Bab 78
Nindi berhenti
melangkah, hatinya sangat cemas. Seingatnya, di kehidupan sebelumnya, Nando
hanya menderita sakit maag biasa dan tidak punya masalah kesehatan serius.
"Nindi, sampai
kapan kamu mau keras kepala seperti ini? Kak Nando sudah memohon penuh supaya
kamu pulang, masih mau minta apa lagi, sih? 11
"Kejadian alat
tulismu rusak sebelum ujian cuma kebetulan."
"Bahkan, Kepala
Pelayan sudah meminta maaf padamu. Apa lagi yang kamu mau?"
"Haruskah kamu
minta nyawanya juga?"
Nindi terpaku di tempat,
mendengar pertanyaan penuh tuduhan dari kakak keenamnya.
Seolah-olah dia telah
berdosa besar.
Dia menoleh, tatapan
matanya begitu tajam dan tegas.
"Kak Nando dirawat
di rumah sakit mana?" tanya Nindi.
"Hmm, baru sekarang
kamu tanya? Telat, aku nggak akan kasih tahu kamu."
Leo tampak kesal. Nindi
benar-benar bersikap bak tidak peduli lagi pada keluarganya.
Dulu, ketika Nando batuk
beberapa kali saja, Nindi menjadi sangat cemas.
Namun, sekarang? Sikap
dinginnya membuat Leo kecewa dan marah.
Nindi mengangguk kecil.
"Oke. Nggak masalah kalau kamu nggak mau bilang."
Dia melanjutkan
langkahnya.
"Nindi, kamu benar-benar
nggak mau jenguk Kak Nando di rumah sakit?"
"Tadi, aku sudah
tanya, tapi kamu sendiri yang nggak izinkan aku pergi."
Leo makin kesal.
"Aku bilang seperti itu karena aku kesal saja. Masa kamu benar-benar nggak
pergi jenguk dia?" a
Ekspresi Nindi tetap
datar. "Toh, Kak Nando punya Sania di sampingnya. Aku pergi atau nggak,
sama saja."
"Bagaimana bisa
sama? Sania bukan saudari kandung kita."
Setelah Leo mengatakan
hal itu, kebetulan dia melihat Sania berjalan keluar gedung sekolah.
Situasinya mendadak
berubah canggung.
Banyak orang mendengar
perkataannya tadi.
Sania mematung di
tempat, matanya tampak kemerahan karena menahan malu.
Nindi, yang melihat
semua itu, hanya beralih pada Leo dan mengejek, "Kak Leo, bicaramu itu
keterlaluan. Meskipun Sania anak angkat, tapi dia sudah baik sama keluarga
kita. Kenapa kamu tega sekali bicara begitu?"
Sebatas manipulasi
mental, 'kan?
Tenang, Nindi juga bisa
melakukannya.
Wajah Leo seketika merah
padam bagai lampu lalu lintas.
Dia menoleh ke arah
Sania sambil menjelaskan, " Aku nggak bermaksud begitu."
Sania menyeka air mata
di sudut, menunjukkan senyuman tegar. "Aku tahu. Kak Leo selalu baik
padaku, layaknya kakak kandungku sendiri."
Leo merasa lega.
"Baguslah kalau kamu nggak salah paham."
Seorang Nindi saja sudah
cukup membuatnya pusing. Kalau Sania juga marah, kepala Leo bisa pecah.
Lantas, Leo menoleh ke
arah Nindi. "Sania itu adik paling pengertian dan patuh. Dia nggak
bersikap kekanak-kanakan sepertimu, mudah marah dan kabur dari rumah!"
Nindi cukup kagum dengan
akting Sania.
Pada akhirnya, Nindi
segera berbalik dan pergi tanpa menghiraukan Leo.
Namun, Leo tidak
menyerah begitu saja. Dia segera mengejar Nindi sambil bersuara, "Nindi,
belakangan ini kerja paruh waktu di mana? Mungkin kamu menjadi penyiar
langsung, ya?"
Sebenarnya, Leo masih
menaruh beberapa keraguan di hatinya.
Bagaimanapun juga, suara
Nindi begitu mirip dengan suara penyiar "Lemon Manis."
Nyaris tidak ada
bedanya.
Jadi, dia ingin
memastikannya sendiri dengan datang ke sekolah.
Nindi mendongak sambil
tersenyum setengah hati. " Kak Leo mau tahu aku "Lemon Manis"
atau bukan, ya?"
Raut wajah Leo tampak
canggung dan segera bicara, "Jangan salah paham, aku cuma tanya."
Tatapan Nindi penuh
ejekan.
Dulu, Nindi berlatih
keras untuk bermain gim demi membawa kemenangan bagi tim LeSky Gaming, tetapi
Leo tidak pernah melihat ke arahnya.
Kini, usai dia angkat
kaki dari rumah, Leo malah nekat mengganggunya.
"Jadi, kamu
berharap aku si Lemon Manis atau bukan?" tanyanya dengan santai.
No comments: