Bab 702
Serena merendahkan suaranya,
"Aku kasih tahu, ya. Kakakku juga kerja sama dengan keluarga Julian buat
proyek ini. Nanti dia bakal sering kerja bersama Cakra. Kamu ini cuma seperti
orang yang nggak ngerti apa-apa, mana bisa dibandingkan dengan kakakku yang
kompeten, bahkan bisa bantu pria dalam urusan kerja segala?"
Nindi tak menyangka bahwa keluarga
Morris dan keluarga Julian juga terlibat dalam kerja sama proyek.
Dia pun teringat sikap Riska terhadap
Sofia, yang membuatnya mendadak sedih.
Nindi berdiri, tak menggubris Serena
sedikit pun.
Pada saat itu, terdengar suara riuh
dari arah pintu.
Sekelompok pebisnis yang mengenakan
jas formal memasuki ruangan. Rektor dan para petinggi kampus pun memimpin jalan
di depan.
Pandangan Nindi langsung tertuju pada
Cakra yang berjalan di tengah rombongan, mengenakan jas biru tua. Tubuhnya
tegap dan tinggi, saat berdiri di antara para pria paruh baya, penampilannya
tampak sangat mencolok.
Begitu Cakra muncul, hampir semua
gadis di ruangan spontan menoleh ke arahnya.
Pada usia ini, siapa yang bisa
menolak pria tampan dengan aura semewah itu?
Semua orang pun mulai membicarakan
siapa sebenarnya pria menawan itu.
Saat itu juga, seorang wanita cantik
berpenampilan profesional muncul dengan setelan jas putih. Dia langsung
melangkah ke sisi Cakra dengan senyum cantiknya yang menawan.
Nindi memandangi Sofia yang berdiri
di samping Cakra. Sosok pria tampan dan wanita cantik, benar-benar serasi
dipandang.
Serena berkata dengan bangga, "Nindi,
lihat betapa serasinya kakakku dengan Pak Cakra deh, kakakku sama Tuan Julian
itu cocok banget, kan? Kamu tuh cuma gadis kampung, mana pantas bersaing sama
kakakku soal pria?"
Seusai mengatakannya, Serena langsung
menghampiri Sofia, "Kak, akhirnya kamu datang juga. Ada yang jelas jelas
nggak layak hadir, tapi malah ambil tempat dudukmu dengan nggak tahu malu.
Entah maksudnya apa."
Sofia mendongak menatap Nindi,
kemudian justru tersenyum makin ramah, "Ternyata ada Nona Nindi. Biar aku
minta seseorang buat tambahkan tempat duduk untukmu."
"Nggak perlu."
Nindi berjalan ke samping, "Nona
Sofia terlalu baik. Mana mungkin aku merepotkan tamu undangan buat carikan
tempat duduk. Silakan duduk saja."
Sofia menggigit bibirnya pelan, lalu
segera berbalik ke arah Cakra sambil tersenyum lembut, "Cakra, ayo duduk,
acara pertukarannya akan segera dimulai."
Namun, Cakra justru melangkah lurus
ke arah Nindi. Dia melirik lembar pidato di tangan gadis itu, " Sudah
siap?”
"Hampir, silakan duduk saja, Pak
Cakra."
Nindi menatapnya dalam dalam, lalu
tersenyum sopan penuh makna.
Cakra menatap senyumannya yang
tenang, dengan hati yang mendingin.
Sofia buru-buru melangkah mendekat
sambil tersenyum manis., "Cakra, kita ..."
Namun, Cakra sama sekali tidak
menggubris Sofia. Dia langsung berjalan ke baris depan dan duduk.
Sofia sendiri mendapat tempat di
baris kedua. Masih berjarak beberapa langkah dari barisan pertama. Awalnya, dia
membayangkan bisa ikut Cakra ke depan, lalu duduk di sampingnya begitu saja.
Lagi pula, semua orang di sini juga
bukan orang bodoh. Melihat kedekatannya dengan Cakra, siapa pula yang akan
berani merebut tempat duduknya.
Sayangnya, pupus sudah harapan itu
sekarang.
Nindi menoleh memandang Sofia,
"Nona Sofia, silakan duduk."
Serena langsung naik pitam,
"Nindi! Sebenarnya maksudmu ini apa sih? Kamu saja nggak punya tempat
duduk, kenapa sok berani ngatur-ngatur kakakku?"
"Siapa bilang aku nggak punya
tempat duduk?"
Serena mendengus sinis,
"Tempatmu itu mestinya di pintu masuk. Cocoknya jadi penerima tamu
aja."
Sofia berlagak dermawan sambil
tersenyum sopan, " Bagaimana kalau duduk denganku saja?”
Nindi langsung merasa ada yang
janggal saat melihat senyuman manis Sofia.
Nindi pun tersenyum tipis,
"Nggak perlu."
Tanpa menunggu balasan, Nindi
berbalik dan melangkah ke arah Cakra. Dia keudian duduk di kursi kosong tepat
di sebelah pria itu.
Senyuman di wajah Sofia langsung
meredup ketika melihat adegan itu dengan mata kepalanya sendiri.
Apa Nindi sengaja menantangnya di
depan umum?
Apa wanita jalang ini tak tahu jika
keluarga Cakra -lah yang telah membunuh orang tuanya?
No comments: