Bab 2646
Leander terpental, dan untuk
sesaat, semua orang di halaman berdiri terpaku dalam keheningan.
Senjata-senjata terlepas dari tangan para prajurit dan berjatuhan ke tanah, dan
mata mereka terbelalak ketakutan. Banyak yang secara naluriah mundur dan
menabrak pagar kayu, tetapi tak seorang pun berani melihat ke bawah.
Pedang Nathaniel bergetar
tajam dan berdengung. Ia mencengkeram gagangnya erat-erat, begitu kuat hingga
bekas merah ujung jarinya tertinggal di sarungnya.
Pukulan anak itu sebelumnya
hanya bayangan samar. Tinju kecil dan gemuk itu tampak tidak berbahaya, tetapi
ketika mengenai dada Leander, pukulannya mendarat seperti meteor.
Nathaniel melihat baju zirah
hitam Leander ambruk. Dia mendengar suara retakan tulang rusuk yang tajam,
bunyi gesekan tulang dengan tulang.
“Kapten Grimsby…”
Seorang penjaga gemetar saat
ia mencoba melangkah maju dan membantu Leander, tetapi ia membeku setelah hanya
dua langkah.
Leander, meringkuk di bawah
pagar, tersedak darah hitam yang menggelegak dari tenggorokannya. Setiap
tarikan napas terasa lebih berat daripada sebelumnya, dan dadanya yang cekung
terasa menggeliat seolah ada sesuatu yang merayap di bawah kulitnya.
Bagian yang paling menakutkan
adalah matanya. Matanya melotot seolah siap copot, tetapi matanya masih terpaku
pada anak di ayunan itu. Bahkan dalam kematian, pupil matanya membeku
ketakutan.
Anak itu menghentakkan kakinya
saat ayunan mencapai puncaknya. Jaket pendeknya berkibar tertiup angin,
memperlihatkan lengannya yang montok dengan gulungan-gulungan lembut.
Ia melirik sekilas ke arah mayat
di tanah. Kilau gelap matanya memantulkan bunga-bunga morning glory di pagar
kayu. Tiba-tiba, ia menunjuk ke salah satu kuncup yang setengah terbuka dan
berkata, "Yang itu hampir layu."
Ucapan itu terdengar biasa
saja, tetapi terasa menusuk ulu hati. Nathaniel berkeringat dingin. Jubah
perangnya melekat erat pada luka-lukanya, dan kain basah itu menusuknya dengan
rasa sakit yang tajam.
Baru saat itulah ia menyadari
kesalahan besar yang telah ia buat. Di pulau tempat makhluk abadi dan iblis tak
bisa dibedakan ini, bagaimana mungkin seorang anak yang berkeliaran bebas di
halaman tersembunyi bisa menjadi anak biasa?
Pukulan yang tampak biasa saja
itu mengandung kekuatan yang mengguncang bumi. Mungkin lebih mengerikan
daripada Dreadkraken yang mereka hadapi sebelumnya.
"Kami tidak bermaksud
mengganggu Anda. Mohon maafkan kami," katanya sambil berlutut. Ia tak
mampu menyembunyikan getaran dalam suaranya. "Kami hanyalah orang-orang
biasa yang tanpa sengaja masuk ke Pulau Elysium ini. Kami tidak bermaksud tidak
sopan."
Para prajurit di belakangnya
tersentak dari linglung dan berlutut. Baju zirah mereka berdenting keras dan
tajam di tengah keheningan halaman.
Jika Leander, salah satu
petarung terbaik mereka, bahkan tidak dapat menahan satu pukulan pun dari anak
ini, makhluk macam apa yang mereka hadapi di pulau ini?
Ayunan itu melayang lebih
tinggi, dan dahan-dahan kokoh berderit pelan. Anak itu tampak tak menyadari
permintaan maaf Nathaniel, atau mungkin memang tak mau menanggapi.
Ia menengadahkan kepalanya
untuk mengamati awan yang berarak sambil kembali menyenandungkan lagu anak-anak
yang merdu itu. Anehnya, suara itu membawa irama yang menenangkan, dan lebih
dari satu prajurit merasa kelopak mata mereka terasa berat.
Nathaniel menggertakkan
giginya dan mendongak.
"Tuan Muda..." ia
memulai. Ia hendak mengatakan sesuatu ketika ia melihat anak itu tiba-tiba
mengangkat tangan kecilnya dan menatap santai ke arah gerbang.
Dalam sekejap, angin kencang
bertiup dari dalam hutan, membawa dedaunan yang tak terhitung jumlahnya,
mengiris wajah mereka bagai bilah tajam.
Nathaniel merasakan kekuatan
dahsyat menghantam dadanya. Ia terlempar ke belakang dan bertabrakan dengan
para prajurit di belakangnya.
Jeritan terdengar silih
berganti saat semua orang tersapu bagai debu di hadapan sapu tak kasat mata.
Mereka berjatuhan di luar pagar.
Beberapa dari mereka menabrak
batang pohon, kepalanya langsung terbelah. Yang lain tersandung tanaman
merambat dan berguling menuruni lereng ke semak-semak.
Nathaniel mendarat di tepi
luar. Dahinya membentur batu biru, dan pandangannya menggelap. Ia berusaha
mengangkat kepala tepat saat gerbang kayu berderit menutup.
Ayunan itu masih berayun
pelan, tetapi anak itu telah menghilang di balik bayangan hutan, seolah-olah
dia tidak pernah ada di sana.
Hembusan angin datang dan
pergi dalam sekejap, meninggalkan lumpur dan dedaunan berserakan di tanah. Para
prajurit saling membantu berdiri. Baju zirah mereka berlumuran tanah dan puing.
Beberapa mengerang sambil memegangi
tulang rusuk mereka yang patah. Yang lain memelototi pagar yang tertutup dengan
gigi terkatup. Namun, tak seorang pun berani maju karena angin itu membawa
kekuatan yang lebih dahsyat daripada seribu pasukan yang menyerbu.
"Yang Mulia, ini-"
seorang penjaga memulai. Ia menempelkan tangannya ke dahinya yang berdarah,
tetapi Nathaniel melotot sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya.
Nathaniel menggunakan
pedangnya untuk menopang dirinya, lalu berdiri. Sambil menyeka darah dari sudut
mulutnya, ia menatap hutan yang tenang itu dengan emosi yang campur aduk.
Kekuatan anak itu tak
terbayangkan, dan jelas di luar kemampuan mereka untuk menantangnya. Namun, itu
justru menegaskan bahwa ada master sejati yang tersembunyi di suatu tempat di
pulau ini.
Asap, ayunan, dan bahkan lagu
anak-anak yang disenandungkan anak itu tampak biasa saja, tetapi jelas terasa
seperti semacam ujian.
"Jangan bersuara."
Nathaniel merendahkan suaranya saat tatapannya menyapu para prajuritnya.
"Mulai sekarang, kita akan berkemah di luar tempat ini. Tak seorang pun
boleh mendekati pagar itu."
Ia berhenti sejenak, lalu
menatap asap yang mengepul di hutan. Secercah tekad kuat melintas di matanya
saat ia berkata, "Kami akan menunggu di sini."
No comments: