Bab 788
Suasana hati Riska tiba-tiba menjadi
sangat buruk.
Dia tak bisa membayangkan bahwa
sahabat terbaiknya, pada akhirnya mungkin akan mendekam di penjara.
Namun, yang paling sulit diterima
adalah Belinda yang sengaja menempatkan Cakra di dalam mobil itu. Rasanya ...
itu benar-benar tak masuk akal.
Pasti ada kesalahpahaman di balik
semua ini. 1
Cakra mengatupkan bibir tipisnya,
lalu berkata dingin, "Bu, aku bakal selidiki semuanya sampai tuntas.
Belinda nggak akan kenapa -kenapa, karena yang menantinya adalah hukum
pengadilan."
"Tapi, sepertinya dia nggak
sengaja."
Riska masih ingin membela, tetapi
saat matanya bertemu dengan tatapan dingin Cakra, semua kata-kata itu akhirnya
tertelan di tenggorokan.
Dia pun bangkit dari duduknya,
"Paling lama tiga hari. Kalau kamu belum juga melepaskannya, Ibu akan
jujur pada Nindi."
Cakra mengerutkan kening, seraya
menatap kepergian Riska.
Dia memijat pelipisnya, sisa waktunya
tinggal tiga hari lagi, ya?
Berarti, sekarang dia harus bergerak
lebih cepat dari siapa pun. Selama bisa menemukan ayah Sania, maka semua akan
menjadi lebih jelas.
Cakra menoleh ke arah asistennya di
samping, " Siapkan semua di kasino. Kita harus memancing dia keluar dari
sarangnya."
Bagi pecandu judi, tidak mungkin bisa
bertahan terlalu lama. Cepat atau lambat, tangan mereka pasti gatal ingin
bermain.
Waktu yang tersisa hanya tiga hari.
Jika umpan di dunia nyata tak berhasil menggoda sang buruan, maka dia akan menjebaknya
lewat dunia maya.
Suasana di ruangan itu menjadi
semakin hening.
Di sisi lain, Nindi sudah kembali ke
kediaman keluarga Lesmana.
Dia harus menemukan cara agar Sania
bersedia mengungkap siapa sebenarnya pria bernama Bos Sammy itu.
Namun, langkah ini tak bisa dilakukan
sembarangan. Dia harus memikirkannya dengan cermat agar tidak lagi tertipu oleh
kepolosan palsu wanita licik itu.
Begitu Nindi kembali ke rumah
keluarga Lesmana, dia langsung melihat kereta bayi yang terpajang di ruang
tamu, lengkap dengan berbagai perlengkapan bayi yang baru dibeli.
Tampaknya, semua itu dibelikan khusus
untuk Sania.
"Kak Witan, hari ini aku sengaja
panggil orang untuk lihat kandunganku. Katanya, aku pasti sedang mengandung
anak laki-laki. Ini artinya, keluarga Lesmana sebentar lagi akan punya pewaris
utama."
"Baguslah kalau benar laki-laki.
Anak itu akan jadi cucu sulung keluarga Lesmana. Sudah pasti bakal disayang dan
dimanjakan semua orang."
Suasana hati Witan begitu baik hari
ini. Dia sempat berpikir tidak akan pernah punya anak sebelumnya.
Tak disangka bahwa Sania benar-benar
hamil.
Sania pun sengaja menonjolkan
perutnya yang masih rata, sambil memasang gaya penuh kebanggaan seperti seorang
calon ibu. Namun, saat mendongak dan melihat Nindi, raut wajahnya seketika
berubah sinis.
Andai Nindi tidak ikut campur saat
pesta pernikahan, sekarang dirinya pasti sudah kabur dengan uang itu. Jelas tak
mungkin masih harus merendahkan diri di rumah keluarga Lesmana, 'kan?
Si berengsek Nindi ini, seolah memang
ditakdirkan untuk menghancurkan hidup Sania.
Sania kemudian berbicara dengan
sarkas, "Eh, lihat siapa yang akhirnya pulang juga ini?"
Witan pun ikut menoleh, begitu
melihat kehadiran Nindi, raut wajahnya ikut berubah dingin seketika, "
Nindi, kakak iparmu lagi hamil. Sebagai calon tante dari anak ini, minimal
harus belikan sesuatu atau hadiah, 'kan?"
Nindi duduk tenang di sofa, dengan
senyum penuh tipis penuh sindiran, "Mau hadiah apa memangnya? 11
Sania yang tak menyangka Nindi akan
menjawab setenang itu, langsung menyambar penuh semangat, "Nggak minta
macam-macam, kok. Cukup rumah ini saja. Lagi pula, aku sedang mengandung cucu
sulung keluarga Lesmana. Kalau orangtuamu masih hidup, mereka pasti bahagia
sekali, 'kan?"
"Iya, rumah ini warisan dari
ayah dan ibu. Sudah sepantasnya diwariskan ke cucu sulung keluarga Lesmana.
Buat apa juga diwariskan ke putri sepertimu?"
Witan juga merasa bahwa rumah ini
seharusnya diwariskan ke putranya. 2
Nindi mendengarkan kalimat-kalimat
konyol itu, lalu menatap Sania dengan tajam, "Sebelum kamu berani ajukan
permintaan yang macam-macam, sebaiknya pagi ini kamu bersujud buat minta maaf
saja, 'kan?"
Sebelumnya, Nindi sudah memerintahkan
kepala pelayan untuk memastikan hal itu.
Ternyata, apa hari ini yang terjadi
sesuai dugaan. Begitu dia pergi, Sania langsung berpura-pura sakit dan
menghindar dari kewajibannya.
Wajah Sania langsung memucat,
kemudian dia menggertakkan giginya, "Aku sudah sujud kok tadi pagi!"
"Kalau memang begitu, berani
bersumpah ? Kalau kamu bohong, seumur hidupmu, kamu bakal jadi pengemis tanpa
uang sepeser pun, dan nggak akan pernah bisa menebus hidupmu yang penuh dosa
itu.
Sanía langsung naik pitam. Dia pun
berteriak histeris sambil memegangi perutnya, "Kak Witan! Perutku
sakit!"
No comments: