Bab 652
Nindi dan Yanisha telah merundingkan
hal ini sebelumnya. Mereka meminta Galuh untuk meninggalkan tempat itu lebih
awal agar terhindar dari masalah.
Bagi mereka yang tidak memiliki
kekuasaan atau pengaruh, Nyonya Martha biasanya tidak akan menunjukkan
keramahannya.
"Semalam kamu pulang ke kediaman
keluarga Lesmana, 'kan? Si perempuan licik itu pasti menderita banget,
ya?" tanya Galuh dengan penasaran.
"Ya, kira-kira gitu. Kak Witan
bahkan sampai memukulnya sendiri," jawab Nindi.
Nindi juga dalam suasana hati cukup
baik. "Tapi, aku nggak dengar kabar dari Yanisha. Semoga dia nggak sampai
kena masalah."
"Semalam dia bilang di grup
kalau baik-baik saja. Nyonya Martha sudah dibuat malu habis-habisan. Kalau
sampai ada rumor dia nyiksa keponakannya, kayaknya dia nggak bakal berani
keluar rumah deh," ucap Galuh.
Nindi juga merasa itu memang masuk
akal.
Malamnya, dia tetap kembali ke
kediaman keluarga Lesmana.
Saat memasuki aula, Witan meliriknya
sekilas. " Masih berani pulang ke sini, ya?"
"Vila ini kan punyanya Ayah dan
Ibu, kenapa aku nggak boleh ke sini coba?" tanya Nindi.
"Tapi yang bikin mereka
meninggal 'kan kamu!" balas Witan tak mau kalah.
Ekspresi Nindi seketika berubah
dingin. "Bukannya sekarang sudah terbukti kalau kecelakaan itu nggak
wajar, ya?"
"Jangan salah paham dulu, yang
berubah cuma pelakunya, faktanya 'kan masih sama. Kalau saja hari itu kamu
nggak ngotot keluar buat beli kue, kecelakaan itu juga nggak akan terjadi. Cuma
sepotong kue doang, nggak makan juga nggak bikin mati, 'kan? Kamu masih bisa
gitu tidur nyenyak setelah bikin mereka meninggal?" ujar Witan.
Perasaan Witan berkecamuk, dan setiap
kali dia melihat Nindi, rasanya semakin geram.
Padahal, pertunangannya dapat
diselenggarakan dengan megah, tetapi terpaksa harus dirayakan dengan sederhana,
jika tidak, orang-orang akan menertawakannya.
Usai mendengar ucapannya, Nindi
menyeka pergelangan tangannya dan melangkah mendekati Witan. "Waktu kamu
amputasi dulu, otakmu ikut kepotong, ya?"
"K... kamu mau ngapain?"
tanya Witan dengan gugup.
Nindi melangkah maju dan menendang
kursi roda Witan hingga terbalik.
Witan jatuh tersungkur ke lantai,
kemudian berusaha berdiri dengan satu kaki sembari melompat-lompat. Dengan
ekspresi marah, dia mencoba menyerang Nindi, tetapi Nindi segera melayangkan
tinju hingga membuatnya jatuh tak berdaya dan tidak dapat bangun untuk beberapa
saat
Nindi menekan kursi roda dengan
kakinya dan menatap Witan dengan tajam. "Kamu memang jago ngomong sesuatu
yang bikin aku tersiksa, ya. Tapi ingat, aku juga tahu caranya bikin kamu
menderita."
"Nindi, dasar monster!"
ujar Witan.
"Kita sama kok. Jadi, mending
kamu hati-hati saja, monster ini bisa mangsa manusia, lho," peringat
Nindi.
Sorot mata Nindi tampak begitu
dingin.
Saat itu juga, Darren tiba di rumah
dan mendapati Witan tergeletak di lantai. Dari sana terlihat jelas bahwa
keduanya baru saja bertengkar hebat.
Dengan ekspresi lelah, Darren
berkata, "Bisa nggak sih kalian nggak berantem? Ayo makan dulu!"
Darren menghampiri Witan dan
membantunya berdiri. Setelah bekerja seharian, dia merasa lelah secara fisik
dan mental. Namun, setibanya di rumah, dia justru disambut dengan pertengkaran
adik-adiknya!
Nindi pergi ke ruang makan, dan
tiba-tiba bertanya, "Sania mana?"
Bukannya pagi tadi dia masih
bermesraan dengan Witan, seolah-olah tidak ingin dipisahkan, ya?
Sesaat kemudian, Sania muncul dengan
sepiring hidangan di tangannya, dan seragam pelayan yang masih melekat pada
tubuhnya.
Nindi sedikit mengernyitkan dahinya.
"Oh, lagi main peran?"
Darren segera menegur Sania.
"Cepat ganti baju! Kalau sampai orang luar tahu, mau taruh mana muka
kita?"
"Soalnya Kak Witan suka aku
pakai baju begini," jawab Sania.
Sania mendongakkan kepalanya, dan
terlihat masih ada bekas luka di wajahnya, yang menandakan bahwa dia baru saja
mengalami kekerasan fisik.
Dengan ekspresi terkejut, Nindi
sontak menuntup mulutnya. "Ya ampun, Kak Witan, kok kamu kejam banget sih?
Yang kenal pasti ngira kalian tuh pasangan romantis, tapi yang nggak kenal
bakal ngira kalau kamu punya hobi aneh."
Witan mendengus dingin. "Dia
sudah tidur sama pria lain, masih berharap aku bakal manjain dia kayak tuan
putri? Kalau aku nggak nikahin dia, sudah jadi gelandangan sekarang
pasti!"
Nindi terperangah mendengarnya,
ekspresinya berubah dengan sangat cepat!
Dia lantas menatap Darren dan
berkata, "Katanya keluarga lebih penting dari segalanya? Cuma karena Sania
bikin rencanamu gagal, kamu mau langsung buang dia? Kalau orang lain tahu, apa
nggak malu?"
Darren merasa tercekat hingga kehilangan
selera makan. "Blarin saja, dia sendiri yang bikin masalah."
"Lho, dulu kamu ngomongnya nggak
begitu? Kita ini keluarga, kenapa harus itung-itungan sih?" ujar Nindi.
Darren berkata dengan geram.
"Ini semua gara-gara kamu!"
Nindi berkata dengan tampang tak
bersalah. "Kita ' kan keluarga, kenapa segitunya sih sama aku?"
Dengan marah, Darren membanting
mangkuk makannya ke meja.
No comments: