Bab 424
"Asalkan kamu mau makan, aku
bahkan bisa tumis bintang-bintang di langit buat kamu."
Nindi pun tertawa terbahak-bahak,
'Pria itu ternyata bisa bercanda seperti ini, ya?' pikirnya.
Cakra mencubit pipinya. "Nah,
gitu dong. Jangan cemberut terus, nanti cepet tua, lho."
Wajah Nindi terasa sedikit panas.
"Sudah pergi sana, aku nggak apa-apa kok sendirian."
la menatapnya dengan seksama, sebelum
akhirnya berbalik dan pergi.
Cakra berjalan menuju sudut ruangan
dan mendapati tim humas berjaga di sana. "Selama dia dirawat di sini,
pesan makanan dari Restoran Pyrus."
Mia mengangguk cepat. "Baik, Pak
Cakra. Kami akan segera mengurusnya."
Setelah Cakra pergi, Nindi duduk
seorang diri di taman kecil, mengamati aktivitas semut yang tengah berpindah
sarang. Ia memperhatikan langit yang tampak mendung, seakan segera turun hujan
deras.
Tak berselang lama, Nando akhirnya
sadar.
Nindi segera masuk ke dalam kamar
rawat, menatap Nando, lalu berkata, "Kondisimu makin parah. Dokter bilang,
kamu harus segera tes laboratorium dan menjalani operasi."
"Aku tahu kondisiku. Sebenarnya,
operasiku sudah dijadwalkan, tapi terjadi masalah seperti ini. Kak Darren lagi
dinas ke luar kota, aku nggak bisa diam begitu saja."
"Tapi, itu 'kan nggak ada
hubungannya sama kamu.
Nindi berkata terus terang,
ekspresinya pun tampak serius. "Lebih baik kamu lakukan operasi itu."
"Nindi, aku bakal buat Brando
sadar dan minta maaf sama kamu."
Nindi enggan merespon ucapan itu.
Sejak insiden siaran langsung itu, ia
tidak lagi berniat untuk memberi ampun pada kakak keempatnya, Brando.
Saat itu, Mia masuk dan berkata,
"Nona Nindi, keluarga Lesmana sudah sampai, tapi mereka ditahan di
parkiran rumah sakit... ahem, kebetulan kami melihatnya."
"Kebetulan sekali, Kak Nando,
kamu bisa pindah rumah sakit dan ikut bersama mereka."
Nindi mendorong kursi rodanya, dan
memyuruh Nando duduk di sana. Ia lantas membawa pria itu menuju parkiran bawah
tanah.
Di dalam lift.
Nando duduk di kursi roda, ia tak
kuasa untuk berkata, "Nindi, wajah Brando rusak parah. Walaupun bisa
diperbaiki, tapi tetap ada bekas lukanya. Kariernya juga akan hancur."
Dengan ekspresi datar, Nindi berkata,
"Sesuatu yang sudah terucap, itu nggak ada gunanya lagi. Aku sarakan kamu
diam saja."
la sangat mengenal watak kakak
keduanya.
Sejak dulu, ia selalu berada di
posisi netral dan lebih memilih untuk meredam masalah, serta menguburnya.
Namun, dalam situasi ini, pasti ada
pihak yang harus mengalah dan dirugikan demi menyelesaikan masalah.
"Nindi, aku..."
"Aku nggak mau jadi orang yang
selalu ngalah dan dirugikan. Berhenti membujukku, nggak ada gunanya."
Dengan satu kalimat, Nindi berhasil
membungkam Nando.
Setelah pintu lift terbuka, Nindi
mendorong kursi roda menuju tempat parkir.
Setelah dihentikan, Darren menjadi
sangat marah. Begitu menangkap kehadiran Nindi, ia langsung membentaknya dengan
penuh emosi. "Kamu takut, ya? Makanya nggak berani keluar?"
Nando berkata, "Kak, kenapa ngomong
sekejam itu sih?"
"Hmph, aku benar kok! Nindi,
kamu pikir dengan sembunyi ke rumah sakit, bisa menyelesaikan semuanya ? Brando
sudah menyewa tim humas TG Grup buat menangani masalah ini. Kamu sendirian
nggak akan bisa menang. Saranku, mending kamu cepat klarifikasi kalau siaran
langsung itu cuma latihan, bukan KDRT."
Senyum sinis muncul di wajah Nindi.
"Kebetulan, aku juga ada tím humas."
"Kamu yakin tim humas-mu itu
bisa bersaing dengan TG Grup? Oh, iya sih, kamu 'kan masih baru di sini, pasti belum
terlalu ngerti situasi di kota Yunaria."
Nada bicara Darren penuh dengan
sindiran.
Mia, yang berdiri di belakang Nindi,
melangkah maju dan berkata, "Halo, Pak Darren. Saya adalah manajer tim
humas TG Grup."
Ekspresi Darren langsung membeku.
"Nindi, seriusan kamu mengambil tim humas kakakmu? Setega itu, ya?"
Nando segera menahan Darren.
"Kak, kamu ngomong apa sih?"
"Lepasin aku!"
Nando terdorong dan langsung jatuh
terduduk di kursi rodanya.
Nindi bergegas membantu Nando, hanya
saja Darren malah mendorongnya. "Nggak usah sok baik deh."
Nindi terkekeh dingin. "Barusan
dia keluar pakai kursi roda, tapi kamu nggak ada tuh tanya kondisinya."
"Cuma duduk dikursi roda nggak
bikin dia mati, ' kan."
"Dia sakit kanker lambung."
Mendengar hal itu, Darren panik bukan main.
No comments: