Bab 659
Cakra nyaris tidak mampu melihat apa
pun di sekitarnya, karena jarak pandangnya sangat terbatas.
Cakra lantas berteriak keras.
"Nindi, kamu di mana?
Dia mencari ke segala penjuru dengan
perasaan gelisah, tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa suatu hari dia
akan merasakan waktu berjalan begitu lambat.
'Nindi, kamu di mana?' ucapnya dalam
hati.
"Aku di sini," jawab Nindi.
Terdengar suara lirih, Cakra
mengikuti sumber suara itu dan mendapati Nindi bersembunyi di balik vas bunga
di sudut ruangan. Di dekatnya, terdapat sebuah jendela.
Cakra melihat Nindi menggigil
kedinginan sembari mendekap sampel di pelukannya. Tanpa berpikir panjang, dia
langsung melepas jaketnya dan memakaikannya kepada Nindi. "Kamu rela mati
cuma buat sampel ini?"
Suara pria itu terdengar amat marah.
Saat hendak berbicara, tiba-tiba
Nindi terbatuk dengan keras.
Asap pekat di dalam ruangan terasa
sangat menyengat.
"Jangan ngomong dulu, aku akan
bawa kamu keluar dari sini," ucap Cakra.
Cakra mendekap Nindi dalam pelukannya
dan berusaha untuk menerobos keluar, tetapi kobaran api justru membesar dan
menghadang jalan mereka.
Nindi menyaksikan kobaran api,
hatinya pun dirundung kecemasan.
Apa Cakra sudah tidak peduli dengan
nyawanya? Dia benar-benar nekat menerobos masuk sendirian untuk
menyelamatkannya!
Saat itu, petugas pemadam kebakaran
menerobos masuk dan berhasil memadamkan api dengan sigap.
Kemudian, Cakra membawa Nindi keluar
dan dengan khawatir memeriksa kondisi wanita itu.
Namun, Nindi justru sibuk memeriksa
sampel yang berada dalam dekapannya, memastikan apakah ada kerusakan atau
tidak.
Setelah memastikan sampel itu utuh
tanpa kerusakan, dia akhirnya menghela napas lega.
Dia menengadah, wajahnya terlihat
begitu antusias, kemudian mengalihkan tatapannya kepada Cakra. " Kamu
lihat? Sampelnya aman! Aku berhasil menyelamatkannya!"
Cakra melihat sorot kebahagiaan di
matanya. Awalnya, dia menahan amarah di hatinya, tetapi setelah melihat wanita
itu tersenyum, sebagian amarahnya seakan sirna begitu saja.
Dasar bodoh.
Apa sampel itu lebih berharga dari
nyawanya sendiri?
Cakra memasang wajah serius.
"Sudah jadi begini, kamu masih sibuk memikirkan benda itu? Kamu mau mati,
ya?"
Setelah dimarahi, Nindi akhirnya
tersadar. "Aku nggak nyangka apinya bakal sebesar itu. Aku cuma mikir
sampel yang harus dikumpulkan minggu depan. Kalau sampai nggak bisa ditunjukkan
di pertemuan, gimana nasib perusahaan?"
Dengan perjuangan yang sulit, akhirnya
dia berhasil mengembangkan hasil penelitian di kehidupan kali ini. Dia tidak
boleh membiarkan semuanya sia-sia begitu saja.
Cakra tak kuasa menahan diri dan
mengetuk dahi Nindi dengan cukup keras. "Apa perusahaan lebih penting dari
nyawamu, hah?"
"Sampel ini, hasil kerja keras
kita bersama. Aku nggak bisa biarin benda ini rusak," ucap Nindi.
Usai Nindi selesai berbicara, dia
menyadari adanya senyuman di mata pria itu. Dia segera memalingkan wajahnya.
"M... maksudnya, kita sudah mengorbankan uang dan tenaga, jadi nggak boleh
ada kesalahan sedikit pun!"
Cakra tidak menduga bahwa ambisi
kariernya begitu besar.
Dia baru saja hampir mengalami
serangan jantung akibat ketakutan.
Setelah memastikan Nindi dalam
keadaan baik-baik saja, barulah dia menghela napas lega. "Omong-omong,
kenapa ruang pengujian bisa tiba-tiba terbakar?"
Padahal, ruangan itu seharusnya tidak
ada benda yang mudah terbakar.
Nindi mengernyitkan dahinya.
"Ada yang rusak mesinnya, terjadi korsleting dan akhirnya terbakar."
Saat itu, dia berdiri persis di depan
mesin dan menyaksikan semuanya dengan jelas.
Namun, mesin itu sekarang telah
terbakar habis, tidak diketahui dengan pasti penyebab dari kebakaran ini.
Saat itu, Zovan bergegas datang.
"Masalah perusahaan biar aku yang tangani. Si lemon, pergilah ke rumah
sakit buat diperiksa. Kamu banyak menghirup gas berbahaya, jadi perlu dirawat.
Nindi segera menyerahkan sampel itu
kepada Zovan. "Kali ini jaga baik-baik, ya."
Dari awal, dia merasa bahwa kebakaran
ini bukan sekadar akibat dari korsleting listrik biasa.
Setelah Nindi mulai tenang, dia
menyadari bahwa tenggorokan dan hidungnya terasa tidak nyaman. Meskipun
sebelumnya dia telah menutupnya, tetapi dia sudah banyak menghirup gas
berbahaya.
Cakra melihat Nindi tampak kesakitan,
lalu segera menggenggam tangannya. "Ayo kita ke rumah sakit.
Nindi baru berjalan beberapa langkah,
ketua tim yang berada di samping berseru dengan panik. " Nindi, kakimu
berdarah!"
Nindi baru berjalan beberapa langkah,
ketua tim yang berada di samping berseru dengan panik. " Nindi, kakimu
berdarah!"
Nindi menundukkan kepala dan melihat
ke bawah, ternyata benar, betisnya mengalami luka bakar dan berdasar entah
sejak kapan. Dia sendiri tidak menyadarinya.
Namun, baru sekarang dia merasakan
sakitnya.
Cakra melihat darah pada betis Nindi,
tanpa ragu segera menggendongnya dalam pelukan dan bergegas menuju lift.
Nindi merasa semua rekan kerja yang
berada di sekitarnya menatap dengan canggung. Dengan suara lirih, dia berkata
kepada Cakra. "Turunkan aku, aku bisa jalan sendiri."
"Ini cuma luka ringan kok, bukan
patah kaki," ucap Nindi.
No comments: