Bab 2648
Awan badai masih menggantung
tebal di atas layar Surgebreaker ketika pecahan es menghantam ombak dan
menghantam lambung kapal dengan suara keras.
Matthias berpegangan pada
pagar, kedinginan oleh angin laut, dan menatap ke depan. Garis besar sebuah
pulau tiba-tiba muncul di cakrawala, dan kegembiraan berkelebat di matanya.
Setelah mereka selamat dari
serangan Brineclaw dan berjuang menembus kedalaman yang diselimuti kabut,
mereka akhirnya menemukan Pulau Elysium. Namun, saat kapal mereka semakin dekat
ke pantai, semua orang terkejut.
Pulau di hadapan mereka sama
sekali tidak seperti yang digambarkan dalam naskah kuno, dengan janji-janji
tentang musim semi yang tak berujung dan bunga-bunga putih yang tak pernah
layu.
Alih-alih, ia terkubur di
bawah lapisan es tebal. Daratan dan langit menyatu dalam satu hamparan putih.
Bahkan angin membawa hawa dingin yang menusuk, menusuk kulit bagai pisau.
Bebatuan bergerigi di
sepanjang pantai telah berubah menjadi puncak-puncak es berwarna gelap
kebiruan. Setiap ombak yang menghantamnya membeku saat menghantam, meninggalkan
bunga-bunga es yang mengeras di tempatnya. Lapisan demi lapisan, bunga-bunga es
itu menumpuk hingga garis pantai membentang menjadi dataran bersalju tanpa
akhir.
Berdiri di samping Matthias,
juru mudi tua itu bertanya, “Yang Mulia, ini… Apakah ini benar-benar Pulau
Elysium?”
Ia merapatkan mantel katun
tipisnya sementara giginya bergemeletuk karena kedinginan. "Sepuluh kali
lebih dingin daripada musim dingin terburuk di utara kita."
Matthias mengerutkan kening
mendengarnya. Lapisan es telah terbentuk di jubah tempur hitamnya. Ia menarik
kerahnya lebih tinggi hingga menutupi separuh wajahnya.
"Grafiknya jelas mengarah
ke sini. Memang ini tempatnya, tapi saya tidak tahu kenapa bentuknya seperti
ini," jawabnya.
Ia menoleh ke arah para
prajurit di belakangnya. Es menutupi baju zirah mereka, dan setiap tarikan
napas membentuk awan putih di udara. Banyak dari mereka menggosok-gosokkan tangan
mereka yang memerah untuk menghangatkan diri.
"Kirim pesan ke
orang-orang. Cari tempat terlindung untuk mendirikan kemah dan membuat api
unggun," perintahnya.
Suaranya menembus angin
kencang dengan otoritas yang tidak diragukan lagi.
Para prajurit tak membuang
waktu. Mereka melompat dari kapal dan berjalan tertatih-tatih menembus salju
tebal yang tingginya mencapai lutut. Setiap langkah terasa berat, dan sol
sepatu bot mereka bergesekan dengan es dengan bunyi berderak tajam. Satu kali terpeleset
saja mengancam akan membuat mereka terjatuh.
Mereka membawa tiang-tiang
tenda dan tumpukan kayu bakar ke sebuah cekungan di tepi pulau, sebuah tempat
yang dibatasi oleh dinding es tipis yang memberikan perlindungan dari angin.
Mendirikan tenda adalah
pekerjaan yang melelahkan karena talinya membeku dan tidak bisa diikat. Para
prajurit harus mengembuskan napas ke tenda-tenda itu untuk mencairkan es, dan
tali-tali itu meninggalkan bekas merah di tangan mereka yang langsung membeku.
Neville, terbungkus jubah
tebal, bersandar pada gagang pedangnya dengan satu tangan sambil memberi
perintah. Luka di punggungnya belum sembuh, dan setiap hembusan angin
membuatnya berkeringat dingin. Namun, ia menggertakkan gigi dan terus maju.
"Cepat! Ambilkan aku kayu
bakar," teriak seorang prajurit sambil menggenggam setangkai kayu kering.
Namun, angin menderu-deru
mematikan setiap percikan api sebelum sempat menyala. Ia mencoba beberapa
potong, menyaksikannya berkobar lemah dan padam seketika.
Melihat itu, Matthias merogoh
mantelnya dan mengeluarkan sebuah kristal api. Ia menyalurkan energi sejatinya
ke dalamnya, dan kristal itu pun meledak menjadi api jingga terang.
Ia menempelkannya ke kayu
kering, dan api menyebar dengan cepat ke seluruh tumpukan. Suara derak tajam
bergema jelas di dataran bersalju yang sunyi.
Para prajurit meringkuk rapat,
merentangkan jari-jari mereka yang mati rasa ke arah api. Akhirnya, sedikit
kehangatan menyentuh wajah mereka.
Saat itu, seorang prajurit
menunjuk ke arah lapangan es yang jauh dan berseru, “Yang Mulia, lihat ke
sana!”
Semua mata tertuju pada sosok
putih yang bergerak perlahan melintasi dataran. Sosok itu adalah rusa jantan
spiritual, putih bersih dari kepala hingga kuku, dengan tanduk berkilauan
seolah diukir dari es. Setiap langkah meninggalkan kepingan salju halus yang
lenyap secepat kemunculannya.
Mata makhluk itu bagaikan batu
permata biru pucat, berkilau lembut di lanskap bersalju. Gerakannya begitu
anggun sehingga tampak seperti roh salju dan es itu sendiri.
"Pertanda! Ini pasti
pertanda dari Pulau Elysium," seru Matthias, matanya berkilat gembira.
Ia melompat berdiri, menghunus
pedangnya, dan berkata, "Kita harus merebutnya. Jika aku bisa menunjukkan
ini kepada Ayah, itu akan membuktikan aku telah menemukan pulau itu."
Para prajurit bergerak dengan
penuh semangat, menghunus senjata mereka dan mengepung rusa jantan spiritual
itu dari segala arah.
Makhluk itu tampaknya
merasakan bahaya. Ia berhenti dan menoleh, menatap kerumunan yang mendekat
dengan mata biru pucat yang tak menunjukkan rasa takut.
"Jangan sakiti dia.
Tangkap dia hidup-hidup," teriak Matthias sambil menerjang maju. Es retak
tajam di bawah sepatu botnya saat ia menyalurkan energi batinnya untuk
membentuk penghalang di sekeliling rusa jantan itu.
Namun saat orang-orang itu
mendekat, rusa jantan itu mengangkat kepalanya dan membuka mulutnya, melepaskan
semburan kabut putih dingin.
Kabut langsung menyebar,
menggulung para prajurit bagai gelombang pasang. Para prajurit di garis depan
tak sempat bereaksi dan langsung diselimuti kabut, tubuh mereka membeku.
Matthias yang terkejut segera
mundur, tetapi tak mampu menghindari kabut putih yang menyentuh lengannya. Rasa
dingin yang menusuk tulang langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, dan lengannya
pun mati rasa.
Ia menunduk dan melihat para
prajurit yang diselimuti kabut putih telah berubah menjadi patung es yang
tampak hidup. Ekspresi mereka masih membeku dalam pose menyerang. Bahkan tubuh
mereka terbungkus es tebal, dan setiap helai rambut mereka terlihat.
“Apa… Monster macam apa ini?”
Seorang prajurit berteriak
ketakutan, menjatuhkan senjatanya dengan suara gemerincing. Semua orang
ketakutan melihat pemandangan di depan mereka dan mundur. Mereka tak lagi
berani mendekati rusa spiritual itu.
Matthias menatap sosok-sosok
yang membeku, dan punggungnya langsung basah oleh keringat dingin. Semua
kegembiraan yang ia rasakan beberapa saat sebelumnya lenyap saat ia akhirnya
menyadari bahwa makhluk yang tampak lembut ini memiliki kekuatan yang begitu
mengerikan.
Rusa spiritual itu melirik
kerumunan yang ketakutan, lalu berbalik dan berjalan perlahan menuju kedalaman
dataran bersalju. Ia meninggalkan jejak kaki yang terbuat dari kepingan salju
sebelum menghilang ke dalam hamparan luas.
No comments: