Bab 779
Nindi tiba-tiba bersin saat sedang
duduk di dalam mobil.
Dia mengusap hidungnya, siapa yang
sedang memakinya dari belakang?
Saat itu, sebuah pesan masuk di
ponselnya, "Hehe, kamu tega banget sih, nggak takut kena karma, ya?"
Pesan spam lagi, ya.
Nindi menatap pesan itu dan segera
menelusuri nomor yang tertera, seperti yang diduga, lagi-lagi nomor palsu.
Tsk, mereka pikir bisa mengancamnya
dengan trik semacam ini?
Sayangnya, pengucilan, manipulasi
emosional, dan kekerasan sekolah yang pernah dialaminya di kehidupan
sebelumnya, jauh lebih parah daripada sekadar pesan semacam ini.
Nindi melihatnya sekilas, kemudian
segera menghapusnya tanpa memedulikannya.
Dia menuju kampus untuk mengikuti
kelas. Seperti biasa, Galuh membawakan buku pelajarannya dan membantunya
mendapatkan tempat duduk.
Saat itu, hari masih cukup pagi.
Galuh menatapnya. "Semalam waktu
kamu pulang, situasinya gimana? Kakak-kakakmu bakal apain Sania?"
"Sania hamil."
Nindi mengatakannya dengan santai,
sementara Galuh tersedak susu kedelai. "Uhuk-uhuk! Kok bisa? Itu anaknya
Kakakmu Witan?"
"Kok setiap orang reaksinya
begini sih?"
Semalam, saat Cakra mendengar kabar
ini, pria itu juga mengajukan pertanyaan yang sama.
"Wajar nggak sih. Cewek genit
kayak perempuan licik itu, siapa juga yang nggak curiga? Kakakmu Witan tuh
memang bodoh deh, pantas saja dia diselingkuhi."
Nindi tersenyum. "Sekarang sih
belum bisa tes DNA, harus nunggu bulan depan. Aku juga penasaran sih, gimana
hasilnya nanti."
Ketika saatnya tiba, barulah dia
dapat dengan leluasa menambah penderitaan dan memperkeruh suasana.
Di tengah perbincangan mereka,
seseorang tiba-tiba mendorong pintu ruang kelas dengan kuat.
Serena melangkah masuk dengan
ekspresi masam dan tampak garang. "Nindi, keluar sebentar!"
Nindi duduk diam di kursinya,
menatapnya tanpa beranjak sedikit pun. "Kenapa?"
"Aku suruh kamu keluar, kamu
tuli, hah?"
Serena menendang meja dengan keras,
nada bicaranya terdengar mengancam. "Kalau kamu nggak mau keluar, tanggung
sendiri akibatnya."
"Oke, deh."
Nindi menyandarkan sebelah tangannya
di atas meja, menatap Serena dengan tenang, tanpa menunjukkan sedikit pun tanda
akan berdiri.
Serena nyaris kehilangan akalnya.
"Nindi, jadi kamu nggak mau ikut aku keluar, ya?"
"Iya, perlu aku ulangi
lagi?"
Nindi melirik sekilas ke arah borgol
kaki elektronik yang dikenakan Serena. "Saran saja sih, mending kamu lebih
hati-hati sama ucapan dan tindakanmu, kalau nggak, kamu bisa masuk penjara dan
makan makanan penjara, lho!"
"Malah menurutku yang harusnya
masuk penjara dan makanan makanan penjara itu kamu!"
Serena meradang, matanya memerah, dia
tampak menurunkan nada bicaranya. "Ibuku hilang, pasti ada hubungannya
sama kamu, 'kan?"
Nindi mengernyitkan dahinya.
"Kalau nuduh tuh harus ada buktinya dong."
Kenapa Serena sampai mencurigainya?
"Nindi, aku peringatkan, ya.
Jangan buat masalah yang bikin kamu menyesal nanti, kalau nggak, keluarga Morris
nggak akan kasih ampun!"
Serena naik pitam, hingga nyaris
bertindak kasar.
Saat tu, ponsel Serena berdering,
rupanya itu panggilan dari Sofia.
Serena menatap Nindi dengan penuh
kebencian, sebelum akhirnya menjawab panggilan itu. "Kak, aku sudah ketemu
Nindi, dia ada di kelas."
"Kamu jangan gegabah dulu, aku
ke sana sekarang. Cukup awasi gerak-geriknya saja."
"Oke."
Meskipun saat ini Serena begitu ingin
menghajar Nindi, dia tetap mendengarkan nasihat dari Kakaknya. Dia bergegas
menuju kursi bagian belakang, dan terus mengawasi Nindi.
Nindi merasakan tatapan Serena yang
begitu mengganggu.
Galuh lantas mengirim pesan di grup.
"Nindi, ada apa sih? Ekspresi Serena sudah kayak mau makan orang, pasti
nanti bikin masalah deh sama kamu."
Nindi mengeluarkan ponselnya, dan
membalas. " Masalah ini rumit banget, nggak bisa kalau dijelasin sekarang.
Kamu tenang saja."
No comments: