Bab 697
Nindi menatap tajam kedua orang di
depannya. " Lumayan menguntungkan, lho. Kalian cukup berlutut, langsung
setara beberapa miliar."
Witan berteriak dengan marah.
"Nindi, jangan mimpi!"
"Jelas-jelas yang mimpi itu
kalian!" balas Nindi.
Sudut bibir Nindi terangkat dingin,
lalu dia berkata, "Asal ngomong doang, naifnya kebangetan."
Setelah selesai berbicara, Nindi
segera menuju ruang makan untuk menyantap sarapan, dan mengabaikan kedua orang
itu.
Sania menatap punggung Nindi yang
kian menjauh, kemudian dengan kesal dia mengeluh sambil menangis kepada Witan.
"Kamu coba ngomong ke Kak Darren dong, suruh kasih sahamnya ke Nindi. Toh,
Nindi juga nggak bakal rugi kok."
"Nanti biar aku ngomong ke Kak
Darren, tenang saja, aku bakal beresin masalah ini buat kamu," ucap Witan.
Sanía merendahkan nada bicaranya.
"Kita 'kan sudah sepakat, nanti rumah itu atas namaku, ya."
"Tenang saja, kalau aku sudah
janji, pasti aku tepati, "ucap Witan.
Witan tampak sangat percaya diri.
Saham atas namanya jauh lebih berharga daripada sebuah vila.
Saat itu, Darren secara kebetulan
turun dari lantai atas sembari melakukan panggilan telepon. " Pastikan
semua iklan berikutnya sudah dijadwalkan. Kita harus terus promosikan produknya
supaya lebih mudah negosiasi dengan pihak investor.”
Usai mengakhiri panggilan telepon,
Darren melihat Sania menangis tersedu-sedu. Dia merasa sedikit kesal.
Dia lantas menatap Sania.
"Wajahmu baik-baik saja, 'kan? Pergi ke rumah sakit buat perawatan wajah.
Dagumu harus aman, supaya nggak ganggu waktu tersorot kamera."
Sania melirik ke arah samping dan
bertanya, "Kak Darren, perusahaan sudah aman, 'kan?"
"Iya, sementara ini belum ada
pernyataan resmi tentang plagiarisme. Kamu harus koordinasi sama pihak PZ Grup,
produksi ini akan segera dimulai," ujar Darren.
"Aku ngerti, Kak. Urusan di
pabrik masih aman. Begitu uangnya masuk, mereka bisa mulai kerja kapan saja.
Bahan material yang dibutuhkan juga hampir semuanya siap," ucap Sania.
Sania merasa cukup antusias. Selama
Darren mulai mengirimkan uang, rencananya sudah berjalan setengahnya.
Darren menganggukkan kepala.
"Kamu harus beneran mengawasi proyek pabrik itu, oke? Kalau ada masalah,
langsung kabarin aku. Jangan sampai bikin aku kecewa."
"Kak Darren, tenang saja. Aku
janji kali ini nggak bakal bikin kamu kecewa," ucap Sania.
Witan segera menimpali. "Kak
Darren, Sania 'kan bentar lagi jadi istriku dan bagian dari keluarga Lesmana.
Dia pasti tulus sama keluarga ini dan nggak akan bikin masalah.”
Darren tampak mengusap pelipisnya.
"Kalau begitu, bagus."
Akhirnya, rintangan ini berhasil
terlewati.
Witan pun menambahkan. "Kak
Darren, kalau Sania sudah berjasa besar kali ini, kamu harus kasih dia hadiah,
'kan?"
Darren langsung menuju ke ruang
makan. "Kalau ada sesuatu, langsung ngomong saja."
"Kak Darren, vila ini 'kan
sebenarnya disiapin buat rumah pengantin kami, tapi kamu malah kasih ke Nindi.
Aku mau pakai saham atas namaku buat jaminan ke Nindi, supaya dia mau jual vila
itu padaku," ucap Witan.
"Nggak boleh," ucap Darren.
Darren menolak tanpa ragu.
Saham itu tidak boleh jatuh ke tangan
Nindi. Jika Nindi sampai mendapatkan tambahan saham dari Nando, Leo, dan
Brando, bisa jadi dia menjadi pemilik saham utama di Lesmana Grup.
Kalau begitu, bukankah nanti dia akan
menjadi bahan olokan?
Masalah perusahaan hiburan yang
terjadi belum lama ini baru saja selesai, Darren tidak akan pernah membiarkan
hal itu terulang lagi.
Witan tampak sangat kesal. "Kak
Darren, kalau begitu, tolong kasih tahu Nindi, aku mau beli vila itu pakai
uangku sendiri.”
Nindi terduduk di sana sembari
menyantap makanannya, dia tampak menengadah dan menatap ke arah mereka.
"Kalau kurang dari dua puluh miliar, aku nggak jual."
"Orang tua kita beli vila ini
cuma seharga sepuluh miliar, kamu tega banget, masa jual padaku sampai dua
puluh miliar sih. Kak Darren, ini nggak masuk akal, 'kan?" ucap Witan.
Darren mengusap pelukisnya.
"Witan, gimana kalau kamu kasih Nindi surat hutang saja?"
"Nggak mau," ucap Nindi.
Nindi seketika menolaknya. "Mana
ada beli rumah pakai surat hutang? Kalau gitu, mending aku bikin surat hutang
dua ratus miliar ke kamu, terus kamu kasih semua saham perusahaan buat
aku?"
Darren seketika terdiam.
Witan tak berdaya menghadapi Nindi,
sehingga dia hanya dapat menatap Darren. "Kak Darren, kasih aku sedikit
uang, ya."
"Perusahaan lagi butuh uang,
mana ada uang sebanyak itu buat kamu? Setelah proyek ini sukses, aku bakal
beliin kalian vila buat rumah pengantin. Gimana?" tawar Darren.
Witan akhirnya merasa puas dan
berbicara kepada Sania. "Kita pindah ke rumah baru saja, ya, rumah ini
lupakan saja.”
No comments: