Bab 794
Nindi menoleh ke arah Darren dan
Nando, "Cari seorang pelukis."
Nando mengangguk, "Aku kenal
seorang dosen dari akademi seni. Biar dia yang melukis."
Nindi lalu menatap Sania,
"Lukisan ayahmu ini ... akan menunjukkan sikapmu."
"Apa maksudmu?"
"Kalau lukisannya mirip wajah
ayahmu, berarti perkataanmu selama ini benar. Tapi kalau hasilnya beda jauh,
artinya kamu bohong. Bisa jadi kamu selama ini memang berpihak pada
ayahmu."
Nindi menatap Sania dengan sorot
penuh selidik.
Sosok licik itu jelas-jelas terlihat
gugup.
Saat itu juga, Darren tiba-tiba
menatap Nindi tajam, "Jangan-jangan kamu sebenarnya sudah menangkap ayah
Sania, lalu sekarang lagi mengujinya?"
Nindi menyunggingkan senyum dingin,
"Tebaklah sendiri."
Darren mengerutkan kening,
"Nindi, ini bukan waktu yang tepat buat bercanda seperti ini."
Sania yang mendengarnya seketika
menegang, seraya menatap Nindi dengan ketakutan, 'Apa si jalang ini benar-benar
mau mengujiku?' batin Sania.
Jika tadi Sania berencana berbohong,
bukankah sekarang dia sudah menjebak dirinya sendiri?
Betapa kejamnya trik Nindi!
Nindi hanya menjawab datar,
"Kalau memang nggak bersalah, kenapa harus takut? Sekarang tinggal kita
lihat saja, apa yang ada di dalam pikiranmu, Sania."
Dia sengaja menatap Sania
dalam-dalam, tidak membiarkan wanita licik itu bisa menebak, apakah sang ayah
benar-benar sudah berada di tangan mereka atau belum.
Benar saja, Sania sama sekali tak
bisa memastikannya.
Akan tetapi, jika ternyata ayahnya
tak ada di tangan Nindi, dan dia malah memberikan gambaran wajah ayahnya sendiri,
bukankah sama saja membantu Nindi menangkap sang ayah?
Sania hanya bisa memohon ke arah
Witan, "Kak Witan, aku..."
"Apa-apaan kamu. Gambar sekarang
juga wajah ayahmu. Aku juga mau tahu kamu ini sebenarnya berdiri di pihak
siapa."
Witan kali ini menunjukkan sikap yang
sangat tegas.
Nindi bahkan sempat melirik Witan
dengan pandangan heran. Namun, mengingat otak kakaknya yang satu ini memang
tidak seperti orang normal, dia tidak berani lengah sedikit pun.
"Meski begitu, Nindi tahu, kali
ini dia harus berterima kasih pada Witan.
Kesempatan sebagus ini tidak datang
dua kali."
Tak butuh waktu lama, orang yang
dipanggil Nando pun datang
Nindi menatap Sania, "Kamu yang
suruh, dia yang lukis."
Sania jelas tak rela. Akan tetapi,
dia juga tahu bahwa tak ada celah untuk kabur kali ini.
Nindi berdiri mengawasi tak jauh dari
situ. Witan pun tetap berada di samping Sania, tetapi matanya terus menatap
tajam ke arah gambar wajah musuh bebuyutannya. Sorot matanya tajam seolah ingin
membunuh seseorang.
Memang benar, jika saja bukan karena
ayah Sania yang disuap dan membuat kedua orang tua mereka terbunuh, keluarga
Lesmana pasti tak akan mengalami semua kekacauan ini. Lima bersaudara itu juga
tak akan menjadi korban rencana busuk musuh, ingga salah satunya kehilangan
kaki.
Witan jelas sangat membenci ayah
Sania. Jadi, tidak heran jika dia begitu ingin melihat wajah si musuh bebuyutan
itu!
Nindi hanya berdiri diam di samping,
menikmati jalannya pertunjukan.
Namun, Nando pelan-pelan berbisik
padanya, " Nindi jujur sama Kakak. Kamu sudah nangkep sopir itu,
belum?"
Nindi menoleh dan mendapati Darren
juga ada di sisi yang sama, jelas-jelas ikut menguping.
Nindi menjawab dengan santai,
"Sebentar lagi kalian bakal tahu jawabannya."
Darren akhirnya tak tahan dan berkata,
"Kamu nggak harus sampai segininya, Nindi. Kami sudah percaya padamu. Kami
tahu siapa Sania sebenarnya.
Nando pun ikut mengangguk, "Iya,
Nindi. Kami semua mengerti. Kamu nggak perlu repot-repot membongkar kedok Sania
di depan kami begini."
"Kalian berdua nggak perlu
merasa sepenting itu, deh!"
Nindi menatap mereka sambil
menyeringai dingin, " Memangnya kebutaan kalian dulu itu cuma sebentar?
Lagi pula, aku juga nggak perlu usaha buat meyakinkan kalian, 'kan?"
Darren dan Nando menjadi bungkam seketika.
Satu jam berlalu. Akhirnya, lukisan
wajah ayah Sania selesai dibuat.
Nindi mengambil lukisan itu dan
mengamatinya sebentar. Kemudian, dia menatap Sania dengan tatapan menusuk,
"Kamu yakin nggak lagi bohong, kan?"
No comments: