BAB 67
Ketahuan sudah. Permintaan Samuel
pada Sukarman untuk berbicara melalui pengeras suara menguak segalanya. Baru
saja, atasan Sukarman mengatakan bahwa anak buahnya itulah yang menjalin kerja
sama dengan Darma Rilley.
Dalam kelemahan tubuhnya, Sukarman
tidak bisa mengelak. Dia hanya bisa pasrah. Terungkap bahwa dialah penyebab
utama Arthur Wijaya tak dapat memasok obat-obatan bagi Tentara Nasional Makara.
"Y-ya.., betul itu Komandan.
Ta-tapi... waktu itu saya juga meminta persetujuan Bapak agar bisa meneken
perjanjian kerja sama dengan Tetua Rilley," Sukarman menanggapi dengan
gugup.
Sejurus, atasan Sukarman tidak
bersuara. Karena sang panglima baru saja bersabda bahwa Sukarman yang menjalin
hubungan dengan Darma, mata seluruh orang yang berada di ruang tamu kediaman
Jackie tertuju pada dia.
"Apa keuntungan yang bisa
diperoleh dari bekerja sama dengan Jenderal Arthur?" akhirnya, atasan
Sukarman kembali angkat bicara.
"Euh banyak, Pak.."
"Banyak itu seperti apa?"
Sekarang Sukarman gelagapan.
Bagaimanapun juga, ia mesti meyakinkan atasannya agar angkatan bersenjata
Makara mengambil pasokan obat-obatan dari Keluarga Wijaya sekarang juga. Jika
tidak, umurnya tinggal menghitung hari.
Dia beruntung. Samuel bangkit, dan
mendekat pada Sukarman. Wajah Samuel mendekat pada orang kedua paling disegani
di ketentaraan Makara itu.
"Keluarga Wijaya bersama Dokter
Jackie akan memproduksi sebuah obat yang bisa menyembuhkan beragam penyakit
sekaligus. Satu obat untuk berbagai gejala," bisik Samuel dengan gaya
hormat, karena orang yang ia dikte adalah petinggi tentara negara mereka.
"Jadi, Pak. Jenderal Arthur
bersama Dokter Jackie akan memproduksi obat ajaib yang bisa menyembuhkan
berbagai penyakit... Sukarman mengulang apa yang dibisikkan oleh Samuel yang
berucap lagi.
"Bisa juga dijadikan sebagai
suplemen untuk menjaga daya tahan tubuh."
"Jadi..., obat itu juga
sekaligus suplemen untuk menjaga vitalitas tubuh, Komandan."
"Apa..., Jenderal Arthur
memiliki obat seperti itu?!"
Reaksi panglima tertinggi angkatan
bersenjata Makara tersebut meniupkan aura positif bagi semua orang ada di sana,
terutama Sukarman. Sang bawahan langsung menimpali.
"Betul, betul sekali, Komandan.
Para personel kita cukup memegang obat itu dan kesehatan mereka akan
terjamin!" pasti Sukarman.
"Bagus itul Dengan obat itu,
kita tidak perlu repot-repot membeli beberapa jenis vitamin dari perusahaan
Tuan Darma atau berbagai macam obat-obatan yang harganya sering dikeluhkan para
prajurit!"
Mendengar tanggapan optimis
atasannya, Sukarman buru-buru berucap, "Jadi bagaimana, Pak? Apa Bapak
setuju kita bekerja sama dengan Jenderal Arthur?"
"Tentu, tentu saja! Sudah, mulai
sekarang, suplai obat-obatan kita ditangani oleh perusahaan Jenderal Arthur
saja. Hentikan kerja sama kita dengan Tuan Rilley. Segera kamu urus, ya?!"
tegas sang panglima.
"Baik, Pak. Akan saya urus
sekarang juga."
Selanjutnya, Sukarman tak berbicara
pada Jackie maupun Arthur. Seperti yang dititahkan atasannya, dia cepat-cepat
menghubungi semua orang yang terkait dengan perjanjian itu.
Pada intinya, apa yang dirinya
lakukan adalah guna mengakhiri kerja sama antara pihak militer dengan Darma
Rilley. Sementara, mereka mendapat pemasok obat-obatan baru yaitu Keluarga
Wijaya.
"Buat surat perjanjiannya
sekarang juga, ya, Letnan Mira? Kirim via email dan kau juga harus membawanya
kemari langsung... ya, secepatnya. Kapten Hugo akan membimbingmu. Baik, bagus.
Terima kasih!"
Semuanya telah dipastikan semudah
membalikkan tangan. Arthur Wijaya memandangi Sukarman dengan tersenyum miring.
Ternyata selama ini, memang Sukarmanlah yang telah menghalang-halangi penawaran
dia terhadap pihak angkatan bersenjata.
"Bagaimana, Dokter, apakah Anda
puas dengan kerja sama yang telah dijalin oleh institusi kami dengan Jenderal
Arthur?" tanya Sukarman lemas.
Wajahnya kelihatan sedih karena
secara tidak langsung, dia telah mengkhianati hubungan baiknya dengan Darma.
Sekarang, ia harus beraliansi dengan Arthur Wijaya demi bisa sembuh dari luka
dalam yang ia idap.
"Terima kasih, Pak Sukarman.
Anda mendapat dukungan dari kami sekarang," sahut Jackie kalem. Seringai
Arthur semakin melebar. Cucu perempuannya juga tersenyum puas dengan cerah.
"Terima kasih sudah membantuku,
Sukarman," ucap Arthur.
"Sama-sama, Kapten,"
Sukarman membalas dengan senyum lega. Setelah ia sempat khawatir Arthur tidak
akan memafkan dia, sekarang mantan pimpinannya itu berterima kasih padanya.
"Tetapi... mungkin saya sudah
menyinggung Tetua Rilley. Jujur saja..., saya mau menjalin kerja sama dengan
beliau karena aku juga membutuhkan pengaruh Tuan Rilley demi karir saya,"
ujar Sukarman lagi. Dia lanjut berkata-kata.
"Sekarang hubungan kami akan
renggang. Karena, aku juga harus setia pada Kaptenku," kata Sukarman
sembari memandang ke arah Arthur yang mengangguk-angguk.
Sementara Jackie tersenyum tipis
tanda bersimpati. "Jangan risau, Pak. Anda sudah mengambil keputusan yang
benar.
"Sukarman, ingat motoku pada
saat kita sama-sama berada di gugus tugas anti teror?" ujar Arthur
kemudian.
Segera itu, Sukarman merasa haru. Selama
ini dengan ketidakjujurannya terhadap Arthur, ia merasa hubungan mereka agak
merenggang meski dia sering menengok mantan atasannya.
Tetapi kini, Arthur seolah
mengingatkan dirinya tentang ikatan persaudaraan mereka dalam satuan yang
dahulu menjadi tempat mereka bernaung.
"Kita pergi bersama, pulang
bersama, mati bersama," ucap Sukarman berbarengan dengan Arthur. Kedua
netra wakil komandan militer Makara itu berkaca-kaca.
"Kamu pegang semboyanku
itu!" pasti Arthur dengan mengarahkan telunjuk kanannya pada Sukarman.
"Siap, Kapten!"
Jackie menyaksikan kebersamaan
pasangan mantan komandan dan anak buah itu seraya bangkit berdiri. Seusai dia
berbincang dengan Arthur tadi, Jackie sudah kembali dengan gulungan peralatan
medis miliknya. la membuka gulungan tersebut.
Pasiennya bisa melihat ada
jarum-jarum akupunktur hingga pisau bedah dalam gulungan kain tersebut.
Sekarang, ia bisa benar-benar berharap Jackie bakal memulihkan dirinya sama
sekali.
"Tunggu sebentar, ada ramuan
yang sebaiknya Bapak minum guna mendukung penyembuhan Anda," Jackie
berucap, lalu pergi ke ruang kerjanya.
Sebentar saja, Jackie sudah kembali,
Dalam tangan kanannya ada sebuah botol kecil berisi cairan berwarna merah.
"Pak Sukarman, silahkan meminum
cairan ini semuanya, sebelum saya menangani Bapak," Jackie menyodorkan
botol yang ia bawa pada Sukarman.
"Ba-baik Dok," Sukarman
menerima botol tersebut dari Jackie dan langsung menenggak semua isinya. Yang
ada dalam kepalanya saat itu adalah: ia akan segera sembuh. Keberlangsungan
karir militernya terbuka luas sekarang.
Selain cairan tersebut, Jackie juga
mengeluarkan sebutir pil kecil berwarna kecokelatan dari dalam sebuah kotak.
Ada beberapa obat jenis serupa di dalamnya.
"Setelah saya melakukan tusuk
jarum terhadap titik Dantian Bapak, langsung minum obat ini untuk menstabilkan
kondisi fisik Pak Sukarman," jelas Jackie,
"Terima kasih, Dok," balas
Sukarman.
Selanjutnya, Sukarman berbaring
dengan telanjang dada di atas sofa berdesain seni modern dalam ruang tamu
kediaman Jackie.
Sekonyong-konyong, Elvi pindah dari
tempat dia duduk dan betelut di sebelah Jackie. Sampai-sampai, Arthur
mengingatkan dia..
"Elvi, ngapain kamu di situ.
Jangan mengganggu Jackie, dia sedang bekerja!"
"Opa itu bagaimana, aku ada di
sini karena siapa tahu saja Dokter Jackie butuh bantuan!" kilah Elvi.
Padahal, dia ingin melihat dari dekat seperti apa cara Jackie menyembuhkan
Sukarman.
"Tak mengapa, Pak. Biar Elvi
diam di sini," ujar Jackie.
Karena Jackie tidak keberatan, Arthur
juga tidak bisa apa-apa, la hanya menghela napas sembari tersenyum tipis.
Nb: Novel ini juga berbayar koin di MaxNovel, cuma saya pakai yang free 1 bab per hari yaa..
No comments: