Bab 791
Begitu mendengar kalimat itu, Nindi
hanya merasakan ironi yang menusuk.
Di kehidupan sebelumnya, bahkan
hingga ajal menjemput, permintaan maaf dan penyesalan inilah yang selalu dia
harapkan dari Darren.
Namun sekarang, ketika harapannya itu
akhirnya terkabul, ternyata hatinya tak sebahagia yang dia bayangkan.
Wajah Nindi tetap tanpa ekspresi,
tetapi sorot matanya penuh ejekan.
Ketika Darren melihat tatapan Nindi,
dia tak tahu harus berkata apa. Semua kata yang ada di ujung lidahnya mendadak
menguap begitu saja.
Di saat itulah, Witan muncul sambil
menuntun Sania turun.
Sania tampak begitu kesal.
Seolah-olah, mengenakan pakaian duka ini hampir menguras setengah nyawa dan
membuatnya tak nyaman.
Melihat ekspresi menderita Sania,
justru membuat suasana hati Nindi membaik.
Dia melangkah mendekat, lalu berdiri
di sebelah mereka sambil berkata, "Mending perbaiki sikap kalian, karena
aku bisa mengusir kalian kapan pun."
Witan terlihat sangat kesal,
"Nindi, jangan sombong! Sejak kapan kamu yang menentukan segalanya di
keluarga Lesmana? Kak, kamu mau diam saja? Kamu rela melihat Nindi
mempermalukan kami begini?"
Wajah Darren tanpa ekspresi,
"Rumah ini memang milik Nindi. Kalau kalian masih mau tinggal di sini,
ikuti aturannya. Kalau nggak, silakan angkat kaki."
"Kakak, Jelas-jelas rumah ini
warisan ayah dan ibu! Kenapa harus dikasih pada Nindi?"
Kali ini, Darren benar-benar murka,
"Kamu masih punya muka buat ngomong begitu padaku? Berapa banya uang yang
habis gara-gara investasi gagalmu? Berapa banyak kerugian yang harus kutanggung
gara-gara kamu? Berapa kali aku harus bereskan kekacauanmu?"
Witan langsung terdiam, tak berani
berkata sepatah pun.
Nando menatap Witan, "Memang
benar ayah dan ibu kasih warisan pada kita. Tapi kalau bukan karena Kakak yang
menopang keluarga ini setelah mereka pergi, lembaran saham di tanganmu itu
nggak akan ada artinya! Dan kalau bukan gara-gara ayah Sania yang bunuh mereka,
kakimu juga nggak bakal jadi begini."
Witan pun langsung teringat mengapa
kakinya bisa lumpuh. Seketika, rasa kesalnya pada Sania mulai muncul.
Selama ini, hal yang paling dia
sesali adalah kehilangan kemampuan atas kakinya.
Darren ikut menatap Sania yang
berdiri di samping, "Kalau bukan gara-gara dia, ayah dan ibu nggak akan
meninggal. Kita juga nggak mungkin bangkrut. Kakimu juga nggak akan
cacat!"
Sania yang berdiri di sebelah hanya
bisa menunduk diam, tanpa berani bersuara sedikit pun.
Saat ini, dia sadar bahwa dirinya tak
bisa berbuat apa -apa lagi, kecuali hanya bisa berlutut dengan terhina.
Nindi yang berdiri di samping
akhirnya merasa puas, "Mulai sekarang, aku akan perintahkan kepala pelayan
buat awasi setiap hari. Kalau sampai kamu melanggar, tanggung sendiri
akibatnya."
Sania menggigit bibirnya, "Lalu,
bagaimana kmau akan menyelesaikan masalah ayahku?"
Sekarang, dia perlu tahu apa yang
sebenarnya terjadi!
Bukankah hal inii dulu sempat
dikaitkan dengan keluarga Morris? Akan tetapi, sang ayah sama sekali tidak
pernah menceritakan apa pun, yang membuatnya begitu terjebak.
Jikam emang benar keluarga Morris
terlibat, maka bisa jadi Nindi tak akan bisa membalaskan dendamnya!
Keluarga Lesmana jelas bukan
tandingan keluarga Morris.
Nindi menatap Sania dengan senyuman
dingin, " Kenapa? Panik, ya?"
"Aku juga mau tahu apa yang
sebenarnya terjadi waktu itu. Aku juga mau tahu kenapa ayahku sampai melakukan
hal sekeji itu, sampai membuat kalian kehilangan orang tua."
"Kamu pasti tahu kenapa ayahmu
melakukan itu. Sejak dulu dia kan penjudi. Dia bisa melakukan apa saja demi
uang. Kalau nggak, kenapa dia
menyuruhmu mencuri uang dari kakakku
diam-diam?"
Sania menunduk dengan perasaan
bersalah, tanpa bisa berkata-kata.
Nada suara Nindi semakin dingin,
"Tenang saja, sebentar lagi giliranmu."
Sania mendongak panik, "Tapi
kejadian waktu itu nggak ada hubungannya denganku! Aku cuma ikut gara-gara
diancam ayah. Aku tahu kalau ini salah."
Kini, karena ayahnya sudah ditangkap,
satu-satunya cara agar bisa selamat adalah dengan mencari jalan keluar sendiri.
Witan segera melindungi Sania,
"Nindi, kamu jangan keterlaluan! Masalah waktu itu nggak ada hubungannya
dengan Sania. Lagi pula, kamu juga belum benar-benar menangkap ayah Sania, yang
kamu tangkap itu cuma pamannya."
No comments: