BAB 42
"Aku harus segera menyambut
klienku itu!" ujar Aldo.
Dari ruang tengah rumah megah
tersebut, Aldo langsung meninggalkan Jackie dan keluarganya juga ayah dan
ibunya.
Setengah berlari, Aldo membuka pintu.
Di balik dua helai daun pintu yang besar itu, dia melihat Wanarto bersama dua
pengawalnya. Dua pria tersebut terlihat membawa paket pada tangan mereka.
"Pak Wanarto, tak ku sangka engkau
datang kemari. Salam hormatku. Senang sekali bisa berjumpa dengan Bapak di
momen yang tak disangka-sangka seperti ini!" ucap Aldo penuh hormat dengan
maksud menjilat.
Namun, Wanarto tidak menanggapinya.
Dia hanya memandang Aldo dengan kening berkerut tipis. "Kenapa kamu ada di
sini? Memangnya..., kamu memiliki kunci cadangan untuk masuk ke rumah
ini?" tanya dia.
Melihat ekspresi Wanarto yang tak
menyenangkan, Aldo pun segera menjelaskan, "Bu-bukan saya yang membuka
pintu rumah ini, Pak. Me-melainkan... ada seseorang yang memilikinya."
Dia terus berceloteh. "Saya juga
heran bagaimana orang itu bisa mendapatkan kunci rumah Bapak ini. Ada
kemungkinan, dia telah mencuri kuncinya!"
"Mencurinya? Yang benar
saja!" tegas Wanarto dengan nada gusar.
"Be-betulan, Pak. Orangnya ada
di sini sekarang, kok!" Aldo berkata dengan berusaha meyakinkan.
"Mari saya antar Bapak untuk menjumpai dia."
Dengan agak cemberut, Wanarto
mengikuti Aldo yang menggiringnya untuk masuk ke ruang tengah. Begitu tiba di
sana, Aldo pun langsung melayangkan tudingan.
"Itu dia orang yang sudah
mencuri kunci rumah Bapak!" Aldo berkata sembari menunjuk ke arah Jackie.
Melihat kehadiran Wanarto di sana,
situasi menjadi agak kacau. Menyaksikan putranya mendapat tuduhan dari Aldo,
Hendra buru-buru melangkah maju.
"Pak Wanarto yang terhormat,
maaf. Anak saya sama sekali tidak mencuri kunci tersebut. Tetapi... t ta-tapi,
sayalah yang... menemukannya d-dan... memutuskan untuk kemari."
Jackie sendiri terkaget-kaget dengan
apa yang dilakukan oleh Hendra. Dia sudah akan berbicara. Akan tetapi, Cresia
sudah menyerobot.
"Bapak itu berbohong, Pak
Wanarto. Memang benar. Anak dari bapak itulah yang telah mencuri kunci rumah
Bapak dan saya memohon maaf. Kami tidak ada sangkut pautnya dengan hal ini.
Silahkan Bapak tanyakan saja pada si mantan narapidana ini!"
Cresia terus bercerocos, "Orang
itu dengan jumawanya membawa orang-orang dungu ini untuk tinggal di sini.
Padahal-"
"Diam kamu wanita!" bentak
Wanarto sehingga seisi ruangan menjadi hening seketika. Wanarto melangkah
mendekat pada Cresia. "Siapa yang kau sebut bodoh tadi, hah?!"
"M-ma-maaf, Pak. Saya sama
sekali tidak bermaksud menyinggung Bapak, yang saya maksud dengan orang-orang
dungu itu adalah..."
Gelagapan, Cresia mencoba
menjelaskan. Tapi belum juga dia selesai berkata-kata, Wanarto sudah menimpali.
"Berani-beraninya kamu tidak menaruh hormat pada mereka. Apa kau sudah bosan
hidup, Bu?"
Sontak, Aldo tertegun melihat Wanarto
mengancam bundanya. Hendra, Anita dan Sherina terpukur. Jelas saja mereka
keheranan setengah mati. Bagaimana bisa seorang Samuel Wanarto malah seperti
membela Jackie?
"Kunci rumah ini sama sekali tidak
dicuri dan mereka bukanlah orang-orang bodoh seperti yang kamu sebutkan tadi,
Bu. Tetapi..."
Wanarto bertutur. Kemudian ia
berhenti sejenak, menoleh pada Jackie. Sempat-sempatnya ia mengangguk singkat
tanda hormat. Kemudian, Wanarto berkata lagi.
"Mereka adalah keluarga dari
ketuaku. Sang Dewa Muda.... Dewanya Bawah Sembilan, Jackie!"
Untuk yang kedua kali, Wanarto
membuat orang-orang di situ tertegun. Anak buahnya menunjukkan gestur penuh
kebanggan pada saat ia menyebut Jackie sebagai ketuanya.
"K-ke-ketua... Dewa Muda...
Dewanya Bawah Sembilan...?" Cresia berceloteh sendiri seperti orang
linglung ssangking syoknya mendengar Wanarto sepertinya sangat menghormati
Jackie.
Sementara Wanarto melangkah ke
hadapan Jackie, kemudian dia berucap, "Ketua, mohon izin. Aku akan
mengeleiminasi anak muda dan ibu itu karena mereka telah menyebut kau mencuri
kunci rumah ini dan menyebut keluargamu orang-orang bodoh. Sungguh aku tidak
terima!"
Perkataan Wanarto terhadap Jackie
dengan nada tenang namun terkesan geram, juga, Wanarto bilang bahwa dia akan
mengeliminasi anak dan istrinya membuat Sukiman gelisah. Dia sudah ingin
memohon ampun, tetapi terlalu takut untuk berkata-kata.
"Samuel..."
Lagi-lagi, Aldo dan keluarganya
dibuat tertegun. Baru saja, Jackie menyapa Wanarto dengan nama depannya, pun
tak menyebut: 'bapak'. Sementara, Jackie lanjut berkata-kata.
sabar. Bu Cresia dan Aldo adalah
istri dan anak dari Pak Sukiman," Jackie mulai menjelaskan. Dia
mengarahkan tangannya pada Sukiman. "Beliau merupakan kawan dekat ayahku
selama puluhan tahun. Mereka juga pernah bekerja di perusahaan yang sama."
"Oh, begitu," Wanarto
mengomentari singkat. Meski begitu, matanya menyorot tajam pada Aldo, Cresia
dan Sukiman. Seolah, dia menebar ancaman. Jika saja mereka tidak berhati-hati
terhadap Jackie, Sukiman sekeluarga akan terkena ganjaran darinya.
"Jadi aku rasa, tak usah kamu
mengeliminasi mereka," tandas Jackie.
"Baiklah jika itu yang kau
inginkan, Ketua."
Setelah sejak tadi berusaha
menjatuhkan harkat, derajat dan martabat Jackie, sekarang Aldo lemas rasanya.
Cresia sendiri juga hanya bisa tertunduk, tak berani menegakkan kepala.
Keluarga Jackie terlihat lega. Tak
ada yang menduga, Wanarto ternyata berada di pihak Jackie. Sekarang seisi orang
dalam ruang tengah rumah mewah tersebut terkagum-kagum pada sang Dewa Muda.
"Samuel, aku rasa ada yang perlu
diluruskan di sini. Karena sejak tadi, Aldo dan Bu Cresia menudingku yang
macam-macam. Dikira aku memalsukan kunci rumah inilah, disebut
mencurinyalah...!" tenang Jackie menjelaskan.
"Berengsek..., untung ketua
tidak memintaku untuk membantai kamu semua...!" sempat-sempatnya Wanarto
menggerutu. Dia pun mulai memaparkan.
"Ketua Jackie ingin membeli
sebuah rumah di sini. Tetapi, dia enggan semuanya berjalan dengan bertele-tele
karena statusnya yang baru keluar dari penjara. Sebagai rekan senasih
sepenanggungan, aku pun berniat membantu dia. Bukan begitu, Ketua?"
Saat itu Wanarto meminta konfirmasi
Jackie. Wajah garangnya yang menoleh pada Jackie menjadi agak kocak. Karena dia
tengah menuturkan kebohongan. Maksudnya, ia tengah mengirim sinyal agar Jackie
menyambut penuturannya itu,
"Benar sekali," jawab
Jackie, juga dengan eskpresi kocak tertahan.
"Jadi, akulah yang mengurus
semuanya. Sekarang surat-suratnya pun sudah atas nama beliau," lanjut
Wanarto. "Mengapa aku melakukan semuanya ini? Sebab bagiku. adalah sebuah
kehormatan untuk melayani ketuaku yang luar biasa ini!"
Pujian Wanarto terhadap Jackie
membuat Cresia ingin menangis rasanya. Sejak tadi, dia sudah menghina orang
yang disegani oleh salah satu wirausahawan yang terkenal akan kesangarannya di
dunia bisnis.
Selain itu Wanarto sendiri tidak ragu
untuk menunjukkan rasa hormatnya pada Jackie. Sejak tadi, Aldo terperangah
karena dia masih percaya tidak percaya. Seorang Samuel Wanarto begitu baik dan
rendah hati di hadapan Jackie.
"Samuel, ada apa gerangan kamu
berkunjung kemari?" tanya Jackie kemudian. Wanarto membalas.
"Ketua, bisa kita ngobrol berdua
sebentar?"
Jackie bersama Wanarto memisahkan
diri dari yang lain. Mereka berada di dapur dari rumah besar tersebut, yang
jaraknya jauh dari ruang tengah.
"Setelah tadi kau menghubungiku
bahwa kamu akan datang kemari, aku pun ingin segera menyusulmu, Ketua,"
jelas Wanarto.
"Memangnya ada apa?" tanya
Jackie santai.
No comments: