Bab 487
Cakra bertemu tatap
dengan Nindi dan dia hampir kehilangan keseimbangan.
Mata Nindi memerah,
sorot matanya dipenuhi kebencian.
Tatapan itu seperti
pisau yang menusuk langsung ke jantungnya, membuatnya merasa sangat kesakitan.
Dia merasa sangat sulit
untuk bernapas.
Cakra dengan hati-hati
menyeka air mata Nindi." Dia akan membayar atas semua ini."
Padahal dia sendiri
sudah membayar harganya.
Nindi buru-buru
menenangkan diri. "Aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi
dengan kecelakaan mobil saat itu."
"Baiklah, aku akan
menyelidikinya bersamamu."
Cakra diam-diam membuat
keputusan. Jika ayah Sania ternyata masih hidup, maka kecelakaan itu mungkin
tidak sesederhana yang dia kira.
Apa benar keluarga
Morris tidak terlibat dalam kecelakaan ini?
Dia juga perlu
menyelidikinya lebih dalam.
Cakra melirik Nindi,
tetapi kata-kata yang hampir keluar dari mulutnya akhirnya tertahan.
Nindi melihat jam
tangannya. "Kalau begitu, ayo kita mulai latihan."
Cakra berbalik dan
mengeluarkan sebuah kotak." Aku membelinya saat perjalanan bisnis. Coba
lihat kamu suka atau nggak."
Nindi membuka kotak itu
dan menemukan sepasang sarung tinju merah. "Cantik banget."
Selama ini, dia hanya
menggunakan sarung tinju milik pusat kebugaran, dan belum pernah membelinya
sendiri.
Dia berpikir untuk
membelinya nanti setelah mahir, tetapi ternyata Cakra sudah lebih dulu
membelikannya..
"Suka nggak?"
"Suka, aku suka
banget hadiah ini."
Nindi langsung
mengenakannya dan ternyata ukurannya pas sekali.
Cakra menatap senyuman
di wajah Nindi dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia pun berkata dengan
berat hati, "Kalau begitu, coba gunakan dan lihat bagaimana rasanya."
Nindi begitu terfokus
pada hadiah itu sehingga tak menyadari kesedihan mendalam di mata Cakra.
Setelah latihan, Nindi
kelelahan dan langsung merebahkan diri di lantai.
Dia melihat sarung
tangannya. "Ternyata sarung tangan yang dibeli sendiri memang beda, jauh
lebih nyaman."
Cakra dengan perhatian
mengambil handuk dan air mineral, lalu menyeka keringat di leher Nindi.
Tiba-tiba, Nindi meraih
wajahnya dengan kedua tangan. "Cakra, aku baru sadar ada sesuatu di
wajahmu."
"Apa?"
"Sedikit
ketampanan."
Setelah mengatakannya,
Nindi menyadari Cakra tidak bereaksi seperti yang dia harapkan. Dia pun
berdeham canggung. "Itu gombalan, kamu belum pernah dengar?"
Sepertinya dia baru saja
melontarkan lelucon yang garing.
Tatapan Cakra tertuju
padanya, lalu pria itu menunduk dan mencium bibirnya.
Kali ini ciuniannya
lebih mendesak dan bergairah daripada sebelumnya.
Nindi melingkarkan
lengannya di leher Cakra, bulu matanya sedikit bergetar saat dia memejamkan
mata.
Di bawah cahaya lampu
yang jatuh dari atas, Cakra membuka matanya dan menatap gadis di depannya
dengan tatapan penuh kasih sayang yang mendalam.
Dia harus mengakui satu
hal, yaitu dia merasa seperti pengecut saat berhadapan dengan Nindi.
Baru ketika mendengar
suara petugas kebersihan sedang mengambil peralatan, Nindi membuka matanya
dengan malu dan mendapati sepasang mata hitam pekat menatapnya dalam-dalam.
Kenapa rasanya Cakra
tidak terlihat begitu senang?
Cakra berhenti dan
menyerahkan botol air padanya. "Istirahatlah sebentar dan ganti baju. Mau
makan camilan malam nggak?"
Nindi menyesap sedikit
air dan melirik jam tangannya. "Sudah agak larut, lebih baik nggak usah.
Aku juga nggak terlalu lapar."
"Nggak
apa-apa."
"Jangan bohong.
Jelas - jelas kamu terlihat nggak senang sekarang."
Nindi mulai khawatir.
Apa Cakra sedang ada masalah?
Cakra mengambil handuk
dan kembali menyeka keringat di leher Nindi. "Nggak, kamu salah lihat.
Mana mungkin aku nggak senang saat berkencan denganmu?"
Dia memang pandai
menyembunyikan perasaannya dan dengan cepat menyesuaikan nada suaranya.
Nindi menatapnya dengan
saksama, tetapi tidak menemukan keanehan apa pun. Akhirnya, dia memilih untuk
tidak bertanya lebih jauh.
No comments: