Bab 664
Nindi menatapnya, "Tapi kamu
menyembunyikan identitasmu dari semua orang, itu pasti semacam kekhawatiran
orang kaya, 'kan? Untung aku nggak sekaya kamu, jadi nggak perlu selalu waspada
sama orang lain."
Tatapan Cakra semakin dalam. Dia
menyentuh kening Nindi, barulah perasaannya tenang setelah memastikan suhu
tubuhnya sudah kembali normal.
Pandangan Cakra beralih ke kotak
makan di meja, " Teman-temanmu tadi sempat datang?"
"Iya, dua teman sekamarku datang
dan bawakan makan malam."
"Itu udah dingin, dan kelihatan
agak berminyak. Nggak cocok buat kondisi kamu sekarang. Aku pesankan yang baru
saja."
Cakra membuka kotak makan itu
sebentar, lalu berkomentar dengan agak kesal, sebelum akhirnya mengambilnya.
Tak lama kemudian, dia kembali dengan
makanan dari Restoran Pyrus, lalu meletakkannya di depan Nindi, "Coba
lihat, kamu suka makan yang mana?"
Nindi mengambil sendok dan menyeruput
bubur. Makanan yang ringan memang lebih cocok untuk perutnya sekarang.
Dia mendongak dan menatap pria di
hadapannya, " Kamu sendiri sudah makan?"
Baru kemudian Cakra mengambil sendok
dan mangkuk, lalu tanpa ragu melanjutkan makan dari sisa makanan Nindi.
Nindi tertegun, kemudian berkata
lirih, "Itu kan sudah kumakan tadi."
"Aku tahu."
Cakra bergegas memakannya. Dalam
beberapa suapan saja, makanannya sudah habis.
Setelah meletakkan sendoknya, dia
berkata, "
Malam ini aku akan minta tim humas TG
buat menemanimu. Kalau ada apa-apa, langsung bilang saja ke mereka."
"Nggak perlu, aku bisa
sendiri."
"Mereka memang ditugaskan buat
bantu kamu. Kalau kamu nggak butuh mereka, itu berarti mereka akan kehilangan
pekerjaan."
Nindi sedikit terkejut, "Tapi
bukannya mereka bagian dari tim humas TG?"
Mengapa bisa sampai kehilangan
pekerjaan?
"Saat pertama kali datang ke
rumah sakit dan membuat masalah denganmu, mereka sebenarnya sudah dipecat.
Satu-satunya alasan mereka masih di TG karena ditugaskan buat menemanimu."
Cakra berkata dengan tenang, seolah
yang dia katakan adalah sesuatu yang sangat biasa.
Nindi mengeryit, aku bisa
mempekerjakan mereka sendiri."
Dia tahu bahwa keluarga kaya biasanya
memiliki tim asisten pribadi yang bertugas mengurus semua kebutuhan, mulai dari
pakaian, makanan, hingga transportasi. Bahkan ada tim khusus yang menangani
urusan humas.
Namun, dia dan Cakra bukanlah
pasangan suami istri. Jadi, mengapa dia harus menerima asisten pribadi yang
Cakra siapkan untuknya?
Rasanya agak aneh.
Cakra merapikan kotak makanan itu,
"Boleh saja."
Nindi menatap punggungnya,
"Ngomong-ngomong, bagaimana konsidi nenekmu?"
"Kamu khawatir, 'kan?"
Cakra menoleh sedikit, "Besok
aku mau ajak kamu ketemu nenek. Tenang saja, aku sudah cerita tentang kamu
padanya sejak lama."
"Apa? Kamu pernah cerita tentang
aku sebelumnya?
11
Nindi merasakan jantungnya berdegup
lebih kencang, "Memangnya kamu ngomong apa?"
"Bukan apa-apa, cuma bilang ke
nenek kalau aku sudah punya gadis yang kusukai."
Sepatah kalimat sederhananya seketika
meruntuhkan pertahanan hati Nindi dalam sekejap.
"Lemon Kecil, sekalipun aku
menyembunyikan identitasku, perasaanku padamu sangat tulus."
Hati Nindi bergetar, tetapi wajahnya
tetap tenang, seolah tak merasakan apa pun. Padahal, hatinya telah bergejolak
hebat.
Dulu, dia memang pernah curiga bahwa
Cakra menyembunyikan identitasnya sebagai bentuk kewaspadaan padanya.
Saat tinggal di keluarga Lesmana, dia
juga pernah melihat bagaimana orang-orang kaya menjalin hubungan dengan gadis
dari keluarga biasa.
Meskipun keluarga Lesmana juga
berkecukupan. Namun, dibandingkan keluarga Julian, mereka tak lebih dari
keluarga biasa saja.
Keputusan Cakra untuk merahasiakan
identitasnya memang membuatnya marah, bahkan merasa tidak dihargai.
Padahal sebenarnya, yang paling
membuatnya marah adalah perasaannya sendiri.
Keluarga Julian dan keluarga Lesmana
memiliki perbedaan status yang sangat besar. Itulah yang membuat Nindi tak
percaya diri.
"Selamat malam, istirahatlah
lebih awal."
Setelah Cakra pergi, dia menutup
pintu kamar rawatnya dengan tenang.
Nindi berbaring sendirian di ranjang
rumah sakit. Hatinya mendadak kacau. Kata-kata Cakra barusan membuat
ketenangannya seketika goyah.
Apa sebenarnya yang ingin disampaikan
neneknya?
Nindi membalikkan tubuh ke sana
kemari, tetapi tetap tidak bisa tidur. Tak lama kemudian, terdengar ketukan di
pintu kamar rawatnya. Alhasil, dia langsung terduduk, "Siapa?"
Jangan-jangan, itu tim humas dari TG?
Pintu kamar pun terbuka. Seorang pria
dengan pakaian ala kepala pelayan berdiri di luar, "Nona Nindi, Nona
Andrea ingin bertemu Anda secara pribadi sekarang."
No comments: