BAB 66
"Baik, Pak," sahut Jackie.
Dia bangkit dari tempat ia duduk, kemudian menoleh ke arah Hugo dan Sukarman.
"Bapak-bapak tunggulah sebentar di sini. Aku segera kembali."
Bersama Arthur, Jackie melangkah
santai menuju ke ruang tengah. Rumah Jackie sekarang begitu besar. Sehingga,
jarak dari ruang tamu yang berada di depan ke ruang keluarga memang cukup jauh.
Sehingga, cocok untuk membicarakan sesuatu yang tak boleh didengar orang lain.
"Jackie," Arthur berbicara
dengan suara rendah nyaris berbisik. "Seperti yang aku bilang, kami
berusaha untuk menjadi pemasok obat-obatan bagi angkatan hersenjata Makara. Aku
sudah pernah melobi Sukarman, tapi sambutannya tidak baik."
"Jadi penyebab kegagalan investasi
Keluarga Wijaya disebabkan oleh Sukarman?" tanya Jackie singkat.
"Betul. Apabila kita bisa
menjadi pemasok bagi mereka, tentu saja ini akan sangat menguntungkan bagi
kita. Kamu mengerti bukan? Obat hasil olahanmu itu pasti sangat dibutuhkan
pihak militer."
Jackie langsung tahu arah pembicaraan
Arthur. Dia harus membuat Sukarman mau menjalin kerja sama dengan Keluarga
Wijaya.
Bukan hanya keluarga Arthur yang
bakal diuntungkan. Sudah barang tentu, ia juga akan mendapat laba darinya.
Dengan begitu, namanya juga akan terbesut naik. Hal itu juga bakal mengangkat
derajatnya di hadapan Keluarga Halim.
Sementara itu di ruang tamu. Sukarman
masih terbaring di sebuah sofa panjang didampingi Hugo, la sedang berpikir: apa
yang dibicarakan oleh Jackie dan Arthur?
"Waktu itu aku tidak bisa
membantu penawaran Jenderal Arthur yang ingin menjadi supplier obat-obatan
Tentara Nasional Makara. Aku menghormati beliau, tetapi aku tak melakukan
apa-apa. Pak Arthur pasti dongkol padaku," sesal Sukarman dalam hati.
Tidak lama kemudian, Jackie dan
Arthur kembali ke ruang tamu. Sukarman memandangi mereka. Ada perasaan pasrah
menyergap dirinya.
la khawatir, perlakuannya terhadap
Arthur di masa lalu akan mempengaruhi Jackie sehingga Sang Dokter Dewa tidak
mau merawat dirinya. Kalau sudah begitu, karirnya akan tamat begitu juga dengan
nyawanya.
Terang saja Sukarman masih ingin
hidup lebih lama dan meniti karir hingga ke puncak. Sehingga, ia pun
memberanikan diri angkat bicara.
"Dokter Dewa..., ap-apa...
apakah yang dapat aku lakukan agar engkau menyembuhkanku? Uang, tentu akan aku
berikan T-tapi.. mungkin, ada sesuatu yang lain yang kau kehendaki dan bisa aku
penuhi. Katakan saja. Selama aku bise, aku akan melakukannya!"
Bahkan Jackie sendiri agak terkejut
karena belum apa-apa, Sukarman yang terbaring pada sofa rumahnya sudah memelas
untuk segera disembuhkan.
Dia hanya memandangi calon pasiennya,
sedangkan Sukarman balas menatap penuh harap. Napasnya naik turun karena
kondisinya yang payah.
Walau Jackie sangat tegar, tetap saja
Dewa Agung mengajari dia untuk menjadi seorang dokter, penyelamat nyawa. Ada
sedikit rasa iba timbul dalam hatinya terhadap Sukarman.
Meski begitu, tentu saja bukan
berarti Jackie akan langsung menolong orang yang telah memandang dia sebelah
mata. Harus ada yang Sukarman lakukan agar ia dapat sembuh.
"Siapa yang menjadi pemasok
obat-obatan bagi Tentara Nasional Makara?" tanya Jackie dingin.
"Jawab dengan jujur, atau Bapak tidak usah berbaring di sini."
Takut Jackie tidak akan menangani
dirinya, juga mulai mengetahui kira-kira apa yang diinginkan oleh Jackie,
Sukarman memilih untuk menjawab dengan jujur.
"Untuk saat ini..., kami
mengambil kebutuhan farmasi kami dari Tuan Darma Rilley, Dokter."
"Bapak ingin sembuh..?"
"Y-ya tentu saja. Aku ingin
sembuh, Dokter Dewa!"
"Bapak bilang akan memenuhi apa
saja yang menjadi permintaanku asal Bapak disembuhkan."
"Betul, betul sekali..!"
"Kalau begitu, putuskan hubungan
kerja sama Tentara Nasional Makara dengan Darma sekarang juga. Lalu, jalinlah
kongsi dengan Keluarga Wijaya. Kalau Anda tidak melakukannya, mohon maaf.
Sesuai janji Anda. Aku tidak akan mengobati Bapak."
Mengetahui kedekatan Jackie dengan
Arthur setelah sang jenderal disembuhkan oleh si Dokter Dewa, apalagi keduanya
sempat berbicara berdua saja, Sukarman sudah bisa menerka. Pastilah mereka
membahas bisnis.
Seorang pengusaha yang bergerak di
bidang obat-obatan dan alat medis bersahabat dengan dokter brilian, Sudah
pasti, mereka akan membicarakan sesuatu yang ada kaitannya dengan profesi
keduanya.
"Mungkin... aku bisa mengambil
keputusan mengenai ini. Tapi, tuan-tuan, tetap saja. Aku tak dapat
memastikannya sendiri. Aku mesti bertanya pada atasanku terlebih dahulu,"
jawab Sukarman.
"Kalau begitu, silahkan hubungi
atasan Anda sekarang. Kami akan dengan senang hati menunggu," ringan
Jackie berkata.
Bagi Jackie, kerja sama yang akan
dijalin oleh keluarga Wijaya dengan pihak militer Makara tidak terlalu
berpengaruh bagi dirinya. Dengan memberi obat buatan dia untuk didistribusikan
oleh Arthur saja sudah cukup.
Namun pastinya, untuk Sukarman ini
adalah persoalan hidup atau mati. Jikalau dia bisa memindahkan kerja sama
institusinya dari Rilley ke Wijaya, ia akan sembuh.
Jika yang terjadi adalah sebaliknya,
karir beserta hidupnya akan berakhir. Karena, dirinya sendiri tahu. Luka dalam
yang dia derita kini terasa lebih parah bahkan jauh lebih kronis dibanding
sebelumnya.
"Ba-baiklah, aku akan
menghubungi atasanku sekarang juga," ucap Sukarman. "Hugo mana
ponselku tadi?"
Seraya berkata, Sukarman menoleh pada
Hugo. Sang kapten menyerahkan ponsel milik Sukarman pada atasannya. "Ini,
Komandan."
"Pak Sukarman, tolong atur
ponsel Anda dengan mode pengeras suara. Agar, ketuaku dan Pak Arthur bisa
mendengar percakapan kalian, bijak Samuel berkata pada si wakil pasukan
seantero Makara tersebut.
"Ba-baik, Pak Wanarto."
Sepertinya, baru kali ini orang-orang
bisa melihat bagaimana perwira kedua tertinggi dalam kemiliteran. Makara sangat
menurut pada pebisnis kotor macam Samuel Wanarto.
Mau bagaimana lagi? Sukarman mesti
mematuhi semua instruksi orang-orang yang ada di sana, demi memulihkan kembali
kondisinya. la mulai menelepon. Beberapa detik kemudian, terdengar hubungan
komunikasi Sukarman dijawab dari seberang sana.
"Ya, Sukarman?"
"Selamat siang. Komandan,"
sambut Sukarman.
"Aku dengar kamu sedang pergi ke
dokter karena kondisimu menurun. Apa betul?"
"Ya, betul sekali,
Jenderal."
Atasan Sukarman merupakan satu dari
tiga orang yang tahu benar, seperti apa cedera yang diderita anak buahnya. Oleh
karena itu, dia langsung bertanya mengenai kondisinya.
"Lantas bagaimana, apakah dokter
bisa mengobati lukamu?"
Saat itulah Sukarman terdiam. la
menatap Jackie yang sedang asyik dengan ponselnya. Tamu-tamu yang lain juga
berbincang-bincang. Hanya Samuel yang memperhatikan dia benar-benar.
"Aku sedang... menunggu untuk
diterapi, Jenderal."
Untuk sesaat, atasan Sukarman itu
memberikan kata-kata motivasi pada bawahannya. Sukarman pun menyimak dan
membalas sesekali, hingga tiba saatnya bagi dia untuk membicarakan kerja sama
dengan Keluarga Wijaya.
"Pak, kebetulan. Saya bertemu
dengan Jenderal Arthur Wijaya di sini."
"Salam hormatku untuk beliau.
Perwira Makara tidak pernah mundur!"
Mendengar Sukarman dan atasannya,
Arthur segera menoleh ke arah wakil pimpinan Tentara Nasional Makara tersebut
seraya mengangguk.
"Perwira Makara tidak pernah
mundur!" balas Arthur.
"Beliau menerima salam hormat
dari Anda, Pak. Oh, ya, Pak. Sekalian, saya ingin memberitahu bahwa Jenderal
Arthur Wijaya menawarkan kerja sama untuk memasok obat-obatan bagi Tentara
Nasional Makara."
"Oh, begitu? Tetapi... bukankah
selama ini kau sudah menjalin kesepakatan dengan Tuan Darma Rilley?"
No comments: