Bab 658
Akan tetapi, itu hanyalah perasaan
sepihak dari putrinya.
Nyonya Belinda seketika merasa
sedikit bahagia. Jika memang benar adanya, maka putrinya masih memiliki
peluang!
Nyonya Belinda berpikir sejenak lalu
berkata, "Tapi, jangan terlalu nyalahin diri sendiri. Setelah orang tuanya
meninggal, keluarga Lesmana nyaris bangkrut. Kalau bukan karena kamu diam-diam
membantu mereka, perusahaan itu pasti hancur. Toh, akhirnya dia bisa menjadi
menantu di keluarga Ciptadi. Mereka nggak selemah yang kamu kira."
"Iya, memang bisa dibilang
begitu, tapi akhirnya ini tetap tanggung jawab kita," jawab Bu Riska.
Namun, dalam benak Nyonya Belinda
berpikir sebaliknya. Dia hanya menyalahkan keluarga itu karena bernasib buruk,
untuk apa mereka keluar rumah hingga larut malam?
Nyonya Belinda sedikit kesal.
"Jadi, sekarang kamu belain Nindi dan nggak mau membantu Serena? Kita
sudah sahabatan lama, loh! Ingat waktu suamimu hampir menceraikanmu gara-gara
selingkuh ? Aku yang bantu pertahanin rumah tanggamu! Masa sekarang kamu nggak
bisa bantu aku sih?"
"Kamu mau aku bantu apa?"
tanya Bu Riska.
"Nindi mau bersama Cakra, 'kan?
Suruh saja Cakra buat bujuk día," ujar Nyonya Belinda.
Nyonya Belinda telah menyiapkan
rencana yang matang di dalam benaknya. Nantinya, saat Nindi dan Cakra bertikai
hebat, barulah dia mengungkapkan kepada Nindi bahwa orang yang duduk di bangku
belakang mobil saat itu adalah Cakra.
Dengan begitu, hubungan Nindi dan
Cakra akan berakhir.
Ini sungguh terasa seperti takdir
tengah berpihak kepadanya!
Bu Riska sempat merasa bimbang.
Menurutnya, hal ini mungkin tidak akan berhasil, sehingga dia memilih untuk
diam.
Namun, sahabatnya terus menangis dan
memohon bantuannya, membuatnya merasa terpojokkan.
Usai melangkah masuk ke dalam
perusahaan, Nindi tiba-tiba bersin.
Dia teringat akan ucapan Bu Riska
sebelumnya dan tanpa disadari menghela napas panjang. Meskipun Bu Riska cukup
baik kepadanya, tetapi semua itu bersyarat.
Namun, terkait kasus Serena, dia
enggan mencabut tuntutan itu.
Nindi menuju ruang pengujian bersama
rekan kerjanya, kemudian memproses data dan meneliti potensi masalah yang
mungkin timbul.
Dia mengamati prostesis Al yang
berada di hadapannya dan dengan sengaja mengatur panjangnya agar sesuai untuk
digunakan oleh Witan.
Sebab, dia yakin Darren pun akan
mengambil langkah serupa.
Terkadang, penilaian baik atau buruk
baru dapat dilakukan setelah adanya perbandingan.
Di kehidupan sebelumnya, dia berusaha
keras merancang kaki prostetik untuk Witan. Dan akhirnya, Witan dapat berdiri
dan berjalan kembali. Selama tidak berlari, perbedaannya hampir tidak terlihat
jelas.
Namun, akhirnya Witan yang terpikat
oleh Sania, seketika menendangnya menggunakan kaki prostetik itu.
Nindi mengusap perutnya, rasa sakit
itu masih terpatri kuat dalam ingatannya.
Namun, kali ini, dia ingin melihat
apa yang akan dikembangkan Sania untuk kaki palsu yang sesuai untuk Witan.
Nindi berdiri termenung di depan
mesin, tiba-tiba suara alarm yang tajam terdengar di telinganya.
Dia melihat perangkat itu menyala
merah dan mengeluarkan asap hitam pekat.
Nindi bergegas menuju tempat itu,
berupaya menyelamatkan sampel yang baru saja selesai dibuat. Sampel itu tidak
boleh rusak, sebab, pada pertemuan pertukaran produk minggu depan mereka tidak
memiliki apa pun untuk dipamerkan. Hal ini akan menjadi permasalahan besar bagi
Perusahaan Patera Akasia.
Dia berusaha sekuat tenaga untuk
mendapatkan sampel itu.
Sementara itu, situasi di perusahaan
benar-benar kacau.
Cakra baru saja menerima kabar, dia
segera keluar dari ruang pengujian dengan ekspresi tegang. " Nindi di
mana?"
"Sepertinya masih ada di
dalam!"
"Saya tadi lihat dia lari buat
ambil sampelnya!"
Ekspresi Cakra berubah muram, hatinya
mencelos.
Dia tidak boleh celaka.
Sama sekali tidak boleh!
Cakra melepaskan jaketnya, menutup
mulut dan hidungnya, kemudian segera menerobos masuk ke dalam ruang pengujian
yang dipenuhi asap tebal.
No comments: