Bab 210
"Benar sekali, sekarang baru
ketakutan, ya? Cepat tinggalkan pria nggak berguna itu dan kemari buat minta
maaf pada Sania!"
"Minta maaf? Mimpi sana!"
Nindi sama sekali tidak gentar.
Tidak lama, polisi tiba di tempat
kejadian.
Sania segera memasang wajah penuh
rasa sakit dan merintih, "Aduh, sakit sekali..."
Darren menunjuk Nindi dengan wajah
penuh amarah, "Ini orangnya, dia melukai adikku!"
"Nindi, kamu sudah berbuat
salah, masih saja nggak mau mengaku dan minta maaf!"
"Kalau begitu, biar polisi yang
kasih kamu pelajaran berharga hari ini, biar kelak kamu nggak buat masalah yang
lebih besar lagi!"
Sania menatap penuh kepuasan. Hari
ini, dia akan memastikan Nindi ditangkap polisi, bahkan sampai mendapat catatan
kriminal!
Dengan begitu, apa pun yang terjadi,
Nindi tidak akan pernah bisa menyainginya lagi.
Namun, dengan suara lembut dan sikap
pura-pura baik, Sania malah berkata, "Kak Nindi, sebenarnya, kalau kamu
mau minta maaf, pasti akan kumaafkan. Tapi, karena kamu menolak mengakui
kesalahanmu, aku sudah nggak punya pilihan lagi."
"Sanía, kamu ini terlalu baik.
Orang seperti Nindi nggak pantas diperlakukan sebaik itu olehmu."
"Kak, kita ini keluarga, lho.
Mana mungkin kita diam saja melihat Nindi makin tersesat begini?"
Sania memasang ekspresi sabar
bercampur rasa sedih, bagaikan sosok polos tanpa dosa.
Usai mendengar percakapan itu, salah
satu petugas polisi memberi tatapan dingin ke arah Nindi. "Nona, Anda
diduga terlibat tindakan penganiayaan. Harap ikut dengan kami untuk
penyelidikan lebih lanjut."
Raut wajah Cakra seketika berubah
dingin. "Awas saja kalau ada yang berani menyentuhnya!" ancamnya.
Darren menatapnya sinis. "Dasar
pria nggak ada guna. Ini Yunaria! Buka matamu lebar-lebar!"
Cakra hanya menatapnya datar.
"Lalu, kenapa?"
Nindi memegang tangan Cakra, memberi
isyarat agar pria itu tenang. Dia berbalik menghadap para petugas polisi.
"Barusan memang ada insiden penganiayaan, tapi pelakunya bukan aku,
melainkan dia!"
Nindi menunjuk ke arah Sania.
Wajah Sania langsung pucat, matanya
tampak memancarkan kilat panik. "Ka... kamu bicara apa, sih? Kamu nggak
bisa begitu saja melemparkan kesalahan padaku cuma buat menghindari tanggung
jawab!"
Apalagi, tidak ada yang melihat
kejadian sebenarnya. Jadi, tidak akan ada yang memercayai kata-kata Nindi!
Darren sampai tertawa saking
marahnya. "Nindi, ini alasanmu bersikeras nggak mau mengaku salah? Dengan
memfitnah Sania telah mencelakaimu?"
Sania menatap Nindi dengan mata
berkaca -kaca, " Nindi, tadi, aku nggak mau mempermasalahkan ini, tapi
kamu benar-benar keterlaluan."
"Bukankah kalian yang keterlaluan?
Jelas-jelas kamu yang lebih dulu menyerangku, tapi malah ceroboh dan jatuh
sendiri dari tangga. Sekarang, kamu malah pura-pura menjadi korban untuk
menyalahkanku!"
Sania terlihat agak panik. Kepalanya
menunduk, tidak berani berkata apa-apa.
Darren yang murka seketika angkat
bicara, "Nindi, kamu benar-benar mengcewakan kami! Sampai detik ini saja
kamu tetap nggak mau mengaku salah! 11
"Kenapa aku harus mengaku kalau
nggak salah? Memangnya kamu punya bukti?"
Darren mengernyit seraya bertanya,
"Kalau gitu, memangnya kamu punya bukti kalau Sania yang mulai menyerangmu
lebih dulu?"
"Punya."
Nindi tersenyum tipis, lalu melangkah
ke samping. Dia menunjuk ke arah dinding. "Lihat, ada CCTV di koridor. Itu
pasti merekam semuanya, termasuk di dekat tangga."
Wajah Sania seketika pucat pasi
ketika melihat CCTV yang ditunjuk oleh Nindi.
'Kenapa bisa ada CCTV?' tanya Sania
dalam hati.
Biasanya, tidak akan ada CCTV di area
tangga. Mengapa bisa begini?
Sania langsung panik. Jika rekaman
itu sungguh diperiksa, bukankah semuanya akan terbongkar?
Sania gelisah luar biasa. Sekarang,
sikap Nando terhadapnya sudah berubah. Jika dia sampai kehilangan kepercayaan
Darren, semuanya benar -benar akan hancur.
Nindi memberi tatapan dingin pada
Sania. "Begitu rekaman CCTV diperiksa, semua akan terbukti."
Cakra, yang berdiri di samping Nindi,
meliriknya sekilas. Tidak heran dia terlihat begitu percaya diri. Rupanya,
Nindi sudah menyiapkan semuanya dari awal!
"Kak Darren, sudahlah. Ini semua
salahku. Meski aku terluka, kita ini keluarga. Nggak perlu membuat segalanya
menjadi rumit dan buang-buang tenaga polisi begini."
Namun, dia tahu betul inilah akting
terakhirnya. Sania buru-buru meraih tangan Darren dengan suara yang terdengar
panik. "Aku tiba-tiba pusing dan mual. Kakak, tolong antar aku ke rumah
sakit."
Nindi mengangkat satu alis sambil
tersenyum tipis. "Mau kabur, ya? Sayang sekali, itu nggak akan
terjadi!"
Tidak ada jalan keluar sama sekali!
No comments: