Bab 473
Nindi tersenyum sambil
mengulurkan tangan ke arah Sania, seolah tengah mengundangnya.
Sania hampir meledak
saking marahnya. Demi mempersiapkan jamuan malam ini, dia bahkan menghafal
pidatonya berulang kali.
Namun, semua itu kini
hancur berantakan.
Bisa-bisanya Nindi yang
menyebalkan itu masih punya muka untuk mengajaknya naik ke panggung? Bukankah
ini jelas-jelas penghinaan?
Melihat situasi yang
memanas, Darren bergegas menengahi, "Sania, kalian naik saja bersama.
Bagaimanapun juga, kalian ini saudara. Kalian juga sudah berkontribusi dalam
naskah ini."
Sania mengulurkan
tangannya dengan enggan. Namun, Nindi justru menarik tangannya kembali.
"Aku cuma bercanda,
tapi kamu malah anggap ini serius. Penulis yang asli sudah di sini sekarang.
Jadi, kamu nggak perlu lagi bacakan pidatoku."
Sudut bibir Nindi
melengkung dengan sinis, " Karena yang palsu, pada akhirnya tetaplah
palsu."
Nindi berbalik dan
berjalan ke depan Sania. Dia bahkan sengaja sedikit menabrak sosok yang
menyedihkan itu.
Sania nyaris terjatuh.
Wajahnya memerah karena amarah, 'Nindi, dasar perempuan licik!' umpatnya dalam
hati.
Nindi berdiri di atas
panggung dengan penuh percaya diri. Dia mendongak menatap Darren, yang wajahnya
kini terlihat sangat suram.
Dia kemudian tersenyum
cerah, "Kakakku ternyata sudah menyiapkan kejutan sebesar ini untukku. Aku
benar-benar terharu!"
Darren hampir saja
meledak marah. Akan tetapi, dengan begitu banyak orang yang menonton, dia tak
bisa langsung kehilangan kendali.
Tanpa ragu, Brando
menyerahkan satu mikrofon lagi pada Nindi.
Nindi menggenggam
mikrofon, lalu menatap ke arah para tamu, "Selamat malam, semuanya. Aku
adalah M&M. Belakangan ini aku kurang sehat. Itu sebabnya kakakku
memutuskan untuk membiarkan gadis yang keluarga kami asuh naik ke atas panggung
dan menggantikanku. Tapi, aku tetap ingin datang. Bagaimanapun, naskah ini
ditulis olehku. Dia sama sekali nggak mengerti isinya."
Darren buru-buru
memotong ucapan Nindi, "Nindi, setahuku, Sania juga banyak berkontribusi
dalam naskah ini. Apa kamu lupa?"
"Nggak lupa,
kok." Nindi tersenyum manis, "Dia memang bantu aku saat lagi menulis
naskah, seperti membawakan teh dan air. Sayangnya, dia malah nggak sengaja
merusak laptopku hingga semua berkasnya hilang."
Tentu saja, Nindi tidak
akan pernah melupakan segala usaha yang telah dilakukan oleh sosok yang
menyedihkan ini.
Nindi menatap Sania
dengan dingin, "Kalau bukan karena kebodohanmu yang nggak sengaja merusak
laptopku, aku nggak akan menulis ulang naskah ini dan membuat versi keduanya
yang ternyata jadi lebih baik. Kamu memang membantu, sih... meskipun itu
bantuan yang justru menyusahkan."
Maksud dari ucapan Nindi
sangatlah jelas.
Sania gemetar karena
amarah. Dia langsung berbalik dan turun dari panggung, enggan menjadi pusat
perhatian. Jika terus seperti ini, dia bisa mati karena kesal!
Nindi jelas sengaja
melakukannya.
Namun, Darren masih saja
membela Sania, "Sania juga nggak sengaja. Lagi pula, dia juga ikut serta
dalam pembuatan naskah ini."
Tampaknya, Darren
benar-benar bertekad ingin memasukkan nama Sania ke dalam proyek ini, entah
bagaimana caranya.
Nindi hanya merasa muak.
Jadi, Nindi berniat membiarkannya merasakan penyesalan.
Nindi menoleh ke arah
Sania dengan santai, "Kalau begitu, coba jelaskan, bagian mana dari naskah
ini yang kamu ciptakan?"
Sania merasa bahwa
tatapan orang-orang di sekitarnya mulai mengarah padanya. Dia pun buru-buru
berkata, "Inspirasi naskah ini berasal dari ..."
Tentu saja, Sania sudah
menghafal pidatonya sejak awal. Pada saat seperti ini, sekadar menjelaskan
bukanlah suatu masalah.
Setelah mendengarnya,
Nindi berkata seraya tersenyum samar, "Kamu bilang sudah banyak
berkontribusi ? Kalau begitu, coba sebutkan sudah berapa kali naskah ini
direvisi, berapa kali karakternya mengalami perubahan, berapa kali hubungan
tokoh utama mengalami krisis, dan berapa kali latar belakang si antagonis
diubah? Masih ingat semuanya, 'kan?"
Ekspresi Sania langsung
berubah drastis. Bagaimana mungkin dia mengingat semua itu?
Lagi pula, tak ada yang
mengatakan bahwa pidato ini perlu membahas hal-hal seperti itu!
Dia bahkan sama sekali
tidak menulis naskah ini. Jadi, bagaimana mungkin dia tahu jawabannya?
Nindi menatap Sania
tanpa berkedip, "Kamu nggak bisa jawab, 'kan? Karena kamu memang nggak
pernah ikut menulisnya."
Darren buru-buru
menengahi, "Nindi, naskah ini sudah dikerjakan begitu lama. Wajar kalau
nggak bisa mengingat semuanya dengan jelas."
Nindi menoleh ke arah
Darren seraya tersenyum tipis, "Tapi aku mengingatnya dengan sangat
jelas."
No comments: