Bab 665
Begitu menatap orang yang berdiri di
depan pintu, Nindi merasa seolah-olah takdir sedang mempermainkannya.
Sesuai dugaannya sejak awal, keluarga
super kaya pasti tidak akan sesederhana itu.
Nindi turun dari ranjang dengan
tenang. Seorang kepala pelayan yang penuh perhatian mendorong kursi roda ke
arahnya.
"Terima kasih, nggak
perlu."
Nindi mengikuti kepala pelayan itu
menuju lift, lalu naik satu lantai ke atas. Tampak ada beberapa pengawal yang
berjaga di sana.
Di luar, malam tampak hitam pekat.
Saat itu, pikirannya benar-benar kosong.
Ketika tiba di depan ruang ICU, Nindi
melihat seorang wanita tua yang terbaring di ranjang. Rambutnya sudah memutih.
Nindi mengenakan pakaian steril, lalu
melangkah masuk.
Wanita tua itu membuka matanya dan
mengulurkan tangan ke arahnya.
Nindi ragu sejenak. Namun, saat dia
berjalan mendekat ke sisi ranjang, justru wanita tua itulah yang lebih dulu
menggenggam tangannya.
Melihat wanita tua itu hendak
mengatakan sesuatu. Nindi pun agak mencondongkan tubuhnya, "Anda ingin
mengatakan apa?"
"Benar-benar gadis yang
cantik."
Nindi sedikit terkejut mendengar
pujian itu, " Terima kasih atas pujiannya," ucap Nindi lirih.
"Aku sudah menyiapkan hadiah
buat kamu."
Setelah mengatakannya, wanita itu
melirik kepala pelayan yang berdiri di dekat pintu.
Pelayan itu segera menyerahkan sebuah
dokumen kepada Nindi. Di dalamnya tercantum daftar panjang aset, termasuk
properti, saham, uang tunai, bahkan kepemilikan saham di Grup Julian.
Ketika melihat jumlah harta sebanyak
itu, Nindi merasa sulit mempercayainya. Namun, pada saat yang sama, dia juga
mulai memahami maksud wanita tua itu.
Mengapa dia ingin menemuinya secara
pribadi di malam hari?
Nindi menoleh dan berkata pelan
kepada wanita tua itu, "Kalau Anda ingin saya berpisah dari Cakra, Anda
nggak perlu kasih semua ini. Langsung katakan saja."
"Kamu memang gadis yang
bijaksana. Tapi waktuku nggak banyak lagi... aku nggak bisa melihat kalian
uhuk, uhuk."
Wanita tua itu mulai terbatuk hebat.
Nindi segera maju dan menepuk dadanya
dengan lembut, "Bicara pelan-pelan saja, saya akan mendengarkan dengan
baik."
"Nak, kamu anak yang baik, tapi
kamu dan Cakra nggak cocok."
Mata wanita tua itu memerah. Betapa
dia berharap Nindi bukanlah gadis yang terlibat dalam kecelakaan bertahun-tahun
lalu. Jika bukan dia, hatinya pasti akan jauh lebih tenang.
Cucunya telah hidup begitu disiplin
dan bekerja keras selama bertahun-tahun. Apa salahnya jika dia ingin menikahi
gadis yang disukainya?
Nindi menggenggam tangan wanita tua
itu erat-erat, "Tapi saya mencintainya."
Pada saat seperti ini, Nindi tak bisa
berbohong.
Suara wanita tua itu terdengar lemah,
"Waktuku nggak banyak lagi, aku cuma punya satu permintaan: jangan bersama
dengannya. Semua hartaku ... bisa aku kasih padamu."
"Nenek Andrea, saya nggak bisa
janji pada Nenek."
Nindi menatap wanita tua di
hadapannya, "Kalau memang mau memisahkan kami, cepatlah sembuh. Anda tahu
betul betapa keras kepalanya Cakra. Mungkin cuma kata-kata Anda yang bisa dia
dengarkan. Jadi, Anda harus bertahan."
Begitu mendengar kata-kata itu, air
mata Andrea seketika mengalir deras dan tersedu-sedu, "Tuhan ... kenapa
harus sekejam ini padaku?"
Mengapa Dia harus melakukan hal ini
pada cucunya?
Mengapa?
Wanita tua itu menjadi sangat
emosional. Alhasil, suara peralatan medis di sekitarnya mulai berbunyi nyaring.
Kepala pelayan panik dan segera
berlari keluar ruangan, "Dokter! Dokter!"
Nindi menggenggam tangan wanita tua
itu erat-erat, "Anda harus sembuh. Kalau nggak, saya nggak akan pernah
meninggalkan Cakra. Saya akan terus mengganggunya seumur hidup!"
Dia tahu betapa Cakra sangat
menyayangi wanita tua ini.
Kehilangan orang yang disayangi
pastilah menyakitkan.
Nindi tidak ingin Cakra merasakan hal
itu. Setidaknya, wanita tua ini harus bertahan dua tahun lagi.
Andrea menatap Nindi dengan sorot
mata yang begitu lembut. Benar saja, gadis yang dipilih cucunya ini memang
berbeda.
Meskipun dia sudah mengatakan hal-hal
yang menyakitkan, gadis ini tetap ingin dia bertahan hidup.
No comments: