Bab 420
Nando sangat menyesal telah membawa
masalah ke dalam keluarganya.
Seharusnya ia menolak keputusan kakak
pertamanya untuk membawa Sania pulang ke kediaman keluarga Lesmana dan
merawatnya.
Sania berlindung di belakang Darren,
dengan wajah kesal ia pun berkata, "Kak, aku tahu kalau Kak Nando nggak
suka padaku. Aku pergi saja ya, daripada malah membuatnya semakin marah."
Melihat kedatangan polisi, Sania
sontak merasa gelisah dan berusaha untuk pergi dari tempat itu.
Polisi menatap ke arah Sania dan
berkata, "Kamu belum boleh pergi. Tadi kamu bilang mau ke rumah sakit buat
periksa, 'kan. Kamu harus memberikan kesaksian dulu."
Ekspresi wajah Sania terlihat sedikit
canggung. "S... saya sudah bilang semuanya, kok. Saya beneran nggak tahu
apa-apa."
"Tapi korban, Nindi, bilang
kalau kamu sengaja memprovokasi Brando, membuatnya marah, dan akhirnya mulai
menyerang dia."
"Saya nggak melakukannya. Nindi
memang nggak suka sama saya, jadi wajar kalau dia mengira saya terlibat. Saya
nggak akan menyalahkannya, tapi kita 'kan juga nggak boleh asal menuduh
begitu."
Sania menangis tersedu-sedu, dan
berkata kepada Darren, "Kak, tolong percaya padaku!"
Darren menganggukkan kepalanya.
"Aku percaya sama kamu. Kamu tenang saja, ikuti saja penyelidikannya,
kalau kamu benar, pasti kamu nggak akan disalahkan."
Ekspresi Sania sempat menegang, ia
memang khawatir sesuatu akan terungkap.
la enggan terlibat dalam penyelidikan
ini.
Nando bertanya kepada polisi,
"Apa Nindi menyebut buktinya?"
"Iya, dia bilang ada video
rekaman berisi suaranya, dan itu mungkin ada di ponsel Sania. Karena itu, kami
perlu memeriksa ponselnya."
Sania mundur beberapa langkah karena
ketakutan, lalu berkata, "Nggak ada, kok."
Polisi menatap ke arahnya dan
berkata, "Tolong serahkan ponselmu, kami perlu memeriksanya."
Tanpa ragu, Nando meraih ponsel
Sania, lalu membuka kunci ponselnya, dan menyerahkannya ke pihak kepolisian.
Sania menundukkan kepala, sudut
bibirnya terangkat membentuk senyuman sinis.
Setelah kejadian yang melibatkan
CCTV, ia menjadi sangat berhati-hati dan menghapus semua bukti penting dari
ponselnya.
Setelah memperlihatkan rekaman video
kepada Brando, ia langsung menghapusnya untuk menghilangkan jejak.
Nando menatap Sania dan berkata,
"Kamu mau jujur, atau tunggu polisi buat mengungkap semuanya?"
Sania menundukkan kepalanya.
"Aku nggak pernah berbuat itu, kenapa juga aku harus mengaku?"
Sesaat kemudian, pemeriksaan terhadap
galeri ponsel selesai dilakukan, dan polisi mengembalikan ponsel milik Sania.
"Benar, kami nggak menemukan video yang disebutkan oleh Nindi."
Darren menatap Nando. "Tuh 'kan,
sudah kubilang kalau Sania itu nggak salah, kamu saja yang terlalu curiga sama
dia."
Sania tampak menghela napas lega.
"Kak, jangan salahin Kak Nando. Dia cuma khawatir, jadi berbuat
begitu."
"Sania, berhenti sok polos deh!
Jangan pikir dengan menghapus video itu, kamu bakal lolos gitu saja. Tunggu
sampai Brando sadar, kita minta penjelasannya. Kamu kira bisa menutupi
semuanya, hah?"
Nando benar-benar kesal.
Segala penjelasan yang ia katakan
tidak mampu meyakinkan kakak pertamanya, pria itu tetap bersikukuh bahwa Sania
tidak bersalah.
Saat itu, Brando pun sadar.
la menatap sekeliling dan berkata,
"Sakit banget, berikan aku cermin!"
Sania bergegas menghampirinya, lalu
berkata, "Kak Brando, akhirnya kamu sadar juga. Aku takut banget. Kak
Darren dan Kak Nando juga khawatir sama kamu."
Brando menopang tubuhnya, dan tampak
begitu kacau. "Aku mau cermin! Kamu nggak dengar, hah?"
Wajahnya tidak boleh rusak.
Sama sekali tidak boleh!
Sembari menangis, Sania berkata,
"Kak Brando, dokter bilang wajahmu bisa disembuhkan. Jangan marah, jangan
salahkan Kak Nindi."
"Nindi ... di mana dia? Aku akan
membunuhnya !"
No comments: