Bab 486
"Asal kamu tahu,
Darren mengancamku dengan harta warisan orang tua kami. Karena nggak ada
kontrak tertulis untuk pembagian harta benda, aku nggak bisa mengambil kembali
barang-barang itu untuk sementara waktu. Aku nggak ingin barang -barang itu
jatuh ke tangan Sania."
"Pak Ferdian sudah
memberitahuku soal ini. Mengurusnya lewat jalur hukum butuh waktu, tapi kamu
juga nggak perlu kembali ke keluarga Lesmana."
Cakra menggenggam tangan
Nindi dan berkata, " Kamu juga nggak perlu takut karena masalah keluarga
Ciptadi. Terakhir kali itu terjadi karena aku nggak ada di sana."
"Bahkan kalau kamu
ada di sana, itu nggak akan mengubah apa pun. Keluarga Ciptadi punya posisi
yang luar biasa di industri media, orang biasa nggak akan bisa melawan
mereka."
Mendengar kata-kata
Nindi, Cakra terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Nindi, sebenarnya
kamu nggak perlu terlalu berhati-hati."
"Bagaimanapun juga,
ini Yunaria. Kadang-kadang kita memang harus mengalah."
Nindi menatapnya dengan
serius. "Tapi keputusanku untuk kembali ke keluarga Lesmana bukan cuma
karena ingin mengambil kembali warisan orang tuaku. Ada alasan yang lebih
penting.
"Alasan apa?"
"Aku menemukan
sesuatu yang mencurigakan tentang kecelakaan mobil waktu itu," balas
Nindi.
Jantung Cakra langsung
berdebar kencang. Butuh beberapa saat sebelum dia bisa menemukan suaranya
kembali. "Apa yang kamu temukan?"
Apa Nindi sudah
menemukan keberadaannya?
Pada saat itu, Cakra merasa
seperti seorang tahanan yang sedang menunggu vonis hukuman mati.
"Aku menemukan
kalau ayah Sania sebenarnya masih hidup."
Nada suara Cakra
terdengar terkejut. "Bukannya ayah Sania itu sopir orang tuamu? Dia
meninggal dalam ledakan waktu itu."
Dia sendiri ada di
tempat kejadian dan melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana sopir itu
kembali ke dalam mobil sebelum kendaraan tersebut meledak.
Dalam kondisi seperti
itu, mustahil orang itu masih hidup.
Nindi mengangguk.
"Awalnya, aku juga berpikir begitu. Tapi beberapa waktu lalu, aku meminta
TG Grup untuk mengawasi Sania, dan tanpa diduga, mereka berhasil memotret dia
sedang bertemu dengan seorang pria paruh baya."
"Apa kamu yakin
kalau pria paruh baya di foto itu ayah Sania?"
"Aku yakin. Aku nggak
mungkin salah."
Awalnya Nindi juga
curiga apakah dia salah mengenali pria itu, tapi setelah dipikir-pikir dengan
cermat, itu memang ayah Sania.
Cakra benar-benar tidak
menyangka bahwa sopir itu ternyata masih hidup.
Dia tidak bisa menahan
diri untuk bertanya, "Terus siapa yang menyetir mobil waktu itu? Sopirnya
pasti mati, tapi kita belum tahu dia itu benar-benar ayah Sania, 'kan?"
"Ya, tapi aku sudah
mencoba tanya pada kakak-kakakku di rumah, mereka semua bilang kalau ayah Sania
yang jadi sopirnya. Mereka bahkan bertemu dengannya sebelum berangkat."
"Apa mungkin ada
pergantian orang di tengah jalan? “
Nindi mengangguk.
"Aku juga memikirkan kemungkinan itu, tapi orang tuaku sudah meninggal dan
aku nggak bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi waktu itu. Jadi, aku
nggak punya bukti apa pun untuk membuktikan dugaanku.”
"Soal ayah Sania,
dia cuma muncul sekali. Setelah itu nggak ada lagi jejaknya."
"Apa nggak ada
seorang pun dari TG Grup yang menemukan petunjuk?"
"Nggak, makanya aku
putuskan untuk kembali ke keluarga Lesmana sementara waktu. Satu-satunya cara
untuk memancing orang di balik semua ini keluar dengan membuat Sania terdesak,
seperti yang terjadi sebelumnya."
Cakra merenung sejenak.
"Saat aku menyelidiki kecelakaan waktu itu, aku nggak menemukan sangkut
paut keluarga Morris di dalamnya. Mereka memang paling dicurigai, tapi kalau
dipikir lagi, mungkin semua ini memang diatur oleh ayah Sania.
"Kamu benar. Aku
sampai lupa soal itu. Kalau kita mulai menyelidiki dari sopir yang mengemudi saat
itu, mungkin kita bisa menemukan sesuatu."
Cakra mengusap kepala
Nindi. "Tapi ini baru dugaan. Sudah bertahun-tahun berlalu, ini akan butuh
waktu."
"Aku tahu, tapi
kecelakaan waktu itu nggak sesederhana yang kita kira. Kakakku bilang sopir itu
ada hubungannya dengan keluarga Morris dan ada orang lain dalam mobil
itu."
Bibir tipis Cakra
terkatup rapat dan untuk sesaat dia kehilangan kemampuan untuk berbicara.
Bahkan jari-jarinya
gemetar.
Akhirnya, ia menemukan
kembali suaranya. "Apa yang ingin kamu lakukan kalau kamu menemukan orang
itu?"
"Tentu saja aku
akan menanyakannya langsung ! Apa yang begitu mendesak sampai-sampai sopir itu
harus ngebut dan menerobos lampu kuning?"
Emosi Nindi mulai
memuncak. "Kalau saja mereka nggak menerobos lampu kuning, kecelakaan itu
nggak akan pernah terjadi!"
Jika kecelakaan itu
tidak terjadi, semua ini juga tidak akan terjadi.
Mata Nindi dipenuhi
dengan kebencian. "Aku ingin dia membayar atas perbuatannya!"
No comments: