Bab 476
"Mulai hari ini,
kamu bukan lagi pemegang saham utama."
Tepat saat itu, Nando
muncul dengan kursi rodanya.
Wajahnya tampak pucat,
jelas kondisinya masih kurang sehat, tetapi dia langsung berbicara, "Aku
dan Brando bisa mengalihkan saham kami ke Nindi. Saat itu terjadi, dialah yang
akan menjadi pemegang saham utama di perusahaan ini."
Ruangan seketika gempar.
Begitu mendengar
pernyataan itu, raut wajah Darren pun berubah drastis.
Darren bertanya dengan
lirih, "Apa yang sebenarnya kalian rencanakan?"
Darren benar-benar tak
menyangka bahwa mereka akan bersatu untuk menjatuhkannya!
Nando melanjutkan,
"Kak, kamu yakin mau bahas hal itu di sini? Yang akan dipermalukan nanti
jelas dirimu sendiri."
Darren mengangguk pelan,
kemudian melangkah menuju ruang istirahat dengan raut dinginnya.
Nindi pun tak menyangka
bahwa Nando akan muncul. Bukankah Darren telah mengurung pria itu?
Brando menatap semua
orang di ruangan itu dan berkata, "Maaf sudah membuat kalian melihat hal
seperti ini. Tapi, ke depannya perusahaan akan dikelola Nindi. Kemampuannya
dalam menulis naskah sudah kalian lihat sendiri. Semoga kita bisa bekerja sama
dengan baik ke depannya."
Sania yang mendengar
ucapan Brando langsung bergegas pergi dengan wajah penuh amarah untuk mengejar
Darren.
Nindi, Brando, dan Nando
segera pindah ke tempat yang lebih sepi.
Nindi menatap Nando
dengan heran, "Kok Kakak bisa ke sini?"
"Brando mengirim
orang buat menjemputku. Jadi, aku langsung datang ke sini secepat mungkin.
Bagaimanapun juga, perusahaan ini nggak boleh jatuh ke tangan Sania."
Nando tahu betul bahwa
perusahaan ini adalah hasil jerih payah Brando. Namun, dia tak pernah menyangka
bahwa Darren akan berpihak pada Sania sampai ke titik seperti ini.
Brando tersenyum getir,
"Sepertinya, kita semua meremehkan seberapa betapa liciknya Sania."
Nando menatap Nindi
dengan hati-hati seraya berkata lembut, "Nindi, jangan khawatir, aku akan
selalu berpihak padamu."
Nindi tak menjawab
meskipun mendengarnya. Dia hanya berbalik dan melangkah menuju ruang istirahat.
Brando lalu mendorong
kursi roda Nando, dan mengikuti di belakangnya.
Di ruang istirahat.
Nindi masuk lebih dulu
dan melihat Sania berdiri di samping Darren. Wanita itu terlihat tengah
membisikkan sesuatu.
Begitu dia muncul,
tatapan Darren langsung berubah tajam, seolah ingin menelannya hidup-hidup.
Dengan amarah yang
meluap, Darren berjalan ke arah Nindi, "Nindi, aku benar-benar nggak
menyangka kamu bisa sejauh ini. Bukankah kamu sudah bertekad pergi dari
keluarga Lesmana dan memutus semua hubungan dengan kami? Tapi sekarang kamu maų
kembali buat rebutan harta? Kamu memang nggak tahu malu, ya?"
"Kalau begitu, kamu
tahu betul kalau naskah itu sepenuhnya aku yang tulis. Tapi kamu masih mau
mengganti nama penulisnya menjadi Sania? Apa kamu sendiri masih punya rasa
malu?"
Darren terdiam sesaat,
tak bisa langsung membalas, "Tapi Sania juga sudah berkontribusi dalam
naskah ini. Apa hakmu merendahkannya di depan semua orang dan menuduhnya
menempel pada hasil kerjamu?"
Nindi tersenyum sinis,
"Berani bersumpah atas nama Tuhan kalau itu benar? Kalau sampai kamu
berbohong, maka perusahaanmu bangkrut, semua proyekmu gagal, dan kamu akan
kehilangan segalanya."
Setelah mengatakannya,
Nindi menatap Darren dengan tajam seraya menggoda, "Bersumpahlah ! Kenapa?
Nggak berani?"
Darren tidak menjawab.
Wajahnya memerah karena marah sekaligus malu, "Takhayul!"
Nindi tersenyum sinis,
"Jadi, meskipun kamu bilang ini takhayul, kamu tetap nggak berani
bersumpah? Itu artinya kamu sendiri tahu kebenarannya."
Darren memang sengaja
melakukan semua ini hanya demi merebut sesuatu darinya dan memaksanya tunduk.
Akan tetapi, Darren
justru balik menuduh, "Nindi, kalau saja kamu nggak memojokkan keluarga
Lesmana sampai begini, aku juga nggak akan melakukan ini!"
"Jadi, aku cuma
belajar darimu!"
Nindi mendongak, lalu
terkekeh pelan, "Sekarang, aku adalah pemegang saham terbesar di
perusahaan ini. Ucapanmu nggak ada artinya lagi!"
Darren naik pitam
seketika.
No comments: