Bab 792
Nindi tertegun. Bagaimana mungkin
Witan tahu soal itu?
"Witan, diam!"
Darren langsung membentak Witan
begitu mendengar kalimat itu, "Kenapa kamu mengatakannya? Mana boleh kamu
ngomong begitu di depan Sania?"
Darren hampir saja meledak karena
marah.
Witan pun sadar bahwa dia sudah
kebablasan bicara.
Dia kemudian mencoba membela diri
dengan lirih, " Lagi pula, Sania juga nggak bisa pergi ke mana-mana. Meski
tahu, dia tetap nggak bisa kasih tahu ayahnya, 'kan?"
Sania terpaku di tempat. Dia
benar-benar tak menyangka jika selama ini Nindi hanya mempermainkannya.
Namun, hatinya sedikit gembira. Jika
benar sang ayah belum tertangkap, pasti dia akan berusaha mencari cara untuk
menyelamatkannya.
Melihat ekspresi penuh harap di wajah
Sania, Nindi langsung naik pitam dan tiba-tiba menampar Sania.
Sania terhuyung karena tamparan itu,
seraya menjerit, "Nindi, apa-apaan kamu ini?"
Raut wajah Nindi begitu dingin,
"Barusan kamu pasti berpikir, kalau ayahmu masih bebas di luar sana, dia
pasti akan berusaha menyelamatkanmu,' kan?"
"Aku ... aku nggak mikir begitu!
Jangan fitnah!"
Tentu saja Sania tak berani mengaku.
Saat melihat tatapan Nindi yang sekan-akan ingin membunuh, dia langsung
memegangi perut dan berpura-pura kesakitan, "Kak Witan, perutku sakit
sekali."
Witan langsung berlari mendekat,
"Nindi, kamu mau apa? Jangan bilang kamu mau membunuh orang di sini?"
Nindi tertawa sinis, "Kalau aku
biarkan Sania mati di sini, memangnya kau bisa apa?"
"Kamu gila, ya?"
Witan mulai merasa takut begitu
melihat ekspresi serius di wajah Nindi. Adiknya yang sekarang, benar -benar
berbeda jauh dari gadis lemah lembut yang dulu dia kenal.
Karena tak tahu harus berbuat apa,
Witan akhirnya menoleh pada Darren dan memohon, "Kak, kamu nggak mau
menghentikannya?"
Darren bahkan tidak bergerak sedikit
pun, "Kamu sendiri yang keceplosan bicara, terus apa hubungannya
denganku?"
"Jangan bilang kamu tega biarkan
Sania terluka dan keguguran, atau sampai lihat aku nggak punya anak?
"Anak dari putri musuh mana
perlu dipertahankan?"
Saat ini, Darren benar-benar muak.
Menurutnya, Witan sebaiknya tidak punya keturunan sama sekali. Membiarkan Sania
hidup, apalagi bersama anak itu, hanya membuat semuanya terasa menjijikkan.
Ucapan Darren langsung membuat Witan
benar-benar terpukul, "Kakak! Kamu lupa, ya? Kakikų cacat begini gara-gara
siapa?"
Darren membalas dengan dingin,
"Bukankah itu semua gara-gara ayah Sania yang membunuh orang tua kita?
Pada akhirya, keluarga musuh sengaja mengatur kecelakaan itu buat balas dendam.
Kalau dipikir-pikir, mereka semualah yang menghancurkan hidupmu!"
Darren menunjuk hidung Witan dan
membentaknya, "Kamu sendiri yang keceplosan hari ini. Kalau benar-benar
mau melindungi anak yang dikandung Sania, seharusnya kamu ambil hatinya Nindi
dulu."
"Kak, kamu benar-benar nggak mau
bantu lagi?"
"Aku nggak bisa."
Darren hanya bisa tersenyum pahit.
Dia tahu, selama bertahun-tahun ini dirinya sudah banyak berbuat salah. Jika
ingin menyelidiki semua kebenaran di balik masa lalu, maka satu-satunya harapan
mereka hanyalah Nindi!
Apalagi, dalam hatinya, Darren selalu
merasa dirinya berutang pada Nindi.
Dia juga ingin menebus semua yang
telah terjadi pada adiknya. Jadi, dia tak akan melawan Nindi untuk urusan kecil
seperti ini.
Meskipun merasa lega, hati Nindi
tetap merasa getir mendengar ucapan Darren. Karena ini berarti ... kesempatan
telah datang.
Bagaimanapun, alasan dia kembali pada
keluarga Lesmana kali ini... untuk urusan lain yang jauh lebih penting.
Tatapan Nindi kemudian beralih tajam
ke arah Sania, "Kamu terus bilang nggak tahu apa-apa, tapi kamu justru
menyembunyikan kenyataan kalau ayahmu habis operasi plastik!"
Warna wajah Sania langsung memucat,
'Bagaimana bisa Nindi tahu itu?" keluh Sania dalam hati.
No comments: