Bab 693
Nindi pun tidak menduga bahwa
kejadian ini begitu kebetulan. Tampaknya takdir tengah turun tangan.
Witan menunjuk hidung Nindi sambil
membentaknya. "Kamu sengaja, 'kan?!"
Nindi memasang wajah polos. "Aku
sih nggak percaya. Ini tuh karma buat orang jahat, bakal kena batunya sendiri."
Sania menutupi wajahnya, kemudian
menyadari bahwa dagunya mengalami dislokasi.
Dia pun menjerit histeris.
"Nindi, kamu sudah merusak wajahku!"
Nindi menatap wanita itu dengan
sinis. "Kamu bilang nggak pernah operasi plastik, 'kan? Terus, implan di
dagumu itu apa? Bawaan dari lahir, gitu?"
Sania segera menangis karena marah.
"Kak Darren, lihat tuh Nindi! Kalau wajahku sampai rusak, gimana aku mau
tampil di iklan dan wawancara nanti?"
"Tenang saja, besok, begitu
media resmi merilis pernyataan tentang plagiarisme kalian, reputasi kalian
bakal hancur. Kalian nggak perlu lagi buat syuting iklan, 'kan?" ujar
Nindi.
Darren mengusap pelipisnya dan
berkata dengan nada geram. "Nyonya Martha sudah bikin janji sama keluarga
Julian. Kamu pikir Tuan Muda dari komunitas konglomerat itu bakal memusuhi
keluarga Ciptadi cuma demi kamu?"
"Kalau kamu beneran nggak
peduli, buat apa telepon dan kirim pesan padaku, bahkan suruh aku pulang cuma
buat membahasnya?" tanya Nindi.
"Nindi, dunia keluarga kaya itu
rumit. Yang mereka pedulikan cuma keuntungan. Sekalipun Tuan Muda itu jatuh
cinta padamu, dia nggak bakal berani menentang keluarganya demi kamu,"
jawab Darren.
Nindi tersenyum tipis. "Jangan
coba-coba menipuku pakai omong kosong kayak gini.
Perusahaan itu didirikan Cakra dan
Zovan sebagai mitra bisnis, dan aku berinvestasi dengan teknologi. Nyonya
Martha bermain curang. Menurutmu, keluarga Julian bakal lebih mementingkan
keuntungan atau hubungannya dengan keluarga Ciptadi?"
Darren tampak termenung sesaat.
Akhirnya sikapnya sedikit melunak.
"Hmm, kalau menurutmu gimana?"
"Lakukan seperti biasa saja,
soal menang atau kalah, 'kan Kak Darren sendiri yang ngajarin aku dulu,"
ucap Nindi.
Nindi sungguh enggan mengalah.
Tangisan Sania dari arah samping kian
terdengar keras. "Kak Darren, wajahku rasanya sakit banget!"
Witan tertatih-tatih menghampiri dan
berkata, " Kak Darren, buruan bawa Sania ke rumah sakit!"
Darren segera menyiapkan mobil dan
membawa Sania ke rumah sakit. Witan, yang duduk di kursi roda, juga turut
serta.
Darren menatap Nindi dengan sorot
menyalahkan." Nindi, aku tahu kamu jago berkelahi. Tapi, nggak perlu
sekasar itu juga, 'kan?”
"Kamu buta, ya? Witan yang mulai
mukul duluan! Kalian semua juga nggak pernah anggap aku manusia, 'kan?"
ujar Nindi.
Mata Nindi sarat akan sindiran.
Darren pun terbungkam. "Kakakmu
Witan memang sering bertindak konyol. Dia suka banget sama Sania, aku saja
nggak bisa menasihatinya."
"Tapi, bukannya kamu sendiri
setuju buat bikin drama cinta palsu mereka, ya? Jangan sok suci, kamu 'kan cuma
peduli sama keuntungan," ucap Nindi.
Ucapan Nindi penuh dengan sindiran
tajam, seketika menyingkap jati diri Darren yang sesungguhnya.
Keduanya tetap membisu, menciptakan
suasana sunyi senyap di ruang makan.
Saat sedang bersantap, Darren
menerima panggilan telepon dari Nyonya Martha.
Dia melirik sekilas ke arah
ponselnya, kemudian berbalik dan keluar untuk menjawab panggilan.
Nindi menatap Darren sekejap. Secara
kebetulan, dia juga menerima sebuah pesan dari Cakra.
Isinya, "Semua berjalan sesuai
rencana."
Nindi membalas dengan isyarat tangan
"OK". Saat itu, dia melihat Darren masuk, tetapi ekspresinya tampak
muram.
Nindi bersikap seolah-olah tidak
memperhatikannya dan tetap fokus menikmati makanannya.
Saat dia meletakkan alat makan dan
bersiap untuk pergi, Darren menahannya. "Nindi, langsung saja, apa yang
kamu mau?"
Nindi menengadah dan berkata,
"Aku cuma mau melihat kalian dan reputasi kalian hancur total."
Selesai berbicara, Nindi segera naik
ke lantai atas tanpa menghiraukan perasaan Darren.
Setidaknya, dia tidak boleh serta
merta menyetujui, sebab dia mengetahui bahwa Darren juga tidak akan menyerah
dengan mudah.
Dia ingin menguji seberapa besar
usaha Darren dalam membuktikan ketulusannya.
Sekilas pukul sebelas malam lewat,
terdengar suara mobil kembali ke rumah.
Nindi melirik sekilas ke arah cahaya
lampu dan menduga bahwa kemungkinan besar itu adalah Sania dan Witan. Namun,
dia tetap berada di kamarnya tanpa beranjak.
Sementara itu, Darren bergegas menuju
lantai bawah dengan sebuah dokumen di tangannya.
No comments: