Bab 2645
Raut wajah Nathaniel berubah
muram. Ia tak berani berlama-lama dan segera memimpin anak buahnya ke tempat
yang lebih aman. Baru setelah mereka menjauh dari daerah asing itu, semua orang
akhirnya bisa bernapas lega.
Itu adalah contoh sempurna
bagaimana percikan api dapat memicu kebakaran hutan. Sentuhan seorang tentara
pada bunga telah memicu reaksi berantai yang dahsyat, dan akibatnya mengerikan.
Kini Nathaniel dan anak
buahnya akhirnya mengerti bahwa pemandangan yang tampak mempesona dan indah itu
sebenarnya penuh dengan jebakan mematikan.
“Istirahatlah sejenak, tapi
tetaplah waspada,” perintahnya sambil bersandar pada pedangnya sambil
terengah-engah.
Keringat membasahi luka di
punggungnya, dan rasa sakitnya begitu hebat hingga ia hampir pingsan. Ia
memberi isyarat kepada dua pengawal pribadinya untuk berjaga sementara ia
bersandar di batang pohon.
Hanya dalam beberapa menit, ia
telah kehilangan lebih dari selusin prajurit terampil. Beban kematian mereka
sangat membebaninya.
Tim medis segera bekerja keras
membalut luka-luka mereka. Begitu bubuk obat dioleskan pada luka-luka yang
tergores tanaman merambat, asap putih mengepul, dan para korban meringis kesakitan.
Seorang prajurit tiba-tiba
menunjuk ke depan dan berkata, “Yang Mulia, lihat ke sana.”
Semua orang mengikuti jarinya
dan melihat gumpalan asap abu-abu kebiruan mengepul dari kedalaman lembah yang
diselimuti kabut. Asap itu mengepul dengan stabil menembus udara lembap.
Asapnya tidak berputar-putar
seperti asap rumah tangga biasa. Sebaliknya, asapnya bergerak dengan ritme yang
tenang dan terukur, seolah-olah telah berada di sana selama berabad-abad.
"Asap?" tanya
Nathaniel, menegakkan tubuhnya dan melupakan rasa sakit akibat lukanya.
Karena Pulau Elysium adalah
tempat perlindungan bagi para dewa, menemukan satu di sini masuk akal. Asap itu
pasti berasal dari salah satu rumah mereka.
Mata Nathaniel berbinar
gembira. Semua kekalahan mereka hingga saat ini tiba-tiba terasa berharga.
"Semuanya,
berbaris," perintahnya, menghunus pedang dan menunjuk ke arah asap yang
mengepul. "Tetap waspada dan ikuti aku. Kita akan memberi penghormatan
kepada sang abadi."
Para prajurit kembali
mencengkeram senjata mereka. Rasa lelah sirna, tergantikan kegembiraan.
Lagipula, apa gunanya beberapa luka jika mereka bisa mendapatkan ramuan
keabadian?
Saat rombongan menyusuri
sungai yang berkelok-kelok ke depan, tanaman-tanaman di sekitar mereka menjadi
lebih tenang. Pakis-pakis yang tadinya bergerak menyusut kembali ke tepi jalan
setapak, dan sulur-sulurnya menjuntai seperti ranting-ranting biasa, seolah
takut akan sesuatu.
Mereka melewati semak belukar
yang berbuah ungu dan tiba-tiba mencapai sebuah hutan kecil berisi pohon-pohon
tinggi dan rimbun. Batang-batangnya menjulang setinggi setidaknya 9 meter,
setiap cabangnya memantulkan cahaya keemasan redup. Daun-daunnya saling
bergesekan, menghasilkan suara gemerisik yang lembut dan jelas.
Di ujung hutan, atap abu-abu
kebiruan terlihat. Dari sanalah asap mengepul.
"Pelan-pelan," kata
Nathaniel, memberi isyarat agar yang lain bergerak pelan. Ia lalu merapikan
jubah perangnya yang berlumuran darah agar tetap terlihat hormat.
Mereka menyusuri jalan setapak
sempit menembus rerimbunan pohon-pohon tinggi dan rimbun, lalu tiba di halaman
yang dipagari pagar kayu. Bunga morning glory biru pucat merambat di pagar, dan
kelopaknya masih berembun.
Ada sebuah ayunan di tengah
halaman dengan tali diikatkan ke dua dahan pohon yang kokoh. Seorang anak kecil
berpakaian sederhana duduk di atasnya, bergoyang pelan ke depan dan ke
belakang.
Anak itu tampak tak lebih dari
lima tahun, rambutnya diikat menjadi dua sanggul kecil. Kulitnya putih, dan
kakinya yang telanjang menempel di pijakan ayunan. Matanya yang gelap dan
berkilau menatap langit sambil bersenandung lagu anak-anak yang tak berirama.
Beberapa pakaian tenunan
sendiri dijemur di halaman, dan setengah keranjang buah liar yang baru dipetik
teronggok di salah satu sudut. Semuanya tampak begitu biasa, namun ada rasa
tenang yang tak terlukiskan.
Secercah kesadaran menyambar
Nathaniel. Mungkin anak di tempat suci ini adalah murid abadi. Maka, ia
melangkah maju dengan tenang dan berbicara lembut dengan gestur hormat.
Salam. Saya Nathaniel Linsor.
Saya tak sengaja menemukan Pulau Elysium ini. Permisi, Tuan Muda, bisakah Anda
memberi tahu saya apakah ini kediaman para dewa abadi?
Anak itu terus berayun.
Matanya menatap langit, dan ia seolah tak mendengar sepatah kata pun.
Nathaniel bertanya lagi dengan
sabar. Ia berbicara dengan penuh hormat. "Jika kau tahu di mana para dewa
berada, beri tahu kami. Kami dengan tulus ingin memberi penghormatan dan
menyapa mereka."
Kali ini, anak itu akhirnya
bereaksi. Ia mendengus, tetapi masih menatap awan yang melayang di atas.
Leander Grimsby, komandan yang
berdiri di belakang Nathaniel, tak kuasa lagi menahan amarahnya. Lengan kirinya
telah tersiram getah tanaman karnivora itu dan masih berdenyut-denyut
menyakitkan.
Melihat kekasaran anak itu,
dia melangkah maju dan berteriak, “Beraninya kau mengabaikan pertanyaan Yang
Mulia?”
Sebelum Nathaniel sempat
menghentikannya, Leander sudah melangkah menuju ayunan. Ia mencengkeram kerah
belakang anak itu dan menariknya.
Kaki anak itu terangkat dari
tanah, tetapi ekspresinya tetap tak terbaca. Hanya mata gelapnya yang tajam
perlahan menatap Leander.
“Kamu hanya anak nakal yang
lemah, tapi berani menunjukkan sikap seperti itu-”
Sebelum Leander dapat
menyelesaikan bicaranya, tiba-tiba ia menjerit kesakitan.
Semua orang melihat anak itu
mengangkat tinjunya yang kecil dan melayangkan sesuatu yang tampak seperti
pukulan ringan ke arah dada Leander.
Tubuh Leander yang besar
terlempar ke belakang seperti boneka kain, menghantam pagar kayu dengan keras.
Bunyi renyah tulang rusuk yang patah terdengar dari kejauhan.
Ia meringkuk di tanah, darah
hitam mengucur dari sudut mulutnya. Sebagian dadanya retak, dan sepertinya ia
takkan selamat.
Tempat itu menjadi sunyi
senyap sementara semua prajurit menatap dengan kaget. Tak seorang pun menyangka
anak yang tampaknya tak berbahaya ini memiliki kekuatan yang begitu mengerikan.
Anak itu kembali ke ayunan. Ia
menghentakkan kakinya malas, seolah kekacauan sebelumnya tak pernah terjadi.
Akhirnya ia berbicara, suaranya jernih, namun mengandung wibawa yang tak
terbantahkan.
“Penyusup, kalian mengganggu
istirahatku.”
No comments: