BAB 41
Setelah menyingkap satu dari daun
pintu besar yang terbagi menjadi dua bagian tersebut, Jackie membalikkan badan.
"Selamat datang di rumah
kami," katanya memandang ke arah Aldo, Cresia dan Sukiman. "Ayah,
Ibu, Sherina, mari kita masuk!"
Aldo berdiri dengan kaku dan hanya
bisa memandang bagaimana Hendra, Anita dan Sherina melangkah menuju pintu rumah
sembari membawa barang-barang mereka yang banyak.
Begitu masuk, ayah, ibu dan adik
Jackie tersebut tampak terpukau dengan penampilan kediaman baru mereka.
Semuanya kelihatan serba mewah. Mulai dari mebel-mebel, desain interior bahkan
bagian temboknya yang polos seolah berkilau.
Kemewahan dan keindahan rumah
tersebut merupakan perpaduan sempurna antara seni dengan fungsinya. Walau
kemegahan terpancar dari tiap sudutnya, rumah itu terasa hangat.
"Ap-apakah... aku
bermimpi?" celetuk Sherina penuh keterkaguman.
Masih kikuk dan terpesona, Anita
mendekati putranya dan berkata, "Kita akan benar-benar tinggal di sini,
Jackie?"
Serta-merta, Jackie tersenyum. la
merangkul pundak sang bunda dan menjawab, "Tentu saja, Bu. Ini adalah
rumah kita."
Hendra masih tertegun. Dengan mulut
yang sedikit menganga, ia terus memandang setiap sudut rumah barunya.
Sebelum jatuh sakit, Hendra adalah
seorang pekerja keras. Tapi tak pernah terlintas dalam benaknya untuk bisa
tinggal di rumah mewah seperti yang mereka masuki sekarang.
"Tak ku sangka, aku bakal
tinggal di tempat sebagus ini!" gumam Hendra.
Begitu juga Anita. Setelah sakit yang
dialami Hendra, dia bersama Sherina berusaha bertahan sebisa müngkin. Tempat
tinggal mereka sebelumnya hanyalah sebuah rumah kontrakan yang luasnya kurang
dari tiga puluh meter persegi.
"Tapi ini... adalah rumah seluas
ratusan meter persegi..., tidak pernah terbayangkan olehku bisa mendiami rumah
bagai istana kecil...!" pikir Anita.
Di belakang Jackie dan keluarganya
yang sedang merasa tengah berada di alam mimpi, Aldo merengut. Mata Cresia
mendelik sinis. Keangkuhannya menolak kenyataan yang terpampang jelas di
hadapannya.
"Ini tidak mungkin, semua ini
hanya tipuan si narapidana belaka!"
Bagaimana Cresia tidak risau.
Keluarganya hanya bisa memiliki rumah yang termasuk tipe standar di sana. Namun
Jackie malah berhasil membeli sebuah rumah pada area paling mewah di Komplek
Awania!
Sedangkan Aldo gelisah. Jackie bilang
rumahya berada di Tatar Nirwana saja, dia sudah tidak terima. Karena, Tatar
Nirwana merupakan kawasan paling mewah di sana.
Pun, Jackie bukan membeli rumah yang
jauh dari danau. Melainkan, yang dijuluki oleh orang-orang 'jantungnya' Komplek
Awania.
Tak mampu menerima kenyataan dirinya
dikalahkan oleh Jackie, wajah Aldo terlihat penuh dengan amarah lalu dia
berkata, "Kamu telah mencuri rumah ini, bukan, Jackie?!"
Tidak terima kakaknya dituding
mencuri rumah, Sherina langsung menatap ke arah Aldo dengan cemberut. Tetapi
kakaknya tetap tenang. Tudulian Aldo itu sama sekali tidak mempengaruhi Jackie
sedikitpun.
"Dakwaan apalagi yang mau kau
tujukan padaku, Aldo. Sudah menuduh aku memalsukan kunci, sekarang kamu bilang
aku telah mencuri rumah ini. Aneh-aneh saja kamu itu!" lawan Jackie kalem.
Sejurus aldo terdiam seperti tengah
berpikir. Ada sesuatu yang melintas dalam kepalanya. Kemudian lambat-lambat dia
menyeringai lalu tertawa.
"Hahahaha...! Jackie, Jackie.
Sekarang kamu tertangkap basah. Aku baru menyadarinya barusan. Pantas mengapa
sepertinya Nirwana Mekar nomor 78 ini terdengar familiar. Sekarang aku
ingat!" ujar Aldo percaya diri.
"Ada apa memangnya, Nak? Apakah
benar Jackie telah mencuri rumah ini?" tanya Cresia buru-buru dengan
pensaran. Dia sudah tidak sabar ingin menjatuhkan Jackie.
"Ya, benar...!" Aldo
mengangguk-angguk. Mimiknya menunjukkan perasaan antusias. "Rumah ini
bukan milikmu, karena, aku menjualnya pada Pak Samuel Wanarto beberapa bulan
yang lalu!"
Mendengar siapa pemilik dari rumah
itu sebelumnya, Hendra, Anita dan Sherina bergidik. Siapa yang tak mengenal
nama Samuel Wanarto si pengusaha yang terkenal akan permainan kotornya.
"Berani-beraninya kamu
macam-macam pada Pak Wanarto, Jackie. Aku tak berani membayangkan apa jadinya
keluargamu karena kamu telah dengan berani mencuri dari orang seperti
beliau," Aldo berucap yakin seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Yang terlihat sangat khawatir sudah
barang tentu Anita dan Sherina. Sedangkan Hendra sendiri sudah sering mendengar
desas-desus mengenai perusahaan Wanarto.
Mulai dari stafnya yang sering
terlihat membawa senjata, orang-orang yang bernasib nahas setelah berusaha
bersaing sama kotornya dengan dia dan lain-lain
"Jackie, apa benar apa yang
dikatakan oleh Aldo itu?" tanya Anita takut-takut.
"Kak, tolong jangan sampai Kakak
bermain-main dengan orang seperti Pak Wanarto," cemas Sherina bingung.
Perkataan Anita dan Sherina membaut
Jackie memandangi mereka dengan keheranan lalu berucap, "Ibu dan Sherina
tidak percaya padaku?"
"Hei, Jackie. Kalaupun kamu
bilang bahwa rumah ini dibelikan oleh Pak Wanarto kemudian diserahkan padamu,
tidak ada seorang pun yang akan percaya!" Cresia berceletuk.
"Kamu ingin beralasan apa lagi,
Jackie? Sekarang kamu sudah ketahuan belangnya!" tambah Aldo, lalu anak
dan ibu itu tertawa-tawa.
"Hahahaha...!"
Kemudian Aldo berkata lagi,
"Mungkin ada baiknya sekarang aku menghubungi Pak Wanarto-aku memiliki
kontaknya-dari pada dia yang mencari tahu sendiri ke mana kunci rumahnya
menghilang, bisa berabe nanti!"
"Aldo, sudah, jangan kau
memperkeruh situasi ini!" larang Sukiman.
"Y-ya, benar. Khawatirnya, jika
Pak Wanarto datang kemari, beliau akan mengamuk," Hendra mengingatkan.
Sukiman berucap lagi. "Anakku,
begini saja. Bagaimana kalau Jackie menyerahkan kunci rumah ini padamu, lalu
kamu berpura-pura bahwa kunci itu tertinggal di sini dan kau berniat
mengembalikannya pada Pak Wanarto.
"Betul..., betul. Begitu saja
lebih baik," setuju Hendra.
Untuk sejenak Aldo kelihatan seperti
sedang berpikir. Setelah itu, barulah dia menanggapi Hendra dan ayahnya.
"Bisa saja. Tapi ada
syaratnya."
"Apa yang kamu inginkan?"
tanya Hendra.
"Jackie harus mengakui bahwa
dirinya telah melakukan kebodohan dengan mencuri kunci rumah Pak Wanarto. Dia
harus berlutut di hadapanku, sekaligus mengakui bahwa dirinya lebih rendah
dibanding aku."
Sedari tadi, Jackie sudah merasa
dongkol dengan tingkah Aldo dan Cresia. Mendengar keinginan Aldo, dia menarik
napas dengan menggerakkan kepala sebagai tanda bahwa ia tak peduli dengan apapun
yang dikatakan Aldo.
"Dengar Jackie, silahkan kamu
pilih: melakukan apa yang aku usulkan barusan, atau, kamu kehilangan nyawamu
karena amukan Pak Wanarto? Silahkan dipikirkan baik-baik." tutur Aldo.
"Ayo cepat Jackie, lakukan apa
yang dikatakan Aldo barusan. Tidak usah kamu banyak berpikir. Coba kamu
bayangkan jika tidak ada Aldo dan kamu kepergok mencuri rumah ini dari Pak
Wanarto. Habislah kamu!" Cresia memanas-manasi. 1
Tapi kemudian, terdengar bel pintu
rumah tersebut berbunyi disusul oleh seseorang yang bersuara nyaring.
"Halo, apakah ada orang di sini?"
Semua orang terperanjat. Siapa
gerangan yang mampir kesana? Aldo terdiam sedetik. Saat itulah dia menyadari
suara siapa yang mereka dengar itu.
"Jackie, itu adalah Pak Wanarto.
Ternyata, kau memang tidak perlu melakukan apa yang sampaikan barusan.
Silahkan, kamu temui beliau secara langsung!" Aldo berkata bak menebar
ancaman.
Hendra, Anita dan Sherina terdiam
kaku. Siapa sangka, Wanarto malah datang ke sana. Masalah besar telah menanti
mereka!
No comments: