Bab 796
Hanya orang bodoh yang rela
meninggalkan status dan kekuasaan keluarga Lesmana, lalu memilih sosok pembunuh
sebagai ayah.
Sania tidaklah sebodoh itu.
Sania pun buru-buru meyakinkan,
"Kak Nando, aku pasti akan bekerja sama."
"Kalau begitu, kamu masih mau ke
rumah sakit?"
Nando tahu persis bahwa Sania sedang
berbohong, tetapi dia tak membongkarnya secara langsung.
Sania buru-buru menggeleng,
"Sekarang perutku sudah nggak sakit lagi. Aku bisa lanjut bantu
pelukisnya."
Sania baru saja mengetes sikap
keluarga Lesmana.. Sekarang, Sania sadar, semua anggota keluarga sangat
konsisten dalam hal ini. Si bodoh Witan itu juga sama saja tak berani berkutik.
Akhirnya, Sania memilih untuk patuh
dan menuruti semua permintaan mereka.
Nindi yang melihat wanita licik itu
kembali menunduk ketakutan, lalu mengejeknya, "Setelah makan malam, aku
harus sudah lihat hasilnya. Kita nggak bisa buang-buang waktu lagi."
Seusai mengatakannya, Nindi langsung
melangkah ke ruang makan. Perutnya terasa lapar dan perlu makan sesuatu.
Tak lama kemudian, Nando menyusulnya,
"Nindi nggak ada orang lain di sini. Jujur saja padaku, sebenarnya ayah
Sania itu ada sama kamu, nggak?"
Nindi mendongak dan melihat Darren
yang juga baru tiba.
Nindi masih menjawab dengan dingin,
"Tunggu sampai Sania selesai gambar wajah ayahnya, baru aku kasih tahu
kalian."
Saat ini, dia belum ingin
mengatakannya.
Darren terlihat sedikit kesal,
"Jadi, kamu nggak percaya sama kami?"
Nindi menanggapinya dengan senyum
sinis, " Memangnya bagian mana dari kalian yang pantas dipercaya?"
Darren langsung terdiam, sebelum
akhirnya menjawab, "Nindi, aku akui, waktu itu memang aku salah. Aku juga
tahu, dulu kamu banyak menderita gara-gara aku."
"Oj."
Saat mendengarnya, Nindi hanya
menjawabnya singkat dan datar.
Sikapnya itu langsung membuat Darren
naik darah, "Nindi! Aku sdah minta maaf baik-baik ke kamu. Kamu maunya apa
lagi, sih?"
Begitu kalimat itu terucap, Nando
buru-buru menahan Darren, "Kak, kamu ngomong apa barusan?"
"Apa aku salah, hah? Aku sudah
ngaku ngalah, bahkan bicara selembut ini cuma demi mau berdamai sama dia. Tapi
lihat bagaimana balasan Nindi!"
Darren memang sosok yang keras
kepala. Sejak dulu, dia selalu menjadi figur kepala keluarga yang disegani
dalam keluarga Lesmana. Dia tidak pernah tunduk pada siapa pun, apalagi pada
adik-adiknya.
Akan tetapi, demi Nindi, dia sudah
menurunkan egonya berkali-kali. Sayangnya, semua itu tidak membuat Nindi
berubah sikap menjadi lebih baik padanya.
Nando tak tahan untuk menghela napas,
"Kak Darren, apa maksud omonganmu ini?"
"Aku tentunya sudah minta maaf!
Aku benar-benar nggak ngerti dia masih mau aku ngapain lagi!"
Darren jelas menahan amarah dalam
hatinya.
Selama ini, dia selalu merasa dirinya
adalah penopang utama keluarga Lesmana. Namun, kini dia harus menerima
kenyataan jika Nindi makin kuat, bahkan dekat dengan pewaris keluarga Julian.
Keadaan keluarga Lesmana pun tak lagi
seperti dulu lagi. Bahkan, satu-satunya harapan justru bergantung pada Nindi.
Hal itu membuat Darren merasa
tertekan. Sesungguhnya, dia masih ingin menunjukkan bahwa dirinya tetap lebih
tinggi dari Nindi.
Akan tetapi, Nindi sudah tak mau
mendengar ocehan itu lagi. Dia meletakkan sendoknya dan meninggalkan ruang
makan.
Terus terang, dia tak butuh
permintaan maaf yang searogan ini dari keluarga Lesmana.
Begitu Nindi pergi, Darren akhirnya
kehilangan kontrol, "Kalian lihat sendiri bagaimana sikap Nindi, 'kan? Aku
sudah minta maaf, tapi dia tetap nggak mau terima!"
"Kak, apa itu caramu minta maaf?
Kenapa caramu malah sesombong itu?"
"Tapi, aku ini kakaknya. Apa
salahnya menghargaiku sedikit, hah?"
Darren benar-benar kesal dibuatnya.
Dia tahu dirinya salah, tapi menurunkan ego jelas bukan hal yang mudah untuk
dirinya.
Tiba-tiba, Witan masuk ke ruang makan
dengan wajah kesal, "Kak, sekarang kamu tahu sendiri kan bagaimana
kejamnya Nindi? Menurutku, Nindi nggak pantas diperlakukan sebaik ini!"
"Coba kasih sedikit pelajaran,
biar dia tahu rasa. Jangan biarkan dia terus bersikap sesuka hatinya!"
No comments: