Bab 784
"Belum, mulutnya terkunci rapat.
Ditambah lagi, pria ini benar-benar hidup sebatang kara. Nggak punya istri,
orangtuanya juga sudah meninggal sejak lama. Nggak ada kelemahan yang bisa kita
manfaatkan."
Cakra memang sudah memerintahkan
orang untuk mencari cara akhir-akhir ini. Namun, dia benar-benar tak menyangka
mulut paman Sania bisa sekeras itu.
Nindi berpikir sejenak, lalu berkata,
"Nggak nyangka kalau penjudi ini bisa punya rasa loyalitas. Dia memang
nggak punya siapa-siapa, tapi dia suka berjudi. Mungkin kita bisa menekannya
lewat situ."
Seorang penjudi yang sudah kalap
bahkan bisa menjual istri dan anaknya sendiri demi taruhan.
Nindi tidak percaya orang seperti itu
bisa benar-benar setia pada siapa pun.
Seketika, Cakra tersenyum tipis,
"Itu ide yang bagus.
Nindi menatap foto di tangannya,
"Sania juga harus diuji. Kita nggak boleh langsung percaya. Jangan sampai
malah Sania yang membohongi kita."
Andai jawaban dari dua orang itu
sama, maka orang yang mereka tunjuk sudah pasti adalah Bos Sammy.
Namun, jika berbeda, maka jelas ada
yang sedang berbohong.
Setelah mengatakannya, Cakra menunduk
dan menatap Nindi, "Sofia bilang apa saja padamu?"
Sebenarnya, sejak tahu bahwa Sofia
menemui Nindi, Cakra sudah merasa tak tenang. Dia takut jika Sofia akan
langsung membongkar masalah kecelakaan mobil di masa lalu.
Itulah mengapa sepanjang perjalanan
Nindi ke sini, hatinya terus diliputi kegelisahan.
"Sofia sepertinya sudah tahu
soal kecelakaan itu.Makanya dia berusaha mengorek apa aku tahu atau tidak,
kalau insiden itu ada kaitannya dengan keluarga Morris."
"Lalu, kamu jawab apa?"
"Tentu saja aku nggak bilang
kalau aku tahu. Sampai semuanya benar-benar jelas, aku nggak mau membuat
keluarga Morris curiga. "Kalau mereka curiga terlalu cepat, bisa-bisa
mereka bakal lebih dulu menghapus semua jejaknya."
Nindi memang masih begitu waspada
terhadap Sofia.
Setidaknya, sampai semua bukti ada di
tangan, dia tak ingin berhadapan langsung dengan keluarga Morris.
Nindi kemudian menatap Cakra,
"Bagaimana dengan Bu Belinda? Apa dia sempat kasih petunjuk lain?"
"Nggak sama sekali."
Saat Cakra mengucapkan kalimat itu,
sebenarnya dia enggan menatap mata Nindi, karena dia belum jujur sepenuhnya.
Di sebelahnya, Mia melirik Cakra
sekilas. Dia tahu Belinda kemarin sudah mengungkap bahwa orang yang duduk di
kursi belakang mobil saat itu berasal dari keluarga Julian.
Saat pertama kali mendengar kabar
itu, Mia sendiri terkejut setengah mati.
Mia menyusun semua petunjuk yang ada,
hingga akhirnya menyimpulkan bahwa yang ada di dalam mobil saat itu, pastilah
Riska... atau Cakra sendiri.
Apalagi barusan, Cakra jelas-jelas
tidak mengatakan hal yang sebenarnya pada Nindi. Mia menjadi semakin yakin
dengan dugaannya sendiri.
Mia segera menunduk, tak tahu harus
berkata apa.
Sementara itu, Nindi sama sekali
tidak mencurigai apa pun. Belinda yang bersikeras tak mau mengungkap siapa yang
ada di kursi belakang, justru menunjukkan bahwa orang itu sangatlah penting.
Cakra melihat Nindi terdiam cukup
lama, kemudian bertanya hati-hati, "Kau lagi mikirin apa?"
"Aku cuma berpikir, orang yang
duduk di kursi belakang itu pasti sangat penting. Kalau kita mau bikin keluarga
Morris mendapat balasannya, saksi di kursi belakang adalah kuncinya."
Cakra menghela napas, "Tenang
saja. Kita pasti akan temukan siapa orang itu. Saat tiba waktunya nanti, biar
dia yang bersaksi di pengadilan, supaya keluarga Morris membayar semua yang
pernah mereka lakukan."
Asalkan mereka bisa menangkap Sammy,
Cakra akan segera mengungkap kebenaran itu pada Nindi.
Karena dia... pasti siap bersaksi di
pengadilan.
Nindi mengangguk pelan, "Semoga
saja kita bisa segera menemukan orang itu."
Dia kemudian menatap Cakra seraya
bertanya,"
Kapan kamu mau melepaskan Bu Belinda?
Masalah ini sudah tersebar luas, bahkan ada desas-desus yang bilang kalau
seorang nyonya besar dari keluarga terpandang itu tengah diculik oleh orang
yang nggak dikenal."
Yang paling Nindi khawatirkan
hanyalah, jika Riska sampai mengetahuinya, lalu salah paham terhadap Cakra.
"Kamu khawatir denganku,
ya?"
Tatapan lelaki itu begitu dalam dan
sulit diartikan. Nindi pun menunduk, menghindari pandangannya, "Kan semua
ini gara-gara aku. Kamu ambil risiko buat culik Bu Belinda juga demi bantu aku.
Jadi, aku merasa harus bertanggung jawab."
"Kamu nggak perlu tanggung jawab
sekarang, anggap saja lagi berutang."
Cakra terus menatapnya tanpa
berkedip. Matanya tak bisa menyembunyikan betapa dalam perasaannya.
Tiba-tiba saja, Mia menerima telepon.
Lalu, dia mendekat dan berkata dengan panik, "Sepertinya Bu Riska sudah
menemukan sesuatu. Mobilnya menuju ke sini."
No comments: