Bab 209
Nindi mendengar suara yang begitu
akrab, lalu melihat Cakra berjalan mendekat dari arah koridor.
Dia pun terkejut dan spontan
bertanya, "Kamu sejak kapan ada di Yunaria?"
Tidak pernah terlintas sedikit pun di
pikirannya jika dia akan bertemu Cakra di tempat ini!
Ekspresi Cakra sempat terlihat kaku.
Namun, saat dia berdiri tepat di depan Nindi, sorot matanya menjadi lebih
lembut. "Kamu nggak apa-apa?"
"Aku nggak apa-apa, memangnya
aku kenapa?"
Nindi tersenyum bahagia sambil
menggandeng lengan Cakra. "Ayo pergi."
"Berhenti!"
Darren menatap Nindi dengan tatapan menusuk."
Kalau berani pergi, saat polisi datang, kamu akan dianggap kabur dari tanggung
jawab!"
Sania yang kesakitan itu mencoba
bangkit sambil terisak, kemudian berkata, "Kakak, kamu lihat sendiri,
'kan? Aku cuma mau bicara baik-baik sama Kak Nindi, biar dia mau pulang dan
minta maaf ke keluarga. Tapi, dia justru marah dan mendorongku jatuh dari
tangga!"
Darren, yang baru menyadari
keberadaan Sania, seketika mendekat dan membantu adiknya berdiri.
Raut wajahnya pun makin dingin.
"Sania, tenang saja. Kakak pasti akan menuntut keadilan buatmu."
Lalu, dia menoleh ke arah
sekretarisnya, dengan tegas berteriak, "Cepat hubungi polisi!"
Sania tampak menahan sakit di
tubuhnya. Namun, dia tetap berusaha memasang wajah penuh iba. " Kak, kalau
kita lapor polisi, Kak Nindi akan dapat catatan kriminal. Sudah, jangan
diperpanjang lagi. Biar dia minta maaf saja."
Melihat sikap Sania yang begitu besar
hati dan pengertian, hati Darren sangat tersentuh.
Dia kembali menatap Nindi. "Kamu
dengar, nggak? Padahal, kamu sudah menyakiti Sania, tapi dia masih saja
memikirkanmu, bahkan nggak mau kamu kena masalah hukum. Lihat apa yang sudah
kamu lakukan! Masih pantaskah kamu disebut manusia? Apa selama ini aku
mengajarkan hal begini ke kamu?"
Begitu kata-kata itu terdengar, Nindi
merasa ada seseorang yang menutup telinganya.
Dia mendongak dengan terkejut.
Tatapannya bertemu sepasang mata hangat dan dalam milik Cakra.
Cakra berbisik pelan, mencoba
menenangkannya." Jangan dengarkan, ucapan kotor!"
Hati Nindi sontak bergetar. Perasaan
yang selama ini dia simpan rapat-rapat seketika membuncah, serasa nyaris
menenggelamkannya.
Kegembiraan dalam hatinya tidak lagi
bisa dikendalikan. Semuanya terasa begitu manis, bagai disiram madu.
Padahal, Nindi sudah bertekad
perlahan-lahan mengendalikan perasaannya pada Cakra, tetapi pria itu lagi-lagi
menerobos masuk ke dunia Nindi dengan mudahnya.
"Nindi, telingamu nggak bisa
dengar ucapanku?"
Nindi mendengus kecil begitu kembali
tersadar.
Dia menoleh ke arah Darren dan Sania,
memasang ekspresi santainya. "Telingaku baik-baik saja, tapi sepertinya,
ada orang di sini yang perlu memeriksakan mata."
"Nindi, kalau kamu mau berlutut
dan minta maaf pada Sania sebelum polisi datang, kami nggak akan menuntutmu
lagi."
Darren menatap Nindi tanpa berkutik.
Dia masih ingin memberi adiknya satu kesempatan.
Bagaimanapun juga, Nindi adalah adik
kandung Darren. Sekalipun dinilai tidak berguna, dia tetap enggan melihat Nindi
meninggalkan catatan kriminal.
Namun, saat mendengar ucapan itu,
Nindi hanya merasa begitu geli.
Ini sangat mencerminkan cara keluarga
Lesmana bertindak.
Dulu, mereka selalu berbicara padanya
dengan nada tinggi seperti itu, bahkan tidak berubah sampai sekarang.
Kemudian, Nindi tampak sinis saat
balik bertanya, " Menyuruhku minta maaf lagi ke Sania? Apa aku dilahirkan
ke dunia ini cuma buat minta maaf ke Sania?"
"Aku melakukannya demi
kebaikanmu!"
Nindi mendengus pelan. "Hah,
demi kebaikanku, ya? Yang ada, aku muak!"
Raut wajah Darren terlihat mulai
kesal. "Nindi, aku sedang kasih kamu kesempatan, ya!"
Dengan gaya arogan, Cakra pun
memotong, "Dia nggak butuh kesempatan dari siapa pun!"
"Nindi, kamu berani begini
gara-gara ada pria ini yang mendukungmu, 'kan? Tapi, jangan lupa, ini Yunaria,
bukan kampung kecil tempat asalmu!"
"Selalu saja bicara tentang
kampung kecil. Kak, jangan lupa, kamu juga dari kampung kecil itu. Jangan jadi
orang yang lupa asal-usul!"
Untuk sesaat, Nindi merasa, kakaknya
juga telah berubah cukup banyak.
Yunaria memang tempat penuh gemerlap
hingga mudah membutakan siapa pun.
Cakra agak menunduk untuk menatap
Nindi. "Kalau kamu risih, pergi saja semaumu. Biar aku yang urus masalah
ini."
"Nggak perlu repot-repot. Kalau
memang mereka mau telepon polisi, ya sudah, kita tunggu saja."
Dia menatap Darren dengan sinis.
"Oh, ya. Tadi, kamu bilang kalau sengaja melukai orang bisa dijadikan
catatan kriminal, 'kan?"
No comments: