Bab 801
Suasana hati Nindi kembali terusik.
Namun, kali ini jauh lebih tenang
dibandingkan yang sebelumnya.
"Tunggu sebentar, aku akan
segera suruh orang untuk bergerak."
Cakra langsung mengatur anak buahnya
untuk mulai bertindak. Selama ini mereka memang sudah mengawasi 4S Motorindo
itu, jadi tidak mungkin membiarkan satu orang pun kabur.
Setelah mengatur semuanya, dia berbicara
lagi di telepon. "Aku nggak menyangka kamu bisa mendapatkan sketsanya
secepat itu."
"Iya, aku juga nggak menyangka.
Ini juga berkat Kak Witan."
Nindi berjalan sendirian di pinggir
jalan, berniat untuk memesan taksi setelah agak jauh dari sana.
Mendengar suaranya, Cakra tidak tahan
untuk bertanya, "Kamu di mana?"
"Aku sedang di luar, mau pesan
taksi. Setelah dapat sketsanya, aku nggak mau lagi tinggal di rumah keluarga
Lesmana dan lihat wajah mereka."
Nindi sekarang hanya ingin segera
menangkap ayah Sania.
Dia ingin melihat pembunuhnya
ditangkap dengan mata kepalanya sendiri.
Cakra justru mengkhawatirkan
keselamatannya, Jangan naik taksi, tunggu aku jemput. Kita pergi bareng."
"Baik."
Nindi juga tidak menolak,
bagaimanapun juga dia naik taksi juga akan bertemu dengan Cakra.
Malam hari, Nindi berdiri di tepi
jalan di luar kompleks vila menunggu kedatangan Cakra.
Orang-orang di sini pada dasarnya
memiliki mobil sendiri, jadi tidak ada transportasi umum di sini, hanya bisa
naik taksi.
Nindi membatalkan aplikasi pemesanan
taksinya, dan melihat ke langit dengan linglung di pinggir jalan.
Akhirnya, setelah kehidupan
sebelumnya dan kehidupan sekarang, dia akan bisa membalas dendam.
Tiba-tiba, sebuah taksi berhenti di
depannya.
Nindi menatap mobil itu dan berkata,
"Tadi saya sudah batalkan pesanannya."
Tidak masuk akan kalau taksi ini
tetap datang, karena jaraknya tadi lumayan jauh.
Sopir taksi itu berkata dengan wajah
tidak senang, " Tapi saya sudah datang ke sini. Kalau Nona tiba-tiba
membatalkan pemesanan, itu sangat merugikan saya. Bagaimanapun juga saya nggak
seperti kalian orang kaya, saya mencari uang dengan susah payah.
Setelah mendengar perkataan itu,
Nindi merasa seperti sedang diperas secara moral.
Dia melihat sopir itu dan berkata,
"Pertama, saya membatalkan pesanan dalam batas waktu yang ditentukan.
Lagipula waktu yang terbuang juga nggak lama. Tadi saya lihat di peta, Anda
masih sekitar 2-3 kilometer dari sini. Nggak mungkin Anda bisa sampai secepat
itu."
Bagaimanapun juga, orang yang naik
taksi di daerah ini relatif sedikit.
Jika dia membatalkan pesanan, bagi
sopir itu juga tidak ada ruginya. Bagaimanapun juga di luar 2-3 kilometer sana
adalah kawasan bisnis, jadi orang yang naik taksi pasti akan lebih banyak.
Sopir itu langsung menjadi sedikit
tidak sabar. "Tapi saya sudah terlanjur datang ke sini. Kalau Anda
membatalkan pesanan, bukankah saya jadi harus kembali tanpa penumpang? Nona,
kami orang miskin nggak bisa dibandingkan dengan kalian orang kaya, menunda
sebentar saja sudah mengurangi banyak penghasilan."
Nindi sebenarnya sedang dalam suasana
hati yang cukup baik hari ini, jadi dia tidak mau berdebat. Dia menatap sopir
itu dan bertanya, "Lalu Anda maunya bagaimana?"
"Naik saja sesuai pesanan awal,
saya antar Anda ke tujuan, lalu Anda bayar langsung ke saya."
"Tapi sekarang ada orang yang
mau jemput saya, saya nggak butuh naik taksi."
"Nindi melihat sopir itu tampak
begitu memelas, jadi dia juga nggak tega berdebat.
""Begini saja. Bukankah
kalau membatalkan pesanan melebihi waktu yang ditentukan akan ada
kompensasinya? Saya akan mengirimkan biaya kompensasinya lewat aplikasinya.
Oke?"""
Meskipun dia tidak melampaui batas
waktu sama sekali, dia tidak ingin berdebat tentang sesuatu yang dapat
diselesaikan dengan mengirimkan sedikit uang.
"Nggak akan ada gunanya. Apa
artinya beberapa rupiah yang Anda berikan pada saya? Lagi pula, orang yang
menjemput Anda juga belum datang. Kenapa nggak saya saja yang langsung
mengantar Anda?"
Sopir itu terus memaksa Nindi agar
naik ke taksinya.
Setelah mendengar ini, Nindi menatap
pengemudi itu dengan serius. "Saya nggak butuh Anda untuk mengantar saya
ke sana. Karena Anda nggak mau uang sebagai kompensasi, lupakan saja."
"Ah, kenapa kamu seperti ini? Meremehkan
orang-orang yang mencari nafkah dengan susah payah seperti kami, ya? Kalau
bukan karena kamu, saya nggak akan datang sia-sia kayak gini. Sial banget hari
ini."
Sopir itu terlihat mengeluh.
Nindi mulai curiga saat mendengar
sopir itu menggerutu.
Dia membuka aplikasi taksi dan
memeriksa kembali nomor plat mobil yang dipesannya tadi. Seketika ekspresinya
berubah jadi waspada. "Plat mobil Anda beda dengan yang ada di pesanan.
Anda bukan sopir yang saya pesan. Siapa Anda sebenarnya?"
No comments: