Bangkit dari Luka ~ Bab 134

  

Bab 134

 

Dia memperhatikan ekspresinya yang lembut, dan perasaan getir muncul di hatinya.

 

Nindi menundukkan kepala dengan gugup, Kakakku di bawah, katanya ingin bicara."

 

"Dia menyuruhmu turun, dan kamu nurut begitu saja?"

 

Cakra mengerutkan alis. "Dia pasti cuma mau membicarakan soal final besok dan memohon padamu."

 

"Aku rasa juga begitu."

 

"Kalau begitu, kamu nggak perlu turun."

 

Nada bicaranya sangat otoriter, seperti memberi perintah.

 

Nindi tiba-tiba merasa ada keinginan untuk melawan. Dia menggigit bibirnya. "Aku akan pergi sebentar saja, kamu lanjutkan pekerjaanmu."

 

Setelah itu, dia langsung menutup pintu apartemen.

 

Cakra memandangi pintu yang tertutup, lalu menatapnya cukup lama. Dia mengusap pelipisnya.

 

Apa dia sedang ngambek padanya?

 

Dia berbalik ke balkon, yang kebetulan menghadap pintu depan apartemen. Pria yang berdiri di samping mobil di luar sana memang Leo.

 

Día menopang satu tangan di pagar balkon, matanya yang tajam tertuju ke arah pintu depan.

 

Tak lama kemudian, Nindi muncul di pandangannya. Tubuhnya kecil dan langkahnya lambat.

 

Setelah memperhatikannya sejenak, Cakra berbalik dan kembali ke kamar.

 

Sementara itu, Nindi merasa sangat rumit. Apakah tadi dia terlalu jelas menunjukkan perasaannya?

 

Dia tak bisa menahan diri untuk melirik kembali ke arah apartemen. Balkon di atas kosong.

 

Sedikit rasa kecewa muncul di hatinya, dan dia pun mengalihkan pandangannya.

 

Dia tak boleh terus memikirkan Cakra. Ini tidak benar.

 

Setelah menenangkan diri, Nindi langsung menuju gerbang kompleks dan melihat Leo sedang bersandar di pintu mobil.

 

Dia berjalan mendekat dengan ekspresi datar. " Kamu mau bilang apa? Waktuku terbatas."

 

Leo memperhatikan Nindi dengan seksama. Dia tak bisa menyangkal bahwa Nindi benar-benar sudah berubah.

 

Nada bicaranya terdengar kaku. "Aku akui, dulu sikapku padamu nggak terlalu baik. Dalam menyelesaikan beberapa hal, aku kurang memperhatikan perasaanmu dan membuatmu menderita."

 

Sorot mata Nindi menampilkan sedikit keterkejutan. "Jarang sekali kamu minta maaf dengan tulus. Sudah selesai ngomongnya??"

 

"Aku hanya ingin tahu, bagaimana pemikiranmu ? Aku rasa konflik kita sebelumnya cuma hal kecil yang tak akan memengaruhi hal lain."

 

Nindi tertawa sinis, "Kak Leo, kalau kamu pikir beberapa kata permintaan maaf bisa menyelesaikan segalanya, dan mau mencoba menggunakan ini untuk memaksaku secara moral, aku sarankan kamu tak perlu melanjutkannya."

 

"Aku nggak bermaksud begitu."

 

"Aku tahu maksudmu. Kamu pikir setelah meminta maaf, aku harus memikirkan kepentingan bersama, dan pada akhirnya tetap harus bergabung dengan tim untuk ikut final."

 

Sorot mata Nindi dingin dan asing. "Tapi aku akan jujur padamu, aku nggak akan ikut final."

 

Leo mulai panik. "Tapi dulu kamu sangat peduli dengan kemenangan tim. Bukankah dulu kamu yang mendukungku untuk membangun tim ini? Sekarang tim ini pertama kalinya masuk final nasional, dan kamu mau keluar?"

 

Dia masih tidak percaya bahwa Nindi akan menyerah pada kesempatan untuk ikut final.

 

Dulu, dia sangat peduli.

 

Ekspresi Nindi penuh dengan sindiran. "Kamu nggak perlu berpura-pura. Kalau Sania nggak begitu malas dan payah dalam bermain, kalau kamu menemukan penembak pengganti yang cocok, kamu juga nggak akan berdiri di sini memohon padaku untuk ikut final. Kita saling jujur saja, bagaimana?"

 

Leo membuka mulutnya, ingin berbicara, "Bukan seperti itu."

 

"Kamu cuma peduli pada keuntunganmu sendiri. Yang kamu lihat hanyalah kemenangan dan kekalahan tim. Kamu sama sekali nggak peduli soal orang lain."

 

Nindi sudah lama mengetahui kakaknya ini orang seperti apa.

 

Dulu dia enggan banyak bicara.

 

Namun, sekarang, jika harus jujur dia ingin semuanya jelas.

 

Leo hampir tidak bisa berdiri tegak. Dia berteriak dengan histeris, "Aku nggak hanya peduli pada kemenangan dan kekalahan tim. Aku juga peduli padamu. Tanpa kamu, tim ini bukan tim yang aku bayarigkan!"

 

Dia teringat bahwa awalnya dia membangun tim ini demi adiknya!

 

Entah sejak kapan, dia melupakan alasan itu.

 

Sekarang, setelah Nindi memutuskan untuk meninggalkan tim, dia baru mengingat semuanya. Namun, sepertinya sudah terlambat.

 

"Nindi, nggak bisakah kamu memberi tim ini satu kesempatan?"

 

Dan memberinya satu kesempatan juga?

 

Bab Lengkap

Bangkit dari Luka ~ Bab 134 Bangkit dari Luka ~ Bab 134 Reviewed by Novel Terjemahan Indonesia on May 02, 2025 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.