Bab 790
Darren berkata dengan dingin,
"Cukup, Sania. Dulu kamu diizinkan tinggal di sini karena satu syarat,
kamu harus memakai pakaian berkabung dan bersujud di depan makam orangtua kami
setiap hari. Sekarang, lakukan itu!"
"Kak Darren, tapi perutku
sakit!"
Sania benar-benar enggan melakukan
hal ini.
Darren menatapnya tajam, "Kalau
begitu, silakan keluar dari rumah ini."
"Kak Darren, kenapa kamu
memperlakukan kami begini? Kamu nggak pernah begini sebelumnya."
Witan sungguh tak mengerti. Mengapa
Darren berubah sedrastis ini.
Darren menatap Witan dengan penuh
kecewa, "
Ayah Sania itu pembunuh ayah dan ibu.
Sekarang dia bahkan kerja sama dengan orang luar buat menggelapkan dana
perusahaan. Kalau bukan gara-gara kamu, aku pasti sudah kirim dia ke kantor
polisi!"
Darren menatap Witan dengan rasa
sesak di dada.
Dulu, dia selalu merasa Nindi yang
menjadi beban, juga tak pernah memihak keluarga sendiri.
Namun, sekarang terlihat bahwa Nindi
sebenarnya begitu hebat.
Yang sebenarnya mengecewakan adalah
Witan. Dia bahkan menikahi putri sang musuh.
Darren melangkah masuk ke ruang tamu
dengan penuh amarah, lalu minum segelas air dengan sekali tenggak. Dia begitu
sibuk rapat hari ini, bahkan tak punya waktu istirahat barang sejenak.
Pada akhirnya, Witan memutuskan tak
ingin pergi, juga karena memang tak bisa pergi.
Witan menoleh ke arah Sania dan
berkata, "Gantilah pakaianmu, lalu turun dan bersujud."
"Kak Witan, perutku sakit. Kalau
sampai kenapa -kenapa dengan bayi ini, bagaimana?"
"Aku akan mengantarmu ke dokter.
Aku pastikan anak ini akan baik-baik saja."
Sania pun merasa begitu tertekan.
Nando yang berada di sampingnya ikut
berkata, " Kalau anak ini sampai nggak ada, justru itu lebih baik."
Selain Witan, memang tak ada satu pun
yang menantikan kelahiran anak itu.
Sania yang tadinya tak ingin pergi,
akhirnya terpaksa menurut dan naik ke atas untuk ganti baju. Dia harus
mempertahankan bayi ini dengan segala cara.
Witan masuk kembali ke dalam rumah
dan berkata dengan kesal, "Kak, kamu sudah berubah. Sekarang kamu malah
membela Nindi."
Darren menoleh ke arahnya,
"Nindi sudah melakukan begitu banyak hal untuk keluarga ini. Coba kamu
pikir, apa memangnya yang sudah kamu lakukan?"
Dahulu, dia memang terlalu keras
kepala, bahkan sering mengabaikan perasaan Nindi.
Namun, Nindi sudah berupaya sekuat
tenaga untuk menyelidiki kebenaran kecelakaan mobil itu, dengan lebih kompeten
dibandingkan Darren sendiri.
Ketika sekarang mengingat kembali
semua sikapnya pada Nindi, hatinya terasa menggelegak penuh penyesalan.
Witan tiba-tiba mengamuk, "Kak,
Pokoknya anak yang Sania kandung pasti anakku! Apa pun yang terjadi, anak itu
harus dilahirkan dengan selamat. Dulu aku jadi cacat gara-gara kamu! Bagaimana
pun, kamu harus bertanggung jawab sampai akhir!"
Seusai mengatakannya, Witan langsung
naik ke atas dengan ekspresi muram.
Saking marahnya, Darren sampai tak
sanggup berdiri tegak. Dia pun akhirnya terduduk di sofa sambil berkata lirih,
"Tapi, sekalipun aku ada di sana waktu itu, apa kakinya bisa
diselamatkan?"
Begitu kalimat itu terlontar, ruang
tamu mendadak hening.
Begitu tersadar jika ucapannya
barusan terlalu kejam, raut wajah Darren berubah canggung.
Nando melirik tajam, "Jadi Kakak
juga sadar, ya? Kukira kamu selama ini memang nggak punya hati. Bukankah kamu
merasa bersalah setelah bertahun-tahun terus menyalahkan Nindi?"
Darren seperti ditampar kenyataan
hingga terasa sesak. Dia bahkan tak berani menatap mata Nindi.
Nando pun melanjutkan, tak mau
menyia-nyiakan momen ini, "Kak, kamu seharusnya minta maaf sama
Nindi."
Nindi justru tertawa sinis,
"Nggak perlu, aku nggak butuh."
"Nindi, Kak Darren benar-benar
menyesal, dia sudah sadar dengan kesalahannya."
"Menurutmu, apa aku masih peduli
dengan kalian sekarang? Aku sama sekali nggak peduli. Jadi, aku juga nggak
peduli dengan permintaan maaf kalian."
Raut wajah Nindi begitu dingin, Nando
pun merasa hatinya hampir hancur. Dia kemudian menoleh ke Darren, "Kak,
sampai kapan kamu mau mengelak dari kesalahanmu?"
Darren akhirnya mendongak, menatap
Nindi dengan tatapan yang rumit, "Nindi, Kakak benar -benar nggak
bermaksud menyaikitimu. Aku ..."
No comments: