kakakmu. Toh, di perusahaan ini, kamu bakal
tetap jadi bintang besar. Nggak ada skandal dan nggak ada kehancuran.
Bagaimanapun juga, kamu tetap untung."
"Nindi, sejak kapan
kamu jadi serakah begini?"
Nindi melangkah maju,
suaranya lirih tetapi tajam, " Aku serakah? Kalau bukan gara-gara naskah
yang kutulis dengan susah payah, apa kamu dan perusahaanmu bisa berkembang
sejauh ini? Semua ini aslinya hakku."
Dulu, dia hanya ingin
menjauh dari keluarga Lesmana.
Namun, sekarang? Dia
tidak sebodoh itu lagi. Apa yang seharusnya menjadi miliknya, tidak akan dia
lepaskan begitu saja.
Dia pun berbalik,
"Kalau kamu nggak setuju, ya sudah."
"Itu artinya kamu
juga nggak bakal dapat apa-apa."
"Tapi setidaknya,
aku nggak akan hancur begitu saja. Aku masih bisa cari cara lain. Tapi kamu
nggak akan punya kesempatan itu."
Tatapan Nindi dipenuhi
ejekan. Dia yakin Brando tidak akan sanggup menanggung kekalahan.
Baru beberapa langkah
dia berjalan, suara Brando terdengar dari belakang, "Aku setuju dengan
syaratmu."
Suaranya terdengar
begitu putus asa.
Nindi berbalik, dia
melihat sosok pria yang selama ini begitu angkuh itu tengah bersandar pada
dinding, dengan punggung sedikit membungkuk. Tidak ada lagi kesombongan seperti
saat berhadapan dengannya dulu.
Brando butuh waktu lama
untuk melangkah ke arahnya, "Setelah ini, kita harus bekerja sama agar
kakak nggak bisa lagi mengendalikan perusahaanku. 11
"Kenapa? Kamu nggak
mau lagi kerja sama dengan kakak tercintamu?"
Brando tersenyum getir,
"Kalau dia masih saja keras kepala, aku nggak mungkin menyeret diriku
sendiri ke dalam kehancuran."
Dia tidak akan
membiarkan hasil kerja kerasnya dirampas begitu saja.
Jika kakaknya begitu
protektif kepada Sania, maka dia juga tidak akan membiarkan perusahaannya
dijadikan alat untuk berkorban.
Tak lama kemudian,
manajer Brando datang membawa pakaian untuk menghadiri jamuan malam.
Setelah berganti
pakaian, Nindi melihat Brando juga telah mengenakan setelan jas. Namun, seperti
biasa, dia tetap memakai masker untuk menutupi luka di wajahnya.
Sekilas, sebenarnya
tidak ada yang berbeda dengan biasanya.
"Kalau begini, kamu
cuma bakal bikin Kak Darren kesal. Apa Kak Sean nanti kira-kira bisa membantumu
melakukan operasi plastik?"
Sean sangatlah ahli
dalam bidang operasi.
Di keluarga Lesmana,
Darren tentu masih menjadi sosok yang berpengaruh. Bagaimanapun juga, fondasi
ekonomi menentukan segalanya.
"Kak Sean bukan
orang seperti itu. Aku sudah kasih tahu dia tentang semua yang terjadi di rumah
selama ini. Nggak semua orang bisa dipermainkan oleh Sania begitu saja."
Benarkah?
Mata Nindi menyiratkan
ejekan saat menatap ke luar jendela mobil.
Tangannya menyentuh
pinggangnya. Di kehidupan sebelumnya, ginjalnya bahkan sudah diberikan kepada
Sania.
Bagi Nindi, semua orang
di keluarga Lesmana sama saja.
Mobil itu pun melesat
menuju tujuan.
No comments: