Bab 653
Melihat wajah Darren yang memerah
karena marah, Nindi merasa sangat senang hingga makan malamnya terasa lebih
lezat.
Darren menatapnya tajam. "Nindi,
sampai kapan sih kamu mau begini terus?"
"Masa begitu saja marah, sih?
Duh, kamu tuh pelit banget! Kamu 'kan Kakak tertua, harusnya lebih bijak, dong!
Jangan dikit-dikit perhitungan. Kita ini keluarga, rugi sedikit juga nggak
masalah kok!" ucap Nindi.
Usai menerima serangan bertubi-tubi
dari Nindi, Darren sangat marah dan segera beranjak dari sana.
Nindi tak kuasa menahan tawanya.
Semua ini terjadi karena Darren yang sebelumnya kerap mengucapkan kata-kata
semacam ini.
"Nindi, kamu tuh punya hak apa
sampai bawa-bawa soal keluarga? Coba lihat yang sudah kamu lakuin, mana sih
yang kamu sebut lakuin demi keluarga?" ucap Darren.
Nindi menatap tajam ke arah Witan.
"Aku cuma asal ngomong, tapi kamu malah anggap serius. Jadi, keluargamu
itu beneran sial banget, ya!"
Dia segera menghabiskan sisa makanannya,
dan bergegas pergi dari sana.
Witan yang baru saja dimarahi merasa
kesal. "Nindi, berhenti! Makan malam ini Sania buat untukku, kok kamu
makan?"
Usai mendengar perkataannya, Nindi
pun berbalik dan menghampirinya.
Witan tampak tersenyum puas.
"Kalau makan masakan orang lain tuh, seenggaknya tahu sopan santun
dong!"
Nindi membalikkan seluruh piring di
atas meja hingga berjatuhan ke lantai. Ya, sekalian saja tidak perlu dimakan!
Dia menepuk tangannya pelan.
"Menurutku, begini lebih sopan."
Piring itu masih dalam keadaan
telungkup di kakinya, membuat Witan merasa lebih geram. Nindi, aku bakal
membunuhmu!"
Nindi bahkan tidak memalingkan
wajahnya, tetapi suasana hatinya menjadi lebih baik.
Dia menyadari bahwa berbicara dengan
keluarga Lesmana saat ini hanya sia-sia, dan akan lebih baik bila langsung
mengambil tindakan nyata.
Witan merasa sangat marah hingga
kehilangan selera makannya. Dia menatap Sania dengan tajam dan berujar,
"Tunggu apa lagi, cepat bantuin aku kembali ke kamar buat mandi!"
Sania memaksakan senyum yang tampak
lebih memilukan daripada tangisan, lalu membawa Witan ke lantai atas.
Setelah kembali ke kamarnya, Nindi
merebahkan diri sejenak. Dia merasa belum cukup kenyang, sehingga memutuskan
untuk turun ke lantai bawah dan menyantap sedikit buah.
Namun, saat Nindi keluar dan melewati
kamar Witan, dia mendengar suara Sania dari dalam sana.
Kali ini, suaranya terdengar seolah
tengah menangis.
Witan berkata dengan nada tajam.
"Sania, kamu lihat sendiri, 'kan, aku tuh baik banget sama kamu. Kak
Darren mau ngusir kamu dari rumah, tapi aku yang mohon-mohon supaya kamu tetap
boleh tinggal di sini dan hidup dengan nyaman."
"Sania, ingat ya, kamu tuh cuma
anak sopir. Waktu kecil dulu, kamu miskin banget sampai nggak punya baju
bersih. Kamu bisa hidup enak begini berkat keluarga Lesmana. Nanti setelah jadi
istriku, kamu harus nurut, layani aku, dan melahirkan banyak anak-anak
kita," ucap Witan.
"Mulai sekarang, aku yang pegang
ponselmu. Kalau sampai kamu ketahuan punya cowok lain, aku patahin
kakimu," ujar Witan dengan nada mengancam.
Suara Witan terdengar kejam dan
mengerikan, sementara Sania menjawab dengan nada bergetar seolah hendak
menangis.
Usai mendengar itu, Nindi kembali ke
kamarnya dan menghubungi tim humas TG Grup. "Awasi terus gerak gerik Sania
dan Dealer 4S, nggak lama lagi mereka pasti bergerak."
Dia sempat menduga akan memakan
sedikit waktu, tetapi ternyata Witan yang selalu menempel padanya terlihat
berhenti dan mulai memperlakukan Sania dengan kasar.
Kini, Darren tidak lagi membantu
Sania, bahkan diperlakukan buruk oleh Witan. Dapat dikatakan, dia benar-benar
tidak lagi memiliki siapa pun di keluarga Lesmana.
Sania pasti akan pergi menemui
ayahnya yang masih hidup.
Tepat di tengah malam.
Sania meninggalkan vila keluarga
Lesmana secara diam-diam, dengan bekas luka yang masih terlihat jelas di
wajahnya. Dengan tatapan penuh kebencian, dia menoleh sekali lagi ke arah vila
itu.
Suatu saat nanti, dia pasti akan
membuat keluarga Lesmana bangkrut, membuat semua orang di sana menyesal karena
telah berpihak kepada Nindi, lalu mengabaikannya begitu saja!
Sania segera menaiki taksi dan menuju
Dealer 4S. Dia sudah tidak mampu menahan semuanya lagi.
Bila terus bertahan di keluarga itu,
dia akan mati.
Setelah Sania pergi, Nindi segera
mengikutinya. Dia telah menduga akan ada sesuatu yang terjadi malam ini, tetapi
siapa sangka orang yang dianggap ' Perempuan licik' itu segera bergegas menuju
dealer 4S. Tampaknya dia benar-benar telah mencapai batas kesabarannya.
Usai bertemu dengan Mia, mereka
berdua menyaksikan Sania turun dari taksi di depan dealer 4S.
Tak berselang lama, seorang pria
paruh baya muncul secara diam-diam, matanya terlihat mengawasi sekitar dengan
waspada.
Dia inenatap Sania dan berkata,
"Kenapa tiba-tiba ke sini? 'Kan sudah kubilang, kalau ada apa-apa telepon
saja!"
"Aku beneran sudah nggak
sanggup! Lihat wajahku, dipukuli sampai kayak begini. Di sana, aku nggak ada
bedanya sama pembantu!" ujar Sania.
Sania enggan menjalani kehidupan
seperti ini.
"Aku sudah nyuruh kamu buat
sabar sebentar lagi. ' kan?" ucap pria itu.
No comments: