Bab 135
"Nggak bisa," ujar nindi
dengan ekspresi dingin.
Dia tidak ingin menoleh ke belakang.
Dan dia juga tidak ingin kembali ke
tim untuk menjalani kehidupan seperti sebelumnya.
Leo tampak seperti hampir tidak bisa
berdiri, wajahnya pucat, dan dia tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Kak Nando benar.
Dia sebenarnya punya kesempatan untuk
memperbaiki semuanya, tetapi pada akhirnya, dia tetap tidak bisa
memanfaatkannya.
Nindi berjalan masuk ke dalam
kompleks, tetapi dia tidak langsung naik ke atas. Sebaliknya, dia berjalan
-jalan di dalam kompleks itu.
Dia teringat semua perlakuan tidak
adil yang dia alami di tim pada kehidupan sebelumnya. Kali ini, semuanya telah
dia bayar kembali.
Dia tidak akan ikut final sama
sekali!
Jika pada kehidupan sebelumnya Kak
Leo menggantikannya dan memberikan kesempatan juara kepada Sania, maka di
kehidupan ini, dia akan memupuskan harapan kakaknya untuk menjadi juara.
Nindi mendongak melihat langit. Di
kehidupan ini, dia tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
"Cantik, sedang bete sendirian
ya?"
Tiba-tiba, seorang pria paruh baya
muncul di sisinya, menatap Nindi dengan tatapan yang penuh niat jelek. "Bagaimana
kalau kita ke rumahku, minum-minum sedikit?"
"Nggak perlu."
Nindi menolak dengan penuh
kewaspadaan, lalu berbalik menuju tempat yang lebih ramai.
"Cantik, jangan pergi dong. Aku
tahu di mana kamu tinggal. Kamu 'kan cuma disponsori dua pria itu, kan? Mereka
kasih kamu berapa? Aku kasih dua kali lipat, gimana?"
Nindi mempercepat langkahnya, tetapi
terdengar suara pria itu berlari mengejarnya dari belakang.
Punggung Nindi mulai merinding. Dia
tidak menyangka hanya dengan berjalan-jalan, dia bisa bertemu pria mesum.
Tiba-tiba, seseorang menarik
tangannya, membuatnya berteriak kaget.
"Nindi!"
Cakra memegang tangannya, lalu
memeluknya." Kamu kenapa?"
Nindi membuka matanya, dan menyadari
pria itu adalah Cakra.
Secara refleks, dia melihat ke jalan
kecil di taman. Gelap gulita, tidak terlihat ada siapa-siapa.
Setelah menenangkan dirinya, dia
berkata. "Tadi ada yang menggangguku."
"Di mana?"
"Di sana, tapi dia sepertinya
nggak mengejar lagi."
Mungkin karena melihat Cakra, pria
itu jadi takut.
Cakra melihat wajah Nindi yang pucat
pasi, lalu menghela napas. "Sudah kubilang jangan turun sendirian."
Nindi, yang masih ketakutan,
menjawab, "Mana aku tahu akan seapes ini."
Baru saat itu dia menyadari dirinya
berada dalam pelukan Cakra, lalu dia mundur selangkah dengan canggung untuk
menjaga jarak.
Cakra merasakan tangannya kosong,
kemudian menarik kembali tangannya. "Mau lapor polisi?"
"Ya, mau."
Saat itu, seorang nenek lewat dan
berkata. "Di jalan itu ada area yang nggak terpantau kamera CCTV. Sebelumnya
juga ada yang melapor, tapi akhirnya orang itu nggak ditemukan. Nak, lain kali
jangan ke tempat sepi sendirian di malam hari, sangat berbahaya."
Nindi mengangguk. Dia sendiri tidak
menyangka akan mengalami hal seperti ini.
Tatapan Cakra sempat dingin, tetapi
dia dengan cepat kembali tenang. "Kita pulang dulu, nanti kita bicarakan
lagi."
Nindi juga tidak ingin terus berada
di luar. Dia merasa seperti ada yang terus mengawasinya.
Setelah kembali ke apartemen, dia
duduk di sofa. Kejadian tadi terus terbayang di benaknya.
"Minum air hangat."
Nindi melihat sepasang tangan yang
panjang dan ramping. Dia menerima gelas itu, lalu berkata pelan.
"Terima kasih."
Cakra melihat wajahnya yang pucat,
lalu berkata dengan nada lembut. "Aku akan menyelidiki masalah pria mesum
ini. Di dunia ini, selama ada orang, pasti ada jejaknya. Nggak ada yang namanya
area yang benar-benar nggak terpantau kamera."
Jika Nindi masih akan terus tinggal
di sini, maka masalah ini harus dibereskan.
Nindi menatapnya. "Maksudmu,
kamu akan meretas sistem kamera?"
"Dasar bocah. Jangan bawa logika
drama TV ke dunia nyata. Itu perbuatan melanggar hukum."
Cakra dengan serius menasihati Nindi,
"Yang harus kamu lakukan sekarang adalah istirahat lebih cepat."
Nindi ragu sejenak. "Tapi orang
itu tahu di mana aku tinggal, juga tahu keberadaan kalian."
Dia tidak mengatakan apa-apa mengenai
ucapan pria itu tentang dirinya yang disponsori.
Lagi pula, itu tidak benar.
Ekspresi Cakra langsung berubah
serius. Dia tidak menyangka ada orang yang berani bertindak sejauh itu!
Dengali nada datar, dia berkata.
"Malam ini, kamu tidur di sini."
Nindi mengangguk. "Aku tidur di
sofa saja."
Cakra mengerutkan alisnya. "Kamu
tidur di kamarku, aku yang tidur di sofa."
No comments: