Bab 789
Nindi menatap wanita licik yang
berpura-pura sakit perut itu, hingga tak berkedip sedikit pun.
Dia telah bertahun-tahun menghadapi
trik wanita licik ini. Nindi juga tahu persis jika Sania sedang mencoba
menghindar dengan alasan perut sakit.
Sania langsung berbalik memelas pada
Witan, "Kak Witan, sepertinya aku nggak bisa sujud hari ini. Perutku sakit
sekali."
"Aku mengerti, tenang saja. Kamu
sekarang sedang hamil. Keadaanmu sudah beda."
"Tapi, aku takut Kak Nindi akan
marah."
Sania melirik ke arah Nindi. Sorot matanya
mengandung provokasi yang terang-terangan.
Witan kemudian menatap Nindi dengan
penuh emosi, "Kamu ini memang bebal, ya? Apa nggak lihat kalau kakak
iparmu lagi kesakitan ? Teganya masih paksa dia buat sujud. Apa kamu ini memang
nggak punya hati?"
Nindi menatap dengan sinis,
"Kalau begitu, kalian angkat kaki saja! Ini kan vilaku!"
"Bukankah barusan kamu sendiri
yang bilang rumah ini bakal dikasih ke cucu sulung keluarga Lesmana, ya?
Sekarang rumah ini milik kami, yang seharusnya pergi itu kamu!"
Nindi terkekeh dibuatnya,
"Kalian berdua benar-benar mimpi di siang bolong, ya? Pilih kalian pergi
sendiri, atau harus aku usir dengan paksa?"
"Nindi! Jangan
keterlaluan!"
Kebencian Witan pada Nindi semakin
membuncah. Beraninya dia mempermalukan kakak kandungnya sendiri di hadapan
orang seperti ini!
Nindi melirik kepala pelayan di sudut
ruangan, " Lempar semua barang mereka berdua ke luar gerbang."
Kepala pelayan langsung mengangguk
dan naik ke atas bersama beberapa pelayan lainnya.
Sania langsung panik begitu menyadari
situasi mulai tak terkendali, "Kak Witan, bagaimana ini?"
Witan tampak marah besar,
"Nindi! Di depan foto ayah dan ibu, apa kamu serius ingin membunuh cucu
sulung keluarga Lesmana?"
"Apa mengusir kalian berdua dari
sini sama seperti membunuh kalian? Kalau memang begitu, kamu sama sekali nggak
berguna, Kak Witan. Bahkan sampai nggak punya rumah di luar, ya?"
Wajah Witan memerah karena amarah
sekaligus malu. Lalu, dia pun membentak, "Selama ini, aku terus menemani
Kak Sean! Mana sempat aku beli rumah di luar!"
Padahal kenyataannya, semua uangnya
sudah habis untuk investasi yang berujung kerugian.
Alhasil, selain pembagian hasil dari
keluarga, dia tak memiliki sumber penghasilan lainnya. Tentu saja tak bisa
dibandingkan Darren, Nando, atau saudara lainnya yang memiliki usaha
masing-masing.
Saat itu juga, kepala pelayan muncul
dari dalam rumah bersama beberapa pelayan. Mereka menyeret koper dan kardus ke
depan pintu, lalu melemparkannya begitu saja ke luar gerbang.
Witan sontak murka dan berteriak pada
kepala pelayan, "Kamu pikir kamu ini siapa? Cuma kepala pelayan saja
berani sentuh barang-barangku!"
Nindi menoleh pelan ke arahnya,
"Ini rumahku. Dia pelayanku. Jadi, wajar kalau aku perintahkan dia untuk
melakukan ini."
"Ada apa ini sebenarnya?"
Begitu turun, Darren langsung melihat
gerbang tampak berantakan, dengan pakaian berserakan di mana-mana.
Sania langsung mendekatinya dengan
pura-pura terisak, "Kak Darren, Nindi melempar semua barang kami keluar!
Dia mau usir aku dan Kak Witan dari rumah ini!"
Darren hanya mendengarnya tanpa
ekspresi, lalu berkata, "Memangnya kalian ngapain sampai membuatnya marah
begitu?" 1
Sania terdiam seketika, selah-olah
tak percaya Darren akan berkata demikian.
Dulu, jika dia mengeluh seperti ini,
Darren pasti langsung memihak dan memarahi Nindi.
Namun, mengapa sekarang berbeda?
Witan pun menyela dengan amarah,
"Kak Darren, kami nggak melakukan apa pun! Memang Nindi saja yang terlalu
berlebihan. Dia tahu kondisi Sania lagi nggak sehat, tapi tetap memaksanya buat
bersujud minta maaf. Bagaimana kalau kelelahan karena kandungannya?"
"Sekarang usia kehamilan Sania
baru beberapa bulan, mana mungkin kelelahan? Lagi pula, dokter sudah bilang
kalau kondisinya sangat baik."
Nando kemudian menatap Witan dengan
sorot dingin, "Dan satu lagi, hasil tes DNA juga belum keluar. Belum tentu
anak yang dia kandung itu anakmu."
Witan tampak sedikit terpukul setelah
mendengar ucapannya, "Kenapa Kak Nando nggak pernah suka melihatku
bahagia?"
Dia sungguh menaruh harapan besar
pada anak ini.
Nando memandang Witan dengan tatapan
yang sulit diartikan, "Aku mengatakan semua ini demi kebaikanmu, Witan.
Jangan terlalu buru-buru percaya. Jangan lupa, Sania itu putri dari orang yang
membunuh orang tua kita."
Kalimat itu membuat Witan tak bisa
membantah sepatah kata pun.
Sania pun merasa tersudut, "Kak
Nando, anak yang kukandung ini pasti anak Kak Witan. Aku yakin."
No comments: