Bab 2608
Begitu kata-kata itu diucapkan,
anggota Keluarga Syahrir langsung meledakkan energi murni mereka dan serentak
menerjang Jack!
Gelombang energi murni yang kuat
berdesir mengepung Jack sepenuhnya. Di tengah kepungan itu ada cahaya pedang
berkilauan muncul dan menghilang dalam sekejap, seperti bayangan hantu! Setiap
tebasan membawa semburan darah segar!
Namun, Jack sudah terluka. Tubuhnya
kini dipenuhi luka dan darah membasahi sekujur tubuhnya. Meski begitu, di
tengah pertarungan yang sengit, tawanya justru semakin keras. "Saka dulu
bisa menghadapi banyak orang sendirian dan berlagak sombong. Hari ini, aku juga
akan melakukan hal yang sama!" serunya.
Jack tidak menunggu untuk diserang.
Dia justru menerobos masuk ke tengah kerumunan, tubuhnya berlumuran darah tapi
setiap langkah yang diambilnya berarti satu nyawa melayang!
Keganasannya membuat semua orang
terkejut, tetapi mereka sadar bahwa ini adalah pertarungan hidup dan mati.
Tidak ada pilihan selain bertarung sampai akhir!
"Semua ini gara-gara Wimar!
Cepat bawa dia ke sini! "
Kepala Keluarga Syahrir sudah tidak
peduli lagi pada otoritas Wimar. Dengan mata merah dipenuhi amarah, dia
berteriak, "Kalau kita kalah dalam pertempuran ini, maka Keluarga Syahrir
akan musnah! Nggak ada jalan mundur lagi! Bunuh mereka semual”
Dalam sekejap, pertempuran dahsyat
pun berlangsung!
Sementara itu, kabar tentang perang
pemusnahan antara Keluarga Syahrir dan Keluarga Romli menyebar dengan cepat,
bagai angin topan yang menerjang seluruh Kota Sentana!
Kota Sentana pun gempar!
Di dalam istana.
Pangeran Pertama Ardion berjalan
tergesa-gesa menuju sebuah pondok jerami dengan tubuh gemuknya bergetar. Tidak
jelas apakah itu karena panik atau ketakutan!
"Ayahanda! Keluarga Syahrir dan
Keluarga Romli adalah pilar utama Negara Elang! Nggak peduli siapa yang menang
atau kalah, negara tetap akan mengalami kerugian besar! Kita nggak bisa
membiarkan mereka bertarung sampai mati! Tolong keluarkan dekret untuk
menghentikan mereka!"
Ardion mengabaikan tata krama dan
langsung menerobos masuk ke dalam pondok dengan wajahnya penuh kegelisahan.
Di dalam pondok sederhana itu hanya
ada sebuah meja, kursi, dan ranjang.
Kaisar duduk di tepi jendela sambil
membaca sebuah buku kuno. Angin sepoi-sepoi berhembus dari luar dan mengibaskan
rambutnya. Ekspresinya tetap tenang, seolah tidak mendengar kata-kata Ardion.
Melihat itu, Ardion semakin cemas dan
segera berkata, "Ayahanda! Aku tahu Ayah ingin melemahkan kekuatan kaum
bangsawan dan memangkas pengaruh mereka, tapi ini sudah kelewatan!”
"Negara Elang sudah mengalami
kerugian besar dalam Pertempuran Srijaya. Kalau kita kehilangan satu atau dua
leluhur lagi, negara ini nggak akan mampu menanggungnya!"
Akhirnya, Kaisar menutup bukunya dan
menatap Ardion lalu berkata dengan pelan, "Begitu mudah panik... Bagaimana
aku bisa tenang menyerahkan tahta kepadamu?"
Mendengar itu, tubuh Ardion bergetar
hebat. Dia sampai lupa alasan awal kedatangannya. Dengan tenggorokan kering,
dia menatap Kaisar dalam diam.
Kaisar tersenyum tipis lalu
melanjutkan, "Dari semua putraku, Reagan terlalu arogan, sementara Roni
tidak beraturan. Hanya kamu yang paling mengutamakan kepentingan besar. Dengan
kehadiranmu, Negara Elang tetap akan memiliki harapan."
"Kalau bukan kamu yang menjadi
Kaisar, lalu siapa lagi?"
Ardion bergumam pelan,
"A-Ayahanda ... "
Namun, seketika dia teringat sesuatu
dan buru-buru berkata, "Tapi bukan itu yang ingin kubahas! Bisakah kamu
mengeluarkan dekret untuk menghentikan pertempuran mereka?"
Kaisar tertawa kecil mendengar itu,
lalu dengan tenang berkata, "Baiklah."
Setelah berpikir sejenak, Kaisar
melanjutkan, "Pada akhirnya, semua ini terjadi karena Saka... "
"Siapkan dekret.”
"Pewaris takhta telah
ditentukan. Pertikaian antar klan harus dihentikan. Biarkan Saka meminta maaf
kepada Keluarga Syahrir dan anggap masalah ini selesai!"
Mendengar itu, Ardion akhirnya
menghela napas lega. Namun, tiba-tiba dia kembali ragu dan bertanya,
"Kalau Saka menolak?"
Kaisar terdiam sejenak, lalu
tersenyum dan berkata, "Apa dia berani?"
"Tapi dia didukung oleh Guru
Negara!" kata Ardion khawatir.
"Guru Negara? "
Kaisar mengangkat alisnya dan
tersenyum tipis. Dia berkat perlahan, "Sepertinya sudah lama sekali sejak
Guru Negara terakhir kali muncul ... "
Ardion terkejut dan menatap Kaisar
dengan bingung lalu berujar, "Ayahanda ... maksud Ayah?"
Kaisar bangkit dengan tenang dan
berkata dengan suara datar, "Pergilah. Bawa dekret itu.”
No comments: