Bab 710
Cakra merasa tidak ada gunanya lagi
tinggal di sana. Jadi, dia pun berdiri dan pergi.
Seseorang di sampingnya mendekat dan
berkata pada pria paruh baya itu, Pak Kevin, apa kamu nggak pernah dengar kalau
Pak Cakra sudah punya pacar yang dia sukai? Bahkan kabarnya, dia sampai
membatalkan pertunangan dengan keluarga Morris demi gadis itu!"
"Maksudmu, gadis itu tadi
pacarnya Pak Cakra?"
"Sepertinya begitu. Memangnya
tadi kamu nggak lihat bagaimana Pak Cakra pasang badan buat dia? Apa kamu pikir
semua orang sepicik kamu, yang langsung berpikir kotor begitu lihat wanita
cantik?"
Pria paruh baya itu langsung gemetar
ketakutan, ini benar-benar gawat.
Awalnya, dia masih berharap bisa
bekerja sama. Sekarang, hancur sudah semuanya.
Sementara itu.
Nindi melangkah keluar dengan penuh
amarah. Andai situasinya tadi sedikit berbeda, dia pasti sudah menghajarnya.
"Nindi, kamu nggak apa-apa,
'kan?"
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa pun
menghampirinya dan menyodorkan sebotol air, " Tadi kami semua lihat
kejadian itu. Kalau kamu mau lapor soal pelecehan, kami semua bisa jadi
saksi."
Nindi menggeleng, "Nggak perlu,
aku bisa tangani sendiri.”
Saat itu juga, Cakra datang
menghampiri. Tanpa menoleh sedikit pun pada si ketua, dia langsung berdiri di
depan Nindi, "Kamu masih marah? Aku sudah kasih pelajaran ke orang
itu."
Sang ketua memberanikan diri untuk
maju dengan wajah tegas, "Pak, Anda juga ikut dalam insiden tadi. Tolong
menjauh. Kalau nggak, kami akan lapor polisi."
Cakra hanya melirik pemuda itu dengan
penuh intimidasi.
Bagaimanapun juga, anak itu cuma
mahasiswa biasa, belum punya banyak pengalaman.
Berhadapan dengan pria dewasa yang
sudah lama malang melintang di dunia bisnis, jelas membuat mentalnya jelas
terpukul.
Cakra kembali menatap Nindi,
"Apa menurutmu aku melecehkanmu? Bagian mana yang aku sentuh, huh?"
Nindi buru-buru menarik lengan Cakra
dengan wajah memerah, "Diam. Jangan ngomong lagi."
Sebenarnya, Cakra bisa saja menjauh
dari Nindi. Akan tetapi, kali ini dia justru sengaja berdiri diam di sampingnya,
kemudian melirik ke arah mahasiswa itu dengan sorot kemenangan.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa yang
melihat adegan itu pun langsung menebak, sepertinya hubungan antara Nindi dan
pria itu tidaklah biasa.
Nindi berinisiatif bicara lebih dulu,
"Ketua, masalah yang barusan sudah selesai. Terima kasih sudah bantu aku
tadi.”
"Nggak masalah, kalau butuh
bantuan, bilang saja padaku."
Nindi mengangguk pelan, lalu
menyaksikan sosok ketua itu pergi.
"Dia sudah pergi, kamu masih mau
lihat apa lagi?"
Cakra mengeryit, lalu sedikit
bergeser, menghalangi pandangan Nindi, "Apa menurutmu dia lebih tampan
dibanding aku?"
Nindi menoleh ke arah lain, malas
menanggapi, " Setidaknya dia membantuku tadi."
"Menurutku, dia cuma sok jadi
pahlawan, padahal nggak sadar dengan kemampuannya!"
Nada bicaranya terdengar santai,
padahal hatinya gelisah karena para pria di sekitar Nindi semuanya masih muda.
Nindi seumuran dengan mereka, bahkan
ada banyak topik yang bisa dibicarakan bersama.
Hati Cakra terasa agak masam, "Nindi
kecil, kamu masih utang makan malam sama aku, lho."
"Aku tahu."
"Bagaimana kalau malam ini aja?
Aku tahu kamu malam ini nggak ada kelas."
Nindi buru-buru mencari alasan,
"Aku ada latihan di markas malam ini."
"Aku antar kamu pulang langsung
setelah makan, jadi nggak bakal ganggu latihanmu.”
Cakra menatapnya lekat-lekat,
suaranya melembut, "Kita sudah lama sekali nggak ketemu, cuma makan
bersama saja, kok. Aku nggak bakal ngapa-ngapain. Lagi pula, aku dapat beberapa
petunjuk tentang keluarga Morris."
Nindi sontak menolah, "Kamu
menemukan apa?"
Cakra melirihkan suaranya,
"Tempat ini nggak cocok buat ngomongin itu."
Tepat saat itu, mata Nindi menangkap
sosok Darren yang datang bersama Sania.
'Ngapain mereka ke sini?' ucap Nindi
dalam hati.
No comments: