Bab 777
Sania seketika meradang setelah
mendengar perkataannya, bahkan kukunya nyaris patah karena mencengkeram terlalu
keras.
Dia tahu bahwa Nindi, si jalang itu,
pasti akan mempersulit dirinya.
Menyuruhnya berlutut, sujud, dan
mengenakan pakaian berkabung, itu sungguh membuatnya muak.
Setelah Nindi mengajukan usul itu,
Nando dan Darren saling bertukar pandang sejenak, dan keduanya tampak
menyetujuinya.
Keduanya serempak menoleh ke arah
Witan. "
Menurut kamu gimana?"
Witan tidak tahu harus menjawab apa,
tetapi dia juga merasa itu bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan.
Bagaimanapun juga, Ayahnya Sania telah menyebabkan kematian orang tuanya, jadi
hal itu memang sudah sepantasnya dilakukan.
Sania mengusap perutnya dan
berpura-pura rapuh, lalu berkata, "Kak Witan, aku lagi nggak enak badan.
Dokter bilang harus istirahat total di tempat tidur buat jaga kandungannya.
Kalau aku harus sujud dan berlutut tiap hari, nanti malah bahaya buat bayinya."
Nando menatap tajam ke arah Witan.
"Kalau kamu sudah mutusin buat bersama Sania dan pertahankan bayi itu,
artinya dia sudah menjadi bagian keluarga Lesmana dan harus patuh dengan aturan
keluarga.. Menurutku, pakai baju berkabung dan bersujud tiap hari itu wajar
kok. Toh, Ayahnya yang sudah bikin orang tua kita meninggal, 'kan?"
Witan mengangguk setuju. "Kak
Nando, kamu benar. Kalau begitu, biar Sania melakukannya."
Tanpa menanyakan pendapat Sania,
Witan justru langsung menyetujuinya.
Perasaan benci membuncah dalam hati
Sania. Dia sama sekali tidak menginginkannya, tetapi tak seorang pun meminta
pendapatnya dan menghiraukan perasaannya.
Saat ini, Sania sama sekali tidak
memiliki pilihan untuk menolak.
"Nindi, lihat tuh Sanía sudah
setuju, kamu jangan mempermasalahkannya lagi."
"Kalau dia sudah setuju, ya
sudah, mulai saja dari hari ini. Setiap hari, hal pertama yang harus dia
lakukan adalah pakai baju berkabung buat Ayah dan Ibu, bakar tiga dupa, dan
sujud tiga kali sampai kepalanya menyentuh lantai," tutur Nindi.
Tak lama kemudian, kepala pelayan
baru datang dengan membawa pakaian berkabung, jelas ini telah dipersiapkan
sejak lama.
Nindi melihat ke arah Sania dengan
senyuman tipis. "Pakai bajunya, kamu 'kan calon menantu keluarga Lesmana,
harusnya bisa patuh dengan aturan sederhana ini dong."
Sania terdiam cukup lama, tampaknya
dia merasa sangat terhina.
Nindi berkata dengan nada dingin.
"Ayahmu sudah membunuh Orang tuaku, wajar dong kalau kamu lakuin ini. Kamu
berutang dua nyawa pada keluarga Lesmana."
Setelah mendengar perkataan itu,
Witan sebenarnya ingin membela Sania, tetapi pada akhirnya dia tidak
mengucapkan sepatah kata pun.
Sania yang enggan mengenakan pakaian
berkabung, keluar dan berlutut di hadapan foto hitam-putih itu. Kemudian,
dengan rasa terhina dia menundukkan kepalanya tiga kali dengan keras.
Setelah melihat hal itu, Nindi pun
merasa cukup puas.
Bagaimanapun juga, ini adalah sesuatu
yang paling menyakitkan bagi perempuan licik itu.
Pada saat itu, Darren datang
menghampiri. "Kami ' kan sudah setuju sama syaratmu, kamu juga harus bawa
kami ketemu sama orang yang sudah kamu tangkap itu. Kita harus kerja sama buat
menghadapi keluarga Morris."
"Dulu kamu sendiri yang bilang,
pengaruh keluarga Morris itu besar banget. Keluarga Lesmana nggak ada
apa-apanya buat melawan mereka, iya 'kan?"
"Iya sih, dulu aku memang mikir
begitu. Tapi, barusan aku dapat kabar kalau Nyonya Belinda diculik. Itu pasti
ulahmu, 'kan?"
Ekspresi Nindi tetap tenang.
Dia sadar bahwa cepat atau lambat, kabar
mengenai menghilangnya Nyonya Belinda akan tetap tersebar juga.
Dia berkata dengan nada dingin.
"Jangan asal nuduh, semua itu harus ada buktinya."
"Waktu Nyonya Belinda hilang
'kan pas banget, wajar dong aku curiga sana kamu."
Witan yang berada di samping
memperlihatkan ekspresi mengejek. "Kak Darren, kamu tuh terlalu
mengagungkan Nindi. Mana mungkin dia berani dan bisa culik Nyonya Belinda
sendirian?"
"Ya kalau dia nggak bisa, tapi
'kan ada keluarga Julian. Kalian ingat, dia masih ada hubungan sama Tuan Muda
keluarga itu."
Ekspresi wajah Witan seketika
berubah, lalu dia mendengus dingin. "Katanya sih, Tuan Muda keluarga
Julian sudah mutusin dia, ya? Soalnya dari awal memang mereka nggak pernah
setuju sama hubungan mereka."
Namun, Darren merasa bimbang, karena
menghilangnya Nyonya Belinda di saat seperti ini terasa terlalu janggal. Lalu,
dia menatap ke arah Nindi dan berkata, "Kita ini 'kan keluarga, harusnya
kompak dong. Kalau kamu dapat informasi apa pun dari Nyonya Belinda, kamu kasih
tahu kita lah."
"Soal Nyonya Belinda itu bukan
urusanku, jangan ngomong kata-kata yang mengerikan gitu deh."
No comments: