Bab 119
"Mereka nggak tahu Keluarga
Halim kami itu keluarga kelas satu di Beluno, yang mana punya sumber daya yang
melimpah. Bagaimana mungkin kami berutang ratusan miliar kepadanya? Konyol
sekali."
"Benar, Alfian memang bilang
kamu berutang ratusan miliar padanya. Aku baru saja mau menanyakan hal ini
padamu," ucap Emilia.
Edward tersenyum dan berkata,
"Emilia, menurutmu hal seperti ini mungkin terjadi?"
Tamara mendengus dingin. "Alfian
bodoh. Dia suka omong kosong. Dia pantas dipecat."
"Menantuku kaya raya, jangankan
ratusan miliar, bahkan puluhan triliun ataupun ratusan triliun, dia juga bisa
mengeluarkannya dengan mudah. Hanya masalah sepele saja."
Edward melambaikan tangannya dan
berkata sambil memperlihatkan gaya tuan muda kaya, "Bibi, kamu bercanda.
Puluhan triliun itu jumlah yang besar. Tapi aku nggak membual. Aku nggak
mungkin berutang ratusan miliar."
Nathan bangkit dan pergi. Dia tidak
bisa tinggal lebih lama lagi.
"Nathan, kamu mau pergi?"
tanya Emilia.
Nathan berkata dengan nada datar,
"Kalau aku nggak pergi sekarang, khawatirnya kecerdasanku akan
terluka."
Emilia terdiam. Wajahnya tampak tidak
senang.
"Baiklah. Kalau begitu,
hati-hati, Pak Nathan. Kami nggak antar lagi."
Ken berkata dengan gembira,
"Nathan, tunggu kami kaya nanti. Saat itu, kamu pasti akan menyesal."
Tamara juga tidak bisa berhenti
tersenyum. Dia mulai berkhayal. Dia akan menghasilkan banyak uang dengan Edward
dan uang pensiunnya kelak akan meningkat ratusan atau ribuan kali lipat.
Hanya, Edward yang menatap kepergian
Nathan. Senyum di wajahnya menghilang dan ada sedikit kekejaman yang terlihat.
"Bibi, Emilia, kalian duduk
sebentar. Aku mau ke kamar mandi."
Setelah memasuki kamar mandi dan
memastikan tidak ada orang, Edward segera menelepon.
"Tuan Waldi, bocah itu baru saja
meninggalkan ruang VIP. Bukankah anak buahmu akan mengambil tindakan padanya? Sekarang
waktu yang tepat untuk melakukannya."
"Ya, dia sendirian saat ini.
Nggak ada anggota Keluarga Suteja yang menemaninya. Langsung singkirkan dia
saja!
Tawa Waldi datang dari ujung telepon
sana.
"Edward, kerja bagus."
"Lantaran kamu memberitahuku,
aku bisa memberimu sedikit waktu lagi untuk melunasi pinjaman sebesar 400
miliar yang kamu utang padaku."
Edward sangat senang.
""Terima kasih, Tuan Waldi."
Waldi mengubah nada suaranya dan
mendengus dingin. " Tapi kamu harus membayarku secepat mungkin."
"Kamu seharusnya tahu. Kalau ada
yang berani membawa kabur uangku, aku pasti akan membuatnya mati
mengenaskan."
Edward menggigil, lalu tersenyum
cepat. "Tuan Waldi, lihat apa yang Anda katakan. Saya tentu nggak berani
berpikiran jahat terhadap Anda."
"Tenang saja, Tuan Waldi. Saya
baru saja menghasilkan uang di sini. Setelah investasi membuahkan hasil, saya
akan segera membayar Anda kembali."
Waldi berkata dengan nada datar,
"Baiklah, aku akan tunggu. Aku harap kamu nggak mengecewakanku. Kalau
nggak, aku akan mencari ayahmu, Thomas, agar dia yang melunasi utangma."
Panggilan telepon langsung ditutup.
Wajah Edward perlahan berubah ganas.
"Waldi, kamu bajingan tua yang
sangat serakah."
"Sekalipun harus menggunakan
segala cara, aku juga nggak akan membiarkan keluargaku dan Emilia tahu kalau
aku punya utang di luar
"Reputasiku nggak boleh
hancur."
Dari cermin terlihat sosok putra
sulung Keluarga Halim yang bermata merah dan tangannya terkepal erat dengan
urat biru di sekujur tubuhnya.
Melihat dirinya yang terpantul di
cermin, Edward bergumam, "Untunglah, Alfian yang malang itu sudah dipecat.
Kalau nggak, cepat atau lambat, utang bernilai ratusan miliar di Bank Beluno
pasti akan ketahuan oleh Emilia. Untung saja, untung saja..."
No comments: