Bab 774
Darren yang menyadari kesalahannya,
akhirnya tak kuasa menahan diri dan berbicara. "Nindi, aku akui semua ini
memang salahku, sampai akhirnya jadi seperti ini."
"Hah, jarang banget lihat Tuan
Darren mengaku salah begini," ucap Nindi.
Darren menatap Nindi dengan tajam,
dia menekan emosinya dan berkata, "Jawab jujur, uang itu sekarang ada di
mana?"
"Uangnya sudah dipindahkan sama
Ayahnya Sania. Sekarang dia kabur, jadi uangnya juga ikut hilang. Buat sisanya,
kamu urus sendiri deh," ujar Nindi.
Usai berbicara, Nindi segera menuju
lantai atas dan enggan terus berbincang dengan Darren.
Darren duduk seorang diri di sofa.
Saat mengangkat kepala, dia melihat foto hitam-putih di sana, hatinya terasa
nyeri, seolah terbakar minyak panas.
Dia tidak pernah menduga bahwa
semuanya akan berakhir seperti ini.
Setelah kembali ke kamarnya, Nindi
teringat kejadian barusan dan segera mengirim pesan kepada Cakra. "Sania
hamil."
Nindi merenungkan hal ini, dia merasa
situasi saat ini begitu dramatis, terutama karena Sania mengandung tepat di
saat yang begitu penting.
Tak berselang lama, telepon dari
Cakra pun masuk. " Gimana kondisi di keluarga Lesmana? Anak yang ada di
dalam kandungan Sania itu beneran keturunan keluarga Lesmana?"
Nindi tersenyum, reaksi pertama Cakra
nyaris sesuai dengan yang ada di benaknya.
"Walaupun Sania kekeh bilang
kalau anak itu anaknya Witan, aku merasa ada yang nggak beres. Tapi, sekarang
mereka sudah ke rumah sakit buat memeriksanya," ucap Nindi.
"Berarti mereka nggak mau lapor
polisi karena masalah anak ini?" tanya Cakra.
"Tebakanmu tepat," jawab
Nindi.
Nindi menjelaskan kondisi tubuh Witan
kepada Cakra. "Kalau anak itu beneran anaknya Kak Witan, dia pasti
berusaha mati-matian buat melindungi Sania."
Dia bahkan tidak menyangka, masih ada
kejadian yang sedramatis ini.
Cakra berpikir sejenak, sebelum
akhirnya berkata, " Mereka pergi ke rumah sakit mana? Aku bakal kirim
orang buat awasi, biar perempuan licik itu nggak main curang."
"Begitu juga bagus," ucap
Nindi.
Nindi berbaring di tempat tidur.
"Nyonya Belinda ada ngomong sesuatu lagi nggak?"
Cakra terdiam sejenak. "Nyonya
Belinda nggak banyak kasih informasi penting, tapi kejadian itu jelas banget,
buat cegah orang tuamu ikut lelang. Tapi, karena kejadian itu sudah lama
banget, buktinya juga nggak ada. Jadi, kita memang harus menangkap Ayahnya
Sania."
"Mia bilang, Dealer 4S itu sudah
mulai diselidiki. Sekarang, kita cuma bisa menunggu, sampai identitas Ayahnya
Sania terbongkar," ujar Cakra.
Nindi kini merasa lebih tenang,
bagaimanapun juga, bertindak gegabah tidak akan membuahkan apa pun.
"Kalau Darren sudah mutusin buat
melindungi Sania, kamu bakal ngapain?" tanya Cakra.
"Kalau dia mutusin buat
melindungi Sania, ya biarin saja. Sebenarnya, aku tahu kalau dia cuma kesal
karena uangnya nggak bisa kembali, makanya dia tahan Sania buat ancam
Ayahnya," ucap Nindi.
Pada akhirnya, Darren melakukannya
demi keuntungan semata.
Nindi berkata dengan dingin.
"Jujur saja, aku senang kalau Sania terus ada di sana, biar saja mereka
terus saling menyakiti. Aku juga penasaran akhirnya bakal seperti apa."
Setidaknya setelah kejadian ini,
Darren pasti tidak akan memperlakukan Sania seperti dulu lagi. Sekarang dia
mempertahankan Sania hanya karena ingin memanfaatkannya.
Terlebih, jika langsung melapor ke
pihak kepolisian dan menyerahkan Sania, justru terlalu menguntungkan mereka.
Cakra akhirnya berkata, "Aku
bakal dukung apa pun keputusanmu."
Suara dari seberang telepon terdengar
dalam dan memesona.
Nindi menggenggam ponselnya sembari
memalingkan kepala, menatap pemandangan malam di luar jendela yang tampak
seperti batu permata berwarna biru kehitaman, begitu memesona dan mengguncang
hatinya, persis seperti suasana hatinya saat ini.
Tanpa sadar dia menjawab, "Tapi,
dulu waktu aku minta putus, kenapa kamu nggak dukung?"
Napas Cakra tercekat. 'Maksudnya apa
ngomong begitu?' tanyanya dalam hati.
No comments: